Part 12

1074 Words
Selalu saja datang tak diundang, Arsa mendadak muncul di depanku. Pria berkulit sawo matang menuju busuk tampak tersenyum ramah memamerkan gigi rapinya. Untung saja bukan taring yang dia pamerkan. Bisa-bisa seluruh siswa di sekolah ini pingsan. "Dari depan," jawabku dengan nada sedikit ketus. Aku bergegas menuju kelas, masih ada satu jam pelajaran Bahasa Indonesia. Lumayan bisa membuat Bu Rista pusing tujuh keliling. Sebelum masuk, mengetuk pintu dan menunggu dibukakan oleh Bu Rista atau teman yang duduk di dekat pintu. . "Tumben sebentar di ruang Pak Agus?" tanya Bu Rista sambil meletakkan buku di meja. Beliau tidak membukakan pintu, Bimo yang melakukannya. Padahal Bu Rista ada di depan kelas. Mungkin saja sedang tidak ingin berjalan. Ketakutan jika nanti lemak dalam tubuhnya berkurang satu ons. "Iya, Bu, soalnya tadi kata Pak Agus, beliau sibuk. Ibu sia-sia meminta saya datang ke BK." Aku mengatakan sambil berjalan menuju tempat duduk. Bu Rista hari ini sedikit aneh, tak biasanya marah-marah. Bukan hanya aku yang heran, seluruh penghuni kelas juga heran. Terlihat dari heningnya kelas saat ini. Seperti tidak ada kehidupan dalam kelas. "Tadi ada penilaian buat akreditasi sekolah," bisik Rini saat aku baru saja duduk di sebelahnya. "Maksudnya?" tanyaku setengah berbisik karena tidak paham apa yang dikatakan Rini. "Itu lho, penilaian sekolah, termasuk kinerja guru-guru saat mengajar," jawab Rini dengan hati-hati. Aku paham sekarang, jadi Bu Rista pencitraan ternyata. Ada tugas yang harus dikerjakan lagi. Rupanya hari ini penuh dengan tugas. Kali ini tugasnya membuat bionarasi tentang diri sendiri. Aku memutar otak, baru kali ini membaca dan tahu istilah Bionarasi. Apa itu? Bingung hendak bertanya pada siapa, karena jika ribut pasti akan diminta ke BK lagi. Bukan tidak mau, tapi masih bingung dengan perubahan wajah Pak Agus tadi tiba-tiba berbinar bahagia setelah menghukumku. "Bionarasi apa, sih?" tanyaku dengan berbisik pada Rini. "Macam biografi tapi ringkas, ga boleh lebih dari seratus kata," jawabnya. Bukan paham tapi pusing, tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Rini. Aku menoleh ke belakang, ada Nila di sana. Gadis yang selalu menyabet peringkat satu ini tenyum kemudian membuatku kesal. "Mau nyontek?" tanya dengan nada menyindir dan menghina. Ingin sekali mencakar wajahnya yang menggunakan bedak tepung terigu itu. Namun, kuurungkan karena daripada kembali ke ruang BK mending mengerjakan tugas Bu Rista. Siapa tahu minggu depan akan keluar sebagai soal ulangan. "Bukan, cuma mastiin, kamu masih hidup atau ga?" jawabku dengan senyum lebar. Semua siswa dan siswi sekolah ini tahu, aku tidak begitu cocok dengan Nila. Bukan masalah iri, hanya saja dia sombong dan selalu menghina siswa atau siswi lain yang nilainya rendah. Kepandaian itu anugrah dari Allah bukan untuk sombong. "Sembarangan kamu!" teriaknya membuat Bu Rista menoleh ke arahnya. "Ada apa Nila?" tanya Bu Rista dengan nada lembut. Sangat berbeda jika bertanya padaku tadi. "Ini, Bu, Nana sengaja menggoda saya!" adunya dengan nada marah. "Mana ada? Coba teman-teman ada yang lihat aku goda Nila ga?" tanyaku pada penghuni kelas ini. Mereka sepakat menggeleng tanda setia pasaku. Teman sebangku Nila, Anita hanya menghela napas. Tidak berani bersaksi. Takut nanti dikeroyok dan dimusuhi satu kelas ketika Nila berangkat olimpiade. "Dia terlalu mengada-ada, Bu. Mungkin stres karena harus ikut olimpiade Fisika. Apalagi ini tingkat nasional." Aku mengatakan seolah prihatin terhadap keadaannya, padahal ingin sekali terbahak melihat wajahnya."Mungkin ada baiknya cari siswa lain, Bu," aduku. Bu Rista tampak serius mendengarkan ucapanku yang penuh kesesatan. Tak ada salahnya sesekali Nila diberi pelajaran agar tidak sombong dan menyombongkan diri. Wajah Bu Rista tampak sangat serius hingga mengabaikanku yang sibuk membaca tugas milik Rini. "Aku paham cara bikin bionarasi," ucapku pada Rini membuat gadis itu menoleh ke arahku. "Syukurlah, lanjut kerjain," jawabnya sambil tersenyum ramah padaku. Aku mengerjakan dengan sungguh-sungguh agar hasilnya baik. Cukup dalam tiga puluh menit ternyata mengerjakan tugas ini. Masih tersisa waktu lima belas menit sebelum jam istirahat kedua. Bionarasi Nirina Anjani Lahir di atas kasur pada tanggal yang tertera di kalender. Anak kesayangan Mama dan Papa yang berdarah merah. Menyukai Fisika, Matematika, dan Basket jika ingat saja. Suka makan dan masih banyak kesukaan Nirina yang lainnya. Aku selesai menuliskan bionarasi yang mendadak d pahami oleh otak ini. Sebuah kemajuan yang luar biasa. Tidak biasanya akan paham dengan tugas Bahasa Indonesia. Kali ini sungguh menakjubkan. "Rin, ini dikumpulin ga sih? Kalo ga, berarti sia-sia nih hasil pemikiranku." Aku mengucapkan dengan penuh semangat. Jam menunjukkan pukul dua belas lewat empat puluh lima menit. Jam istirahat kedua sudah menanti. Aku ingin sekali makan bakso super pedas kali ini agar saat pelajaran muatan lokal bisa berpikir. Bagiku makanan pedas adalah penghilang sakit kepala. Terlalu banyak hal mengherankan hari ini mulai dari diminta menghitung kendaraan yang lewat hingga mengerjakan bionarasi. "Anak-anak buku tugasnya dikumpulkan ya!" perintah Bu Rista sambil membenahi perlengkapan mengajarnya. "Baik .... " Seluruh siswa dan siswi kompak menjawabnya. Aku menitipkan buku tugas ini pada Rini agar dia yang mengumpulkan di meja guru. Sambil menunggu Rini, kaki ini melangkah menuju pintu. Nila memegang tangan ini dengan kasar saat hendak bersandar di dinding. Aku melotot kearahnya sebagai wujud perlawanan. "Apa?!" tanyaku dengan nada galak pada Nila. "Maksud kamu apa tadi?!" sentaknya padaku membuat ingin terbahak. Marahnya seperti ikan lele bersungut. "Maksud apa, sih?" tanyaku lagi dan membuat Nila semakin marah. "Yang kamu bilang ke Bu Rista tadi!" bentaknya padaku. Ingin rasanya terbahak mendengar ucapannya. Kami bahkan menjadi perhatian dan tontonan banyak orang. Bu Rista keluar dari kelas juga ikut memperhatikan kami berdua. Nila tidak sadar saat mengucapkan hal itu. "Ga usah pake 'yang' manggilnya, aku masih normal," ucapku sambil menahan tawa. "Ka-kamu!" ucap Nila sambil mengayun tangan kanannya hendak menamparku. "Ada apa ini?!" Bu Rista bertanya pada kami berdua. Aku terdiam, bingung hendak menjawab apa. Nila terkejut waktu Bu Rista bertanya. Wajahnya memerah seperti tomat. Aku hanya diam saja tidak menganggapi. "Itu, Bu, Nila hendak menampar Nana. Nana dari tadi diam saja," adu Jenny yang kebetulan sudah keluar dari kelas sebelah. Aku menatap Jenny dan teman-temannya. Mereka ternyata memperhatikan Nila. Wajah gadis di depanku memerah, antara malu dan menahan amarah. Paham dengan watak Nila yang tempramental. "Kalian berdua ikut saya ke ruang BK!" perintah Bu Rista pada kami berdua." Kamu juga Nirina, buat tugas bionarasi itu yang benar. Pusing saya bacanya. "Ga usah dibaca, Bu langsung dinilai saja." Aku menjawab dengan santai, membuat Bu Rista semakin emosi. Aku menghela napas pasrah dengan apa yang akan menimpa setelah masuk ke ruangan BK kedua kalinya. Jika sore nanti masih harus masuk ke ruang BK, artinya dalam sehari tiga kali. Seperti minum obat tapi dengan dosis tidak jelas. "Bu ... yang salah Nila!" Seru siswa lain saat kami bertiga hendak menuruni tangga."Jika Nana yang dihukum tandanya tidak adil," lanjut teman-teman yang lain. Aku mendengar Bu Rista menghela napas panjang. Mungkin bingung jika harus menghukumku nanti. Pasti besok saat mengajar siswa dan siswi tidak akan meresponnya. Rasa setia kawan sekolah kami sangat tinggi. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD