Part 17

1056 Words
Rini memberikan nasihat yang kebetulan berharga. Memintaku untuk belajar. Hal yang sangat langka terjadi bagiku adalah kegiatan belajar. Lebih mengutamakan santai dan santai. "Belajar deh, remedial lebih susah dari ulangan," kata Rini menasehatiku."Eh iya, kemarin kita mencopot jabatan Nila sebagai bendahara satu. Diganti sama kamu, ga guna dia jadi bendahara," kata Rini. "Lho?" tanyaku pendek karena terkejut dengan ucapan teman sebangkuku. "Iya, coba lihat, mana jalan iuran perbulan untuk fotocopi, Bimo banyak nombok. Kasihan dia, mana orangnya pendiam ga akan banyak protes dia. Namanya anak merantau pasti ada masanya kekurangan uang. Makanya kalo nombok terus ya kasihan," kata Rini penuh semangat bak pendemo yang paling ahli. Jadi, kemarin Nila tidak dihukum? Sebagai balasannya, teman-teman satu kelas dan warga kelas lain menghukum Bu Rista dan Pak Agus. Wah, pantas saja, tadi beliau tidak memberikan hukuman buatku. Bisa jadi takut siswa dan siswi akan berbuat lebih aneh lagi. "Rin, trus buku iuran kas kelas siapa yang pegang?" tanyaku sambil membuka catatan sejarah yang ingin k****a. "Sama Bimo kalo ga salah. Kemarin anak-anak heboh. Itu Jenny yang nyebarin kalo pas kamu di hukum di ruangan Pak Ali, Nila tuh di suruh kembali ke kelas dan dimaklumi kesalahannya. Kita semua ga terima perlakuan kaya gitu." Rini tampak kesal menjelaskannya padaku. Pantas saja, Nila dan Anita hanya diam hari ini. Biasanya akan menjadi orang paling heboh ketika mendengar nama teman yang mengikuti remedial. Dengan nada menjengkelkan, dia menghina dan mengolok hingga menyakitkan hati. "Dah sembuh, Na?" tanya Fajar yang sangat terlihat santai. "Udah. Tumben ga ribut belajar Sejarah?" tanyaku penasaran. "Woh ya jelas dong, aku ga remedial. Nilaiku pas. Pas sama kantong dan pas ga remedial." Jawabannya sukses membuatku melongo. Artinya hanya aku saja yang akan remedial, ketiga temanku tidak. Jam sebelas akhirnya tiba juga. Bu Lusiana juga sudah menunggu di aula tempat khusus untuk remedial. Jika remedial dilakukan secara bersamaan. Sejujurnya malas jika Sejarah harus remedial. Sebab, dari empat bab yang keluar hanya satu soal saja. Seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Belum lagi semua soal untuk siswa yang mengikuti remedial akan berbeda. Sungguh kreatif beliau, agar tidak ada yang menyontek. Kali ini aku terkejut, Agung mengikuti remedial Sejarah. Hal yang sangat langka dan ajaib. Aku bersemangat dan berdebar melihatnya. "Na, remedial juga?" tanyanya membuatku salah tingkah saja."Rini mana? Biasanya juga bareng kalian remedial," lanjutnya sambil mencari seseorang. "Em ... dia ga remedial, nilainya tujuh puluh dua," jawabku jujur. Agung tak lagi bertanya tentang Rini, mereka dulu satu SMP. Wajar jika menanyakan perihal Rini. Bu Lusiana ternyata sudah menunggu kami semua. Soal dibagikan dengan cara berbaris seperti mengmbil antrian sembako. Astaga! Soal yang kudapatkan tentang Proklamasi Kemerdekaan. Mana sempat baca bagian ini. Bakalan dapat nilai berapa kalau seperti ini? Hati ini mulai gelisah, tidak hanya aku, ternyata banyak yang mengalami gelisah karena soal yang ajaib ini. Semoga saja otak cerdasku datang tepat pada waktunya. Jangan sampai mampet atau tumpul mendadak. Bisa gawat jika nilai nol, di raport akan tertulis tidak tuntas. Membahayakan! Aku ingat, uang pecahan seratus ribu ada Proklamasi. Wah ... otak ini memang bisa diandalkan. Tangan ini merogoh saku rok seragam sekolah, memang ada beberapa uang. Aku meletakannya di meja. Seratus ribu rupiah, dua lembar lima ribuan, dan sisanya uang koin. "Nirina! Ini sedang remedial, kalo mau mainan uang nanti saat pelajaran Muatan Lokal. Kamu ini selalu saja membuat kekacauan!" bentak Bu Lusiana. "Tenang, Bu, lagi cari ide menjawab soal ini. Ide bisa datang saat melihat uang," jawabku membuat seisi aula tersenyum. "Ide apa? Ide kekacauan dan kerusuhan?" tanya beliau dengan nada menghina. " Bu, kalo saya remedial ini dapat seratus, Ibu mau kasih saya apa?" tanyaku sambil tersenyum lebar. Jawaban dari soal Beliau ada di uang pecahan seratus ribu rupiah ini. Aku menang kali ini. Memang, jika remedial tidak boleh membawa buku atau fotocopian, hanya perlengkapan menulis saja. Bukan berarti tidak boleh bawa uang 'kan? "Saya akan bayar uang SPP kamu selama satu semester. Kok kaya ngimpi ya kamu bisa dapat seratus?" ejeknya. "Teman-teman dengar ya, apa yang dikatakan Bu Lusiana. Tolong ingatkan ya, jika ingkar janji kita buat seperti Bu Guru yang itu." Aku berteriak lantang. Jiwa pendemo tumbuh ketika mendengar imbalan yang diucapkan oleh Bu Lusiana. Lumayan sekali, enam bulan gratis SPP. Bisa untuk jajan uang dari orang tua. Wah, untung otakku lancar. Beruntung teman-teman satu ruangan aula setuju. Hati ini sangat riang saat menyalin naskah Proklamasi dari uang seratus ribu. Bahagia sekali. Besok apa kabar ya Bu Lusiana, lihat saja. Jika ingkar maka seluruh angkatan pasti akan mem-bullynya. Pertolongan selalu datang tepat pada waktunya. Pas sekali dengan adanya uang seratus ribu ini. Sepertinya memang ini hal terbaik yang menimpaku hari ini. Lupa dengan acara dan strategi membalas Pak Agus karena tidak menghukum Nila. Bu Lusiana masih saja menatapku dengan pandangan remeh. Seolah tidak mungkin jika mendapatkan nilai seratus. Lihat saja, Matematika kemarin sudah dapat seratus. Namun, masih belum dibagikan, tapi teman-teman yang lain sudah bercerita. Jika Rabu kemarin masuk, mungkin saja nilaiku sudah diberikan oleh Pak Bambang. Acara remedial selesai dengan hatiku yang sangat berbunga. Bukan berbunga karena riba tapi akan mendapatkan rezeki dari Bu Lusiana.Teman-teman satu ruangan tadi mungkin tidak akan percaya jika besok nilai remedial ini seratus. Aku kembali ke kelas, Agung sebagai kapten basket putra menunggu di depan aula. Ada meeting kecil, karena kapten tim basket putri sedang opname, kecelakaan dari berita yang aku kapatkan. Setelah semua berkumpul, kami tim putri sepakat Riani lah yang menjadi kapten. Untuk peserta cadangan ada dua orang, Wina dan Melly. Mereka masih kelas satu. Namun, tak mengapa, satu tim harus saling memberikan semangat dan percaya jika kita mampu Siang ini akan berlatih basket hingga sore atau bahkan malam. Sudah lama tidak mengikuti pertandingan membuat tubuh ini mudah lelah. Pikiranku hanya satu, mereka semua bergantung pasa tim ini. Nama baik sekolah akan dipertaruhkan. Aku hanya bisa berlatih dengan baik. Memberikan hadiah terbaik untuk sekolah ini. Hebat, ketika otak berpikir positif, maka tubuh merespon dengan baik. Lelah yang tadi ku rasakan hilang seketika. "Na, besok hari Jumat kita latihan lagu," kata Riani mengingatkanku. "Kita dapat dispensasi untuk tidak mengikuti pelajaran hari Jumat, Agung dan Bimo yang mengurusnya kemarin Rabu," lanjutnya. Aku mengangguk sebagai jawaban. Riani walaupun kadang menyebalkan, gadis asal kota Solo ini sangat bertanggung jawab. Dia akan memberikan informasi secara menyeluruh kepada tim basketnya. "Teman-teman besok jangan sampai terlambat ya, kita kumpul jam enam lebih tiga puluh di depan aula." Riani mengatakan saat hendak pulang. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD