Part 16

1048 Words
Jam dinding masih menunjukkan pukul sembilan pagi. Seluruh siswa dan siswi sedang mengikuti pelajaran yang sedang berlangsung kecuali aku. Mataku langsung hijau melihat banyak makanan yang masih utuh belum ada yang membeli. Aku pesan soto dan segelas air putih lalu duduk di dekat penjual soto. Aku mengamati sepasang suami istri tersebut saat meracik soto khas Sokaraja. Pagi tadi belum sempat sarapan karena bangun sudah jam tujuh kurang sepuluh menit. "Ini, Mbak, sotonya," kata Bu Marni penjual soto. "Kok ga ikut pelajaran?" lanjutnya. "Lah tadi dipanggil Pak Agus dua jam cuma ditanya sekarang hari apa?" jawabku bersungut kesal mengingat kejadian tadi. Bu Marni malah tertawa lebar mendengar curhatanku. Ada kumpulan kelas tiga yang sedang beristirahat karena habis pelajaran olahraga. Salah satu kakak kelas menyapa dan mendekat membuat hilang selera makan saja. "Kok istirahat sendirian? Padahal masih jam pelajaran," katanya sambil duduk di sebelahku. Dia adalah Arsa. Anaknya baik sebenarnya hanya saja mulutnya pedas kalau memberikan kritikan. Entah hanya padaku saja atau semua yang diberi kritik olehnya merasa sakit hati karena pedasnya kritikan itu. "Lapar," jawabku singkat tanpa menoleh kearahnya yang sedang meminum es teh manis miliknya. "Ga sayang sama uang sekolah orang tua, malah ga ikut pelajaran tapi ngelayap ke kantin?" tanyanya seolah peduli tapi membuat jengah. "Bukan urusan kamu!" ketusku dengan sebal. Acara makanku terhenti kala wali kelasku datang ke kantin. Aku pura-pura tidak memedulikan kedatangannya. Bukannya apa, ada rasa takut juga ketika berurusan dengan beliau. Pak Rama mendekatiku dan malah duduk di depanku dan Arsa. Kami berdua menjadi salah tingkah. Sebab, ada senyum aneh di bibir beliau. Senyum kecurigaan yang membuatku gusar. "Nana mau bicara di sini atau di ruangan saya?" tanya Pak Rama dengan mata masih tetap mengamati tingkah aku dan Arsa. "Nanti, Pak, masih makan takut keselek sendok," jawabku tanpa basa-basi. Jujur saja aku takut menghadapi beliau. Banyak kata-kata yang membuatku tidak berkutik sama sekali. Bahkan guru BK saja aku bisa menjawab semua perkataannya dengan lancar. Namun beliau ... ah sudahlah nanti dipikirkan kembali Menghadapi Pak Rama tidak lah mudah. Beliau selalu punya kata-kata bijak yang membuat siswa dan siswi tidak berkutik sama sekali. Aku salah satu dari mereka. Kali ini adalah ketiga harus menghadap beliau. Sampai sekarang, aku belum paham apa kesalahanku hingga tadi harus masuk BK. Jam sebelas siang akan ada remedial pelajaran Sejarah. Persiapan semalam jadi tercecer akibat dipanggil Pak Agus. Hanya satu yang kuingat sebelum masuk ruang BK, banyak guru menggeleng melihat diri ini. "Sudah selesai, Pak, sekarang saja bicaranya," kataku sambil meletakkan sendok di atas mangkuk soto. "Yakin?" tanya beliau singkat yang hanya kuangguki saja. Arsa juga terlihat sibuk dengan makanannya, tapi aku tak peduli. Dia mati kutu jika ada Pak Rama. Cowok aneh ini dulu anak wali Pak Rama juga. Mungkin saja tobat karena kata-kata bijak Pak Rama. Aku mengekori Pak Rama untuk ke ruang beliau. Banyak pasang mata memandang dan tersenyum bahkan tertawa geli melihatku. Entah apa yang membuat mereka seperti itu. Pikiran ini masih tertuju pada remedial Sejarah dan latihan basket nanti setelah jam istirahat kedua. Sesampainya di ruangan Pak Rama, aku terkejut melihat pantulan diriku di cermin. Astaga! Pantas saja banyak orang melihatku aneh. Aku menunduk melihat sepatu yang kugunakan. Sebelah kiri sepatu pantofel, kanan sepatu olahraga. Astaga! "Sudah sadar?" tanya beliau saat baru saja duduk di kursi. Aku mengangguk saja sebagai jawaban. Malu! Jika terlalu fokus untuk remedial atau akan ulangan, selalu saja tidak fokus dengan hal-hal kecil lainya. Lihat saja, ini hari Kamis, ada upacara bendera dan latihan basket. Wajar jika aku memakai sepatu pantofel hitam dan sepatu olah raga. "Sa-saya buru-buru, Pak, tadi. Makanya terjadi tragedi aneh ini," jawabku sambil menunduk. . "Saya paham karakter kamu, makanya saya minta Mas Nano memindahkan cermin ini di ruangan saya. Saya tahu setelah Pak Agus tidak bisa menangani kamu, pasti saya yang harus bertanggung jawab sebelum kamu dipanggil ke bagian kesiswaan." Beliau mengatakan dengan tegas. Nyaliku selalu saja menciut jika menghadapi Pak Rama. Tidak ada kalimat yang akan keluar dari mulut ini untuk membantahnya. Terkesan patuh. Sejujurnya, banyak siswa dan siswi yang segan dengan Pak Rama. Beliau ramah dan sangat baik pada semua orang. "Tidak akan selesai jika kamu hanya diberi pertanyaan. Makanya cermin ini harus ada di ruangan ini. Dengan begitu kamu pasti sadar apa yang membuatmu dipanggil ke ruang BK tadi." Pak Rama mengatakan dengan nada tegas tapi begitu menyentuh tepat di hati ini. "Saya, izin pulang ganti sepatu, Pak," kataku dengan takut-takut. "Ya, silakan, ingat balik ke sekolah, tim basket sangat bergantung padamu. Masih ada waktu satu jam untuk belajar sejarah setelah kamu pulang mengambil sepatu." Pak Rama menyerahkan sepucuk surat izin agar aku bisa keluar sekolah. Setelah menerima surat, aku bergegas menuruni tangga dan berjalan menuju gerbang sekolah. Terik matahari membuat malas untuk berjalan kaki. Diri ini memutuskan untuk naik angkutan umum. Aku tidak berlama-lama di tempat indekos, walaupun biasanya akan merebahkan tubuh. Kali ini ingin segera kembali ke sekolah dan belajar Sejarah. Setidaknya mengulang materi yang berjumlah empat bab untuk remedial. Kelasku tampak ramai, riuh tidak jelas seperti biasanya. Jadi tidak usah kaget. Rini bahkan sibuk bercanda ria dengan yang lain. Gadis bermata belok itu tidak ikut remedial, nilainya pas di atas minimal, tujuh puluh dua. Angka itu menyelamatkannya, sedangkan aku enam puluh delapan, kurang satu poin agar lulus remedial. "Rin, jam kosong?" tanyaku padanya yang membuatnya menoleh. "Hahahah, iya, Bu Rista mau ngisi tapi temen-temen menolak." Aku sedikit heran mendengar ucapan Rini. Hari ini memang ada pelajaran Bahasa Indonesia, tapi mengapa guru pengampunya ditolak? Ada-ada saja kelas ini. Banyak guru mengatakan, kelasku paling urakan alias anak-anaknya ajaib dan sulit dikontrol. Mereka sering kali mengeluh jika masuk ke kelas ini. "Kamu tahu ga kenapa Bu Rista ditolak?" tanya Rini sambil melirik sekilas ke sebelah kiri. "Enggak," jawabku singkat. "Nila ga dihukum kemarin, makanya sepakat seluruh angkatan kita menolak Bu Rista dan Pak Agus." Jujur aku terkejut mendengar ini."Kamu saja sampai sakit kemarin karena kecapekan, masa dia ga dihukum? Kamu juga mau mewakili sekolah bertanding basket, tapi dapat hukuman," lanjut Rini dengan menatap tajam ke arah Nila. Aku baru tahu ternyata Nila benar-benar anak emas di sekolah ini. Beruntung mempunyai teman yang setia. Mereka semua memang bisa diandalkan. Walaupun kadang tingkah polah mereka ajaib, tapi mereka selalu bisa diandalkan dalam bidang kerusuhan. Aku memang tidak sehebat Nila jika dalam bidang pelajaran. Jika tanya hebat dibidang apa, dengan bangga akan aku jawab, kehebatanku dalam bidang kerusuhan dan membuat Pak Agus serta guru lain sakit kepala mendadak. Tidak hanya itu, otak ini juga hebat jika terdesak. Terdesak saat terlambat masuk sekolah misalnya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD