Part 14

1115 Words
Rini menoleh ke arahku, matanya berbinar. Hari ini mungkin hari yang sangat membahagiakan untuknya. Biarlah sesekali jalan-jalan menyegarkan otaknya. Setiap hari pekerjaan utamanya adalah belajar. "Kalau pun aku yang traktir ga masalah," jawabnya riang. Aneh memang jika terkena virus merah jambu. Apa pun bisa terlihat indah dan membahagiakan. Contohnya, gadis di sebelahku ini. Rela membayar acara makan malam bersama orang yang disukainya. "Kalo aku ga mau gitu, sayang duitnya. Mending buat cadangan tanggal tua," balasku sengit."Lagi pula kalo cowok minta traktir berarti dia ga modal," lanjutku menghasut Rini. "Ini 'kan masih pedekate alias pendekatan. Aku sih yang mendekati, kalo Pak Reza, entahlah," kata Rini dengan nada kurang bersemangat. "Aku bukannya mau nakutin ya, pas kejadian habis pelajaran Olah Raga itu ada satu guru PPL namanya Marisa, mau indekos di tempatku. Dia kaya ga suka kalau bahas Pak Reza. Mungkin aja pacarnya." Aku mengatakan hal yang sebenarnya terjadi. Tujuannya agar Rini tidak berharap terlalu jauh pada guru yang menjadi idola di sekolah. Rini hanya terdiam mendengar ucapanku, tidak ada kata yang keluar dari mulutnya. Mungkin hatinya terusik, dan cemburu. Aneh memang, bukan siapa-siapanya tapi membuat cemburu. Rini jarang dekat dengan pria manapun, bukan berarti tidak ada yang suka. Jika ditanya siapa saja yang suka dengan Rini, jawabannya banyak. Setengah jam berlalu, tidak ada tanda-tanda kedatangan Pak Ali selaku pengajar Muatan Lokal. Apa yang sedang dikerjakan beliau tidak ada yang tahu. Bimo, selaku ketua kelas juga tidak berniat mencari ke ruang guru. Mungkin berharap pulang cepat agar bisa mempersiapkan remedial sejarah untuk hari Kamis. Pak Agus datang saat kelas sedang sangat ramai. Bukan diam tapi teman-teman sekelasku justru mengabaikan kedatangan beliau. Hingga beliau menuliskan sesuatu di papan tulis yang membuat aku terkejut. Jam mata pelajaran Muatana Lokal kosong. Astaga! Setelah diizinkan pulang cepat, aku menggerutu di sepanjang perjalanan pulang. Jengkel rasanya, tapi jika diingat lagi kali ini harus serius. Pak Ali mengancam tidak mengizinkan mengikuti tes semester jika nilai ulangaku kurang dari delapan puluh. Jengkelku hilang berganti bingung, bahkan saat pulang seperti orang linglung memikirkan ucapan Pak Ali. Beliau tidak akan mengatakan omong kosong. Pasti akan terjadi jika aku tetap melanggar ancamannya. Sesampainya di tempat indekos, aku langsung masuk kamar. Riani sempat memanggil tapi aku abai. Malas berbicara dengannya, ujung-ujungnya menyampaikan pesan dari Arsa. Besok pagi sepertinya aku izin tidak masuk sekolah. Pikiranku butuh tenang, jadi besok aku akan membuat surat izin. Bagiku saat ini terpenting bisa mengistirahatkan otak dan tubuh yang sangat lelah. Jam dinding masih menunjukkan pukul tiga kurang sepuluh menit. Matahari juga masih bersinar, jadi bisalah tidur sebentar. Malam hari aku terbangun pukul sembilan. Entah, tidur siang jenis apa yang kulakukan. Beberapa jam tertidur, tanpa terbangun. Aku menguap dan bergegas ke kamar mandi. Kepala ini terasa sakit. Mungkin aku masuk angin, siang tasi belum makan dan ini sudah lewat jam makan malam. Aku meminta izin pada ibu pemilik indekos untuk keluar mencari makan. Kak Sofi kali ini bisa menemaniku. Gadis cantik yang berasal dari Bandung ini kebetulan hendak mengambil buku catatan di tempat teman satu kelasnya. Kami diizinkan, dengan catatan segera pulang karena sudah malam. l "Na, kamu itu tidur apa gimana? Dah kaya kebo aja. Tadi ada Rini lho, cari kamu sekitar jam lima sore." Kak Sofi memberikan kabar padaku. "Aku sakit kepala Kak, capek karena tadi dihukum Pak Ali dan Pak Agus. Kalau Pak Ali sih ga seberapa, nah Pak Agus tadi dihukum bersihkan kamar mandi guru." Aku mengadu sambil menahan sakit kepala yang semakin menjadi. "Kamu tuh ya, kalo sama Pak Ali harus hati-hati. Beliau bukan omong kosong kalo berbicara. Pasti kejadian, aku dengar berita dari Riani tadi sore pas pulang sekolah. Sebaiknya kamu persiapkan matang-matang untuk ulangan beliau." Kak Sofi menasihatiku, karena sudah lebih paham dengan karakter Pak Ali. Pak Ali adalah wali kelas Kak Sofi, jadi segala sifat dan sikapnya pasti sudah banyak yang mengetahui. Aku mendengarkan semua nasihat dari Kak Sofi. Arsa berada di kelas yang sama dengaj Kak Sofi. Berita yang pernah kudengar, cowok itu pernah tinggal kelas, bukan karena bodoh hanya saja tingkah lakunya yang kurang ajar pada guru. Sesampainya di warung makan ayam goreng 'Lezat' ternyata kita justru bertemu dengan Pak Reza dan Rini. Mereka baru saja selesai makan. Kak Sofi ramah menyapa mereka. Aku justru malas bertemu mereka. Jika tahu kejadiannya seperti ini lebih baik tadi mengambil catatan dulu, baru beli makan. "Kamu sakit?" tanya Pak Reza mendadak sambil memperhatikan wajahku. "Enggak, tapi lapar." Aku sengaja berdusta karena tidak ingin mendengar kalimat berikutnya yang akan keluar dari mulutnya. Aku menuliskan pesananku, seporsi ayam bakar dan jeruk panas. Kali ini semoga bisa meredakan sakit kepala ini. Pak Reza juga terdiam, menikmati sisa teh yang ada di depannya. Rini, gadis itu entahlah, apa yang dipikirkannya. "Rin, tadi datang ke tempat indekosku ya?" tanyaku padanya. Kami duduk berhadapan, karena aneh rasanya jika duduk terpisah. "Iya, mau ngajak kamu makan di sini bareng," jawabnya lesu. Aku mengerjabkan mata beberapa kali mencerna apa yang dikatakan Rini. Bukankah mereka hendak makan berdua kenapa justru mengajakku? Aku melihat Pak Reza sekilas. Beliau sedang berbicara dengan Kak Sofi, membahas Matematika materi Integral. "Ngantuk berat tadi, capek banget. Bersihin kamar mandi guru." Aku mengatakan hal yang sebenarnya."Belum lagi ga makan siang, jadi ya gini deh," lanjutku. "Besok Rabu kayaknya ga ada ulangan, tapi pulang sekolah jam empat sore," kata Rini. "Iya," jawabku singkat karena pesanan sudah jadi."Aku duluan ya," pamitku pada keduanya sambil menarik Kak Sofi. Aku berjalan mengantarkan Kak Sofi mengambil buku catatan di tempat indekos temannya itu. Heran saja mengapa malam baru diambil. Barangkali lupa saat pulang sekolah tadi. Gadis cantik dari Bandung ini memang paling sibuk di tempat indekosku. Ada beberapa les yang diikutinya agar membantu menaikkan nilai. "Rini kok bisa makan sama Pak Reza?" tanya Kak Sofi mendadak membuatku kaget. "Ga tahu juga, mungkin mereka sebelumnya sudah kenal. Bisa juga satu daerah dan saling kenal 'kan?" tanyaku balik pada Kak Sofi agar tidak menimbulkan kecurigaan. "Oh gitu, bisa jadi sih. Nada dan logat mereka berdua juga sama." Akhirnya Kak Sofi tidak lagi bertanya. Catatan miliknya sudah didapatkan, saatnya pulang. Aku menahan sakit kepala yang semakin menjadi. Harus segera minum air hangat untuk meredakannya. Jeruk panas yang kupesan tadi semoga bisa mengurangi sakit kepala ini. Aku masuk kamar setelah sebelumnya mengunci gerbang tempat indekos. Mengambil piring milikku dan perlengkapan makan yang lain untuk meletakkan makan malam ini. Lidah ini rasanya pahit saat suapan pertama masuk. Aku memaksakan makan agar tidak bertambah parah. Selesai makan, aku memilih merebus air putih untuk kuminum. Takut jika minum jeruk panas asam lambungku naik. Benar saja setelah meminum air putih hangat keringatku keluar semua. Aku masuk angin, besok Rabu tidak masuk dan izin sakit. Malam ini membuat surat dan minta tolong Riani untuk mengantarkan di kelasku. Tak lupa meminta tanda tangan pemilik kos ini. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD