Part 15

1076 Words
Rabu pagi saat terbangun dari tidur, kepalaku sakit sekali. Semua serasa berputar, benar-benar tidak bisa berjalan. Jam dinding masih menunjukkan pukul enam pagi. Teman-teman indekos masih sibuk bersiap untuk pergi ke sekolah. Aku melihat ke arah kamar Riani, masih menyala lampunya. Sang pemilik kamar pasti sedang di dalam. Aku berjalan dengan sempoyongan menuju kamarnya. Mengerahkan semua tenaga yang masih ada. "Loh, kamu kenapa? Kok sampai pucat kaya gini?" Mbak Irma bertanya tanpa titik dan koma membuat kepalaku bertambah sakit."Kecapekan kamu pasti ini, makanya jadi kaya gini," lanjutnya yang hanya kuangguki saja sebagai jawaban. Aku mengetuk pintu kamar Riani, hanya satu kali ketuk pintu kamarnya terbuka. Gadis aneh ini tampak terkejut melihat penampilanku. Mulutnya sampai menganga lebar melihatku. Ada-ada saja, dikira melihat penampakan mungkin. "Ni, titip surat ya, aku ga enak badan banget." Aku menyodorkan surat tanpa amplop padanya."Tolong juga belikan amplop dan mintakan tanda tangan Ibu," lanjutku. "Ya Allah, kamu pucet banget. Mana bau lagi." Riani memang selalu jujur jika mengatakan hal-hal yang membuatku emosi. Aku tidak memedulikan lagi ucapannya. Segera masuk kamar dan kembali tidur. Mulut rasanya pahit jika menelan, bahkan tenggorokanku mulai panas dan sulit menelan makanan. Jika nanti tidak reda sakitnya meminta tolong Mas Panji, anak pemilik indekos mengantarkan ke rumah sakit. Aku terbangun lagi saat matahari bersinar dengan terik. Jam sebelas siang aku terbangun dengan baju basah kuyup karena keringat. Aku mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi. Badanku sudah sedikit lebih baik daripada tadi pagi. "Na, ga sekolah?" Kak Sofi ternyata ada di kos, mumgkin sedang mengambil sesuatu yang tertinggal." Eh, tunggu, kamar kamu hujan kah? Itu kok bajumu basah semua?" tanyanya lagi. "Ini keringat, Kak, aku ga enak badan. Dari semalam rasa. Nah ini puncaknya, tapi dah mendingan kok." Aku menjawab sambil berjalan menuju kamar mandi, Kak Sofi hanya mengangguk sebagai jawaban. Selesai membersihkan badan dengan ritual cuci muka dan gosok gigi saja, aku memutuskan membeli makan di warung terdekat. Menu seadanya saja, daripada tidak makan sama sekali. Memesan nasi putih dan telur dadar, juga jus jambu tanpa es. Kali ini harus memaksa diri untuk makan. Aku kembali ke tempat indekos dengan perut kenyang. Rencananya ingin belajar Sejarah untuk remedial besok siang. Tenggorokan ini tidak bisa diajak kompromi, semakin sakit. Terpaksa harus meminta tolong. Aku mengambil ponsel dan mengirim pesan pada Fajar. [Jar, minta tolong nanti pulang sekolah belikan tablet hisap radang tenggorokan. Aku radang sakit banget.] Terkirim [Wah beneran sakit? Kirain tipu, kelas sepi ga ada kamu. Tadi Riani datang antar surat, guru-guru percaya kalo kamu beneran sakit. Cerita dia tuh mantap banget, katanya kamu dah kaya zombie dan bau pula. Hahahaha.] Aku menghela napas panjang, kalau tadi pagi tidak berhutang budi pada Riani sudah kulibas dia. Seenaknya mengatakan aku seperti zombie, tapi memang iya, wajahku bahkan tidak jelas. Tidak mandi bahkan baju pun seperti gelandangan. Sore hari aku keluar kamar setelah gedoran pintu yang memekakan telinga. Pasti Riani! Dia suka sekali menggedor pintu, tangannya bahkan seperti batu saat menggedor pintu. Mungkin saja makan batu kalo tidak ketahuan orang. "Ada Fajar dan yang lain di ruang televisi," katanya sambil tersenyum tanpa dosa. Aku mengernyitkan dahi mendengar ucapan 'yang lain' maksudnya apa? Sejenis makhluk halus atau apa? Membingungkan sekali gadis aneh yang jago basket ini. Aku bahkan besok satu tim dengannya. Aku mencuci muka agar tampak levih segar. Badanku sudah lebih baik, tidak seperti tadi pagi. Kaki ini segera melangkah menuju ruang televisi. Aku sangat terkejut melihat siapa saja yang datang ke tempat indekos . "Na, udah baikan?" tanya Rini dengan nada khawatir tingkat kecamatan. "Iya, mendinglah," jawabku singkat. Ada Agung dan Pak Reza di sana. Fajar dan Bimo juga Rini memang sudah biasa datang tapi kedua orang itu baru pertama kali datang. Entahlah, tujuannya apa? Aku berdebar tidak karuan melihat Agung datang. Gebetanku tidak bertanya tentangku, hanya diam. Itu saja membuat berdebar apalagi jika dia bertanya, mungki saja aku pingsan. "Nirina, ini tablet hisapnya sama Paracetamol." Pak Reza menyerahkan bungkusan plastik berisi obat. Aku mematung mencerna keadaan ini. Tadi diri ini pesan pada Fajar, mengapa yang memberikan obat justru Pak Reza? Aku memandang Fajar yang tampak sibuk dengan acara televisi. Bahkan di meja ada beberapa makanan dan buah, entah buat siapa dan milik siapa. "Terima kasih," jawabku singkat. Pak Reza hanya tersenyum memperlihatkan lesung pipinya. Setelah obrolan dan candaan yang panjang mereka berpamitan pulang. Makanan dan buah-buahan itu ternyata untukku. Mungkin mereka patungan membelinya, membuat hati ini terharu. Aku masuk kamar dan mulai belajar Sejarah. Besok remedial! Mata pelajaran Sejarah itu sulit. Harus menghafal dan sama persis dengan catatan, buku, dan fotocopi jika menjawab pertanyaan saat ulangan. Maka dari itu, banyak yang remedial. Aku bahkan setiap kali ulangan harus remedial. Jadwal hari Kamis sangatlah padat. Aku yang sedang tahap penyembuhan radang tidak fokus sama sekali. Pikiran terbagi, antara remedial, latihan basket, juga kegiatan lain. Pagi ini aku terlambat lagi, bahkan saat mereka sedang upacara bendera di lapangan. Aku berlari menuju lapangan, semua perlengkapan kutitipkan pada satpam sekolah. Apes! Pak Agus menyadari kedatanganku dan meminta berbaris bersama guru. Semua siswa dari kelas satu hingga kelas tiga tertawa melihatku. Entah apa lagi yang aneh? Selesai upacra aku harus menghadap guru BK dan wali kelas. Sebenarnya malas menghadap keduanya, pasti omelan dan hukuman akan menimpaku. Bukan hal aneh jika harus dihukum, sejak kelas satu dulu selalu berbuat onar. "Sudah datang kamu? Tahu kenapa saya panggil?" tanya Pak Agus selaku guru BK yang super aneh menurutku. Sebab selalu saja menganggapku nakal. "Lah ya mana saya tahu, kenapa dipanggil. Memangnya saya orang pintar yang maha tahu," jawabku ketus sambil menatap wajah beliau yang menjengkelkan. Pak Agus tampak menghela napas panjang, mengernyitkan dahi agar terlihat keren ketika menghadapi ulahku. Bukan tidak menghormatinya hanya saja, mengapa selalu menganggapku nakal. Wajar saja jika usia enam belas tahun punya daya ingin tahu yang tinggi. "Ini hari apa?" tanya beliau singkat sambil membenarkan letak dasinya yang sudah benar. Mungkin saja karena kurang pekerjaan. "Hari ini saya sekolah, berarti bukan hari Minggu atau hari libur nasional," jawabku ringan seperti tidak ada dosa dan kesalahan yang sudah kuperbuat. "Baiklah, kamu menghadap wali kelas saja. Saya bingung harus memberikan nasihat apa pada kamu," ucap beliau sembari mengusap keningnya yang sedikit berkeringat. Aku pergi tanpa pamit keluar dari ruangan guru BK. Banyak guru yang menggunjing atas semua ulahku dan kelakuan yang menurut mereka 'nakal' membuat banyak guru yang kadang memandang rendah padaku. Aku melanjutkan langkah menuju kantin sekolah. Lapar dan haus karena saat di panggil Pak Agus beliau tidak memberikan air atau cemilan yang ada di mejanya. Sungguh guru tidak terpuji sekali. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD