Part 13

1048 Words
Aku dan Nila mengekori Bu Rista dari belakang. Jika dari depan namanya bukan mengekor tapi penunjuk jalan. Wajah gadis sombong di sebelah kiriku sangat memprihatinkan. Antara ingin marah tapi tidak punya pendukung. Seharusnya dia sadar, tidak perlu sombong ketika selalu mendapat peringkat satu. Sifatnya seperti 'star syndrome' hal ini membuat banyak siswa dan siswi yang membencinya. Dalam berteman juga sangat memilih, hanya mereka yang kaya dan pandai saja. "Lho, Nana mau ke mana?" sapa Pak Reza saat kami berpapasan di depan kelas tiga IPA tiga. Wajahnya selalu ceria ketika menyapaku. Bu Rista dan Nila menoleh ke arah suara Pak Reza. Bu Rista terlihat heran dengan sapaan Pak Reza yang hanya tertuju padaku. Diri ini juga heran dan sempat berpikir apakah guru yang dianggap ganteng ini tidak melihat kedua wanita yang berjalan bersamaku? Mungkin, mereka berdua tak kasat mata, mengerikan sekali jika begini. "Ini mereka berdua bertengkar, jadi harus ke BK supaya mendapatkan hukuman," jawab Bu Rista mantap. Sembarangan saja jika mengatakan bertengkar. Di sini aku korban, bukan penyebab kalau tidak salah. Namun, seingatku Nila yang memulai lebih dulu, karena aku meledeknya. Lihat saja, siapa nanti yang akan dihukum. Aku tidak menjawab pertanyaan Pak Reza. Bukan tidak sopan, tapi Bu Rista sebagai juru bicara sudah menjawabnya dengan jelas. Mudah-mudahan guru PPL idola siswi di sekolah ini paham. Jika tidak paham, entahlah biarkan berpikir dengan tenang. "Nirina, tadi kamu mengerjakan PR mata pelajaran saya di kelas saat jam pelajaran Bu Rista?" tanya Pak Ali tanpa basa-basi saat kaki ini baru saja sampai di kantor guru. Seketika aku menoleh dan heran, bukankah tadi tidak ada Pak Ali di kantor guru. Jadi tahu darimana beliau ini? Oh ... pasti Pak Agus, selain guru BK ternyata tukang gosip juga. Baiklah nanti aku buat lebih pusing lagi. "Oh ... iya Pak, jadi bapak bergosip dengan Pak Agus? Wah, laki-laki kok bergosip, ini sungguh di luar dugaan saya," jawabku dengan mantap tanpa berpikir dua kali apalagi tiga kali. Seketika banyak yang menahan tawa karena jawabanku. Raut wajah Pak Ai terlihat kesa dengan jawabanku. Beliau terkenal jika memberikan hukuman tidak pandang bulu. Alasannya memberi efek jera pada murid. Buatku, justru bukan jera tapi semakin parah. "Kamu ikut ke kantor saya!" bentaknya dengan rahang mengeras. Terpaksa ini terpaksa aku mengikutinya untuk menuju ruangannya. Seluruh guru memandang ke arahku. Ada yang iba, bahagia, dan biasa saja. Diri ini sudah terbiasa dengan semua pandangan orang, jadi santai saja. Ada senyum mengejek dari Nila, abaikan. Lihat saja, dia pasti juga mendapat hukuman, jika tidak pasti siswa dan siswi akan memprotesnya. "Semangat ya Na," suara ajaib dari mulut Pak Reza terdengar mengerikan bagiku. Tidak ada respon dari tubuh ini. Kaki ini melangkah menuju ruang Pak Ali. Banyak pasangan mata memandang ke arahku setelah ucapan Pak Reza. 'Dasar guru PPL k*****t!' batinku. Semua guru tampak takjub dengan ucapan guru PPL satu ini, sebentar lagi pasti akan ada gunjingan. Gunjingan tentang aku, entah apa lagi yang akan dibahas. Antara takut dan ingin tahu hukuman apa yang akan diberikan oleh Pak Ali, aku nekat saja. Jika hukumannya berat ya nikmati saja. Bukankah selama ini selalu seperti itu? Jangan kaget, kasihan jantung. "Kamu tahu kenapa ada di sini?" Pak Ali bertanya dengan nada menahan amarah. Aku seolah berpikir, siapa tahu otak cerdasku berfungsi. Supaya bisa menjawab dengan benar pertanyaan Pak Ali. Sayangnya tidak! Mulut ini terkatup rapat, dalam pikiran juga tidak terlintas jawaban apa pun. "Tidak, Pak," jawabku lirih. "Kenapa kalau Pak Agus yang panggil kamu bisa bersuara lantang?" tanyanya dengan nada setengah menghina."Kamu saya hukum! Untuk ulangan minggu depan harus mendapatkan nilai minimal delapan puluh. Jika tidak, kemungkinan tidak bisa mengikuti ujian semester. Paham!" bentak Pak Ali. Setelahnya beliau memintaku keluar dari ruangannya. Ini yang dinamakan kesialan bertubi-tubi dan datang tanpa permisi. Otak ini tidak bisa berlikir jernih, bagaimana caranya mendapatkan nilai delapan puluh. Nilai enam puluh sembilan batas minimal saja sangat sulit. Hampir saja aku ingin menangis, tapi urung karena Pak Agus sudah menunggu di ruangannya. "Nirina, kamu bersihkan kamar mandi guru!" titah beliau padaku. Aku hanya diam saja tidak membantah. Pikiran ini sedang kalut memikirkan ancaman Pak Ali. Pasti tidak main-main. Aku segera mengambil perlengkapan bersih-bersih kamar mandi. Hampir satu jam membersihkan kamar mandi akhirnya selesai juga. Tidak sempat istirahat kedua, entah nanti saat pelajaran Muatan Lokal masih ada tenaga atau bahkan pingsan di tangga. Hari ini adalah hari yang aneh bagiku, tidak melawan Pak Agus. "Sudah selesai?" tanya Pak Agus datar. Aku bahkan tidak punya tenaga untuk menjawab pertanyaan dari beliau. Pak Agus mengecek semua kebersihan kamar mandi, beliau mengangguk dan mempersilakan aku kembali ke kelas. . "Oh, ya, Pak, tadi hukuman pertama itu tujuannya apa, menghitung kendaraan?"! tanyaku asal setelah duduk sebentar. "Kamu 'kan cerdas kalo bidang eksata, ya bisalah bantu PR anak saya menghitung kendaraan yang lewat di depan sekolah selama setengah jam," jawab beliau dengan nada bangga bisa mengerjaiku. Sialan! Harus dibalas ini guru BK tidak punya pekerjaan sekali berani mengerjai diri ini. Besok harus mendapat ide untuk membalas. Kaki ini akhirnya keluar dari ruangan BK yang sangat menyebalkan. Hari ini kalah telak dengan Pak Agus. "Woh berarti di sini kelihatan Bapak adalah orang yang suka mengeksploitasi kemampuan murid dan memanfaatkan di luar kepentingan sekolah ini. Wah ... bisa dilaporkan pada pihak yayasan dan pihak berwajib," kataku saat embali ke ruangan Pak Agus. Beliau tampak terkejut dan tidak menyangka aku akan membalasnya secepat ini. Tidak boleh terlambat jika membalas Pak Agus. Harus secepatnya dan sesuai dosis yang dianjurkan. Tujuannya adalah agar sakit kepalanya mendadak datang. "Saya itu baik. Menguji kemampuan kamu!" pekiknya tidak terima. "Oh ... makasih, sayangnya tadi jumlah kendaraan itu hasil ngarang indah yang luar biasa," kataku sambil keluar dari ruangan BK sambil terkikik melihat wajah Pak Agus. Aku kembali menuju kelasku. Teman-teman sekelas masih sibuk bercanda ria. Rini tampak antusias menyambutku, dia mengangsurkan roti sobek dan air mineral. Aku sedikit heran, karena ini tanggal tua. Darimana dia punya uang membelikan makanan untukku. "Ini dari Pak Reza, beliau titip buat kamu," katanya dengan wajah berbinar. "Uhuuukk." Aku tersedak saat memakan roti sobek. Rini membukakan penutup botol air mineral. Sungguh berita yang mengejutkan hari ini. Aneh tapi nyata, beliau memberikan ini padaku. Namun, mengapa Rini malah tampak bahagia? Hal ini tidak wajar. "Pelan makannya, Na, ga usah buru-buru. Toh Pak Ali terlambat nanti, 'kan sudah biasa," kata Rini dengan nada sangat riang."Aku diajak makan bareng sama Pak Reza nanti malam," katanya setengah berbisik. Ternyata ada imbalan dari guru PPL yang menjadi idola sekolah in. Pantas saja sangat bahagia, semoga saja tidak ada hal yang aneh terjadi. Rini gadis yang mudah sakit hati, hal itu berpengaruh pada kesehatannya. Memiliki asma sejak kecil adalah kelemahan baginya, kapan saja bisa kambuh. "Selamat ya, semoga makan sampai kenyang dan gratis," jawabku setelah selesai meminum air mineral. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD