03. Telepon dari Hujan

2218 Words
Aisu sudah selesai mandi, dia menuruni anak tangga sambil mengeringkan rambut panjang bergelombangnya dengan handuk kecil. Lantai satu sepi, hanya terdengar suara tv di ruang tengah. Aisu menuju ke sana, didapatinya Ami tengah tertidur memeluk Coco, boneka lelaki berjas kesukaannya. Aisu mematikan tv, lalu menggendong Ami, membawa gadis cilik itu ke kamarnya yang tepat berada di sebelah kamar Papa dan Mama. "Ng...." Ami menggeliat, tampak tak nyaman. "Sssttt. Tidur, tidur." Aisu menarik selimut hingga sebatas pundak adiknya. "Mama...." Aisu tersenyum geli mendengar Ami mengigau. "Iya, Ami. Mama sebentar lagi pulang. Ami tidur dulu, nanti pas bangun Mama sudah di rumah, kok." Setelah menempatkan Coco tepat di sebelah bantal Ami, Aisu pergi keluar kamar tanpa menutup pintu, guna adiknya tak histeris saat bangun nanti. Aisu beranjak ke ruang tengah. Dia menutup korden. Langit dari baliknya tampak gelap, padahal jam dinding berwarna perak di dinding baru menunjukkan pukul lima sore. Hari terlalu dini bagi matahari untuk pergi. Mendengar bunyi melengking ketel pertanda air telah masak, Aisu segera pergi ke dapur. "Mbak Ris, tehnya sudah ja—" Tapi orang yang dicarinya tidak ada di sana. Aisu lantas mematikan kompor. Bibir ketel berdesis sebelum mengeluarkan uap. Aisu mengambil lap, mengangkat pegangan ketel, dan menuangkan air panas itu ke dalam gelas yang sudah diisi kantung teh dan gula pasir oleh Mbak Ris di meja makan. Dia menaruh ketel kembali, mengambil sendok dan mengaduk teh hangat manisnya. "Mbak Ris pulang, ya? Hujan besar begini?" Kecurigaannya terhadap teh yang hanya disiapkan segelas—padahal biasanya Mbak Ris menyiapkan dua: satu untuk Aisu, satunya lagi untuk dirinya—membuat Aisu mencari Mbak Ris ke seluruh rumah. Aisu meninggalkan tehnya yang masih panas, dia pergi dari dapur. "Mbak Ris?" Aisu berteriak di ujung anak tangga, berpikir bahwa Mbak Ris ada di lantai dua, tapi tak ada jawaban apa-apa. "Mbak Ris ke mana, sih? Betulan pulang? Kenapa enggak bilang-bilang?" Aisu bergumam sendiri. Dia mencari ke ruang tamu, tapi tidak ada apa-apa kecuali sofa-sofa yang saling membisu. Lalu ke ruang tengah, pun tak ada siapa-siapa kecuali tv dan sofa bed yang saling berhadapan. "Mbak Ris? Mbak!" Aisu kembali lagi ke dapur, tapi tidak menemukan sesiapa pun di lantai satu. Dia tidak pula curiga kalau Mbak Ris berada di lantai dua, sebab tak ada urusan yang mesti Mbak Ris selesaikan di sana. Lagi pula, lantai dua hanya ada kamar Aisu, ruang kerja Papa di sebelah kamarnya, dan kamar mandi saja. Jika Aisu berburuk sangka pada Mbak Ris, tidak ada barang penting di kamarnya dan ruang kerja Papa yang bisa dicuri. Kalaupun Mbak Ris membobol laptop dan PC, bagaimana dia akan membawanya hujan lebat begini? Aisu kan, dari tadi berada di lantai dua. Tidak mungkin ada seseorang yang menyelinap ke sana tanpa Aisu sadari. Terlebih lagi, tidak ada alasan bagi Aisu untuk curiga bahwa Mbak Ris akan berbuat suatu hal buruk seperti mencuri. Aisu tahu, Mbak Ris orang yang jujur. Mama dan Papa juga percaya kepada Mbak Ris. Lalu, ke mana perginya orang itu? "Mbak Ris betulan pulang? Ya ampun, padahal hujan begini." Aisu tidak jadi ke dapur. Kakinya membawanya ke lemari penyimpanan di dekat kamar mandi lantai satu. Aisu membuka laci satu per satu. "Lho? Tapi payung masih ada, kok? Jangan-jangan, Mbak Ris—" Ceklek "Eh, Mbak Aisu kenapa di sini? Kamar mandi di lantai dua, airnya tidak keluar lagi?" Dari pintu kamar mandi yang tepat di sebelah Aisu, Mbak Ris keluar dengan wajah kaget. Dan Aisu berwajah sama, tapi dia segera merasa lega setelah menemukan Mbak Ris masih di sana. "Ya ampun, Mbak Ris. Saya cari ke sana-sini, sampai mengira Mbak sudah pulang hujan-hujanan, tahunya ada di kamar mandi." "Eh, maaf, Mbak. Perut saya rasanya tidak enak dari kemarin." Aisu dan Mbak Ris beranjak menuju dapur, merasa kamar mandi bukan tempat yang tepat untuk berbincang. Aisu khawatir dengan Mbak Ris yang masih memegangi perutnya. "Sudah minum obat, Mbak? Sudah ke Bidan Netty di dekat jalan besar sini belum?" "Bi-Bidan? Tapi saya kan, bukan hamil, Mbak." "Duh, Mbak Ris. Bidan kan, bukan cuma untuk orang lahiran saja. Eh-- maksudnya memang lebih khusus untuk ibu bersalin sih, tapi bidan juga bisa melakukan pemeriksaan medis seperti dokter umum kok, Mbak." "Enggak pa-pa, Mbak Aisu. Paling cuma salah makan. Kemarin saya mampir ke warung bakso waktu pulang dari sini." Mereka sampai di dapur, Mbak Ris lebih dulu duduk, sedang Aisu menyiapkan segelas teh manis lain untuk Mbak Ris. "Eh, Mbak Aisu, tidak usah repot-repot! Biar saya saja yang bikin punya saya." "Gak apa, Mbak Ris. Sesekali biar saya yang bikin teh. Jam kerja Mbak Ris kan, sudah habis. Anggap saja sekarang Mbak Ris lagi bertamu di rumah saya." Aisu tertawa kecil. "Eh... makasih ya, Mbak. Tapi saya jadi tidak enak." Mbak Ris menerima segelas teh manis yang dibuatkan Aisu. Setelah menaruh sendok ke wastafel, Aisu duduk di sebelah Mbak Ris, tak lupa membawa teh manis hangat miliknya sendiri. "Kenapa masih sungkan sih, Mbak Ris? Benaran kayak tamu saja." Aisu tertawa. "Ngomong-ngomong, Mbak Ris makan bakso di mana, kok sampai sakit perut gitu?" "Di dekat rumah saya, Mbak. Tidak jauh dari perempatan portal perkompleksan ini. Kayaknya bukan karena tempatnya, Mbak. Sayanya yang kebanyakan pakai sambal. Hehehe." Aisu tertawa, dia menyeruput tehnya. "Ada-ada saja Mbak Ris." "Oh iya, Mbak Aisu sudah makan?" "Ah... belum." Aisu menatap langit-langit, mengingat sesuatu. "Sarapan juga belum." "Eh? Belum sarapan, Mbak?" Aisu menghela napas, teringat kejadian tadi pagi. "Gimana mau sarapan, kalau bangunnya saja hampir tengah hari." "Lho? Tidak biasanya Mbak Aisu kesiangan? Alarm Mbak Aisu kan, beranak-pinak. Kata Ami, suaranya sampai terdengar ke lantai satu setiap Ami lagi sarapan." Mbak Ris tertawa, trivia itu membuat Aisu menyengir. "Masa sih, Mbak? Perasaan, pintu kamar aku tutup," gumamnya. "Ami juga bilang, Mbak Aisu tidak akan bangun kalau Mama belum gedor-gedor pintu." Mbak Ris tertawa kecil-kecil, bersikap sopan menahan ledakan tawanya. "Hahaha." Aisu memegangi perutnya. Dia tertawa kencang, tergelak membayangkan wajah sebal Mama di depan pintu kamarnya yang lengkap dengan setelan kerjanya. "Mbak," panggil Mbak Ris. "Hm?" Aisu berdeham sembari meneguk tehnya, rasa haus setelah tertawa harus dituntaskan. "Saya... saya boleh masak di sini?" "Eh?" Gelas teh itu terhenti di udara, sedang orang yang memeganginya menatap Mbak Ris bingung. "Boleh-boleh saja, kok, tapi... kenapa tiba-tiba mau masak?" Aisu melihat Mbak Ris menatap permukaan tehnya yang tersisa setengah, tak tahu kapan diminumnya karena Aisu tak memerhatikan. "Mbak Ris mau belajar masak?" tanyanya sembari mengelap rambut panjang bergelombang yang jika sudah kering akan mengembang mirip singa. "Se-sebenarnya saya... saya cuma mau masakin Mbak Aisu saja. Mbak Aisu kan, belum makan dari pagi, saya khawatir Mbak Aisu kena maag. Jadi, ya... saya boleh masakin Mbak Aisu sesuatu?" ucapnya tuntas setelah ragu-ragu. "Eh, serius, Mbak? Boleh, dong! Boleh banget! Saya jadi tidak perlu menunggu Mama pulang buat makan." Mbak Ris lantas bangkit menuju kulkas, mengeluarkan bahan-bahan makanan, serta peralatan memasak lain yang tak Aisu kenal. Aisu berterima kasih. Dia menatap punggung Mbak Ris dari meja makan, membiarkan perempuan yang lebih tua lima tahun itu menggantikan posisi Mama sebentar. "Mbak Ris sering masak, ya?" "Dibilang sering sih, saya memang masak setiap hari, Mbak. Di dapur sendiri dan di rumah orang." Mbak Ris melanjutkan acara memasaknya. Aisu dapat mendengar suara pisau yang beruntun mengetuk talenan. Aisu menyeruput habis tehnya, menelan rasa tidak pahamnya bersama dengan keinginan untuk bertanya. "Mbak Aisu." "Ya?" "Mama dan Papa Mbak Aisu kapan ada waktu, ya? Saya mau bertemu." Aisu mengernyit. "Ada apa, Mbak Ris? Papa belum kasih gaji bulan ini?" "Bukan kok, Mbak Aisu." Perempuan itu berbalik menghadap Aisu. Tapi Aisu merasa nyawanya terancam, karena Mbak Ris berbicara sembari memegangi pisau, membuatnya menatap ngeri. "O-oke, terus apa yang mau diomongin, Mbak?" "Sesuatu yang penting, Mbak Aisu." "Sesuatu yang penting?" Aisu melihat raut wajah Mbak Ris yang berubah layu. "Mbak Ris mau ngomong apa?" Mbak Ris mengangkat wajahnya, menatap Aisu dengan raut wajah yang belum berubah. Aisu sampai bingung dibuatnya, sebab Mbak Ris berbicara terbata-bata, tidak langsung mengutarakan keinginannya. "Saya sebetulnya... saya...." "Iya?" "Sa-saya... saya mau...." Aisu mengernyit menatap wajah yang semakin tampak kuyu itu, menerka-nerka alasannya sekaligus arah pembicaraan yang membingungkan ini. "Mbak Aisu, saya... saya— sebetulnya...." "Iya? Kenapa, Mbak Ris?" Aisu dibuat geram. Mbak Ris meremas gagang pisau yang dia pegang, membuat kesan horor bagi Aisu, terlebih karena wajah Mbak Ris semakin tampak menahan sesuatu. "Mbak Ris, se-sebaiknya pisaunya taruh dulu. Kita bicarakan ini baik-baik, ya?" "Mbak Aisu, saya... saya... saya mau...." "I-iya mau apa, Mbak?" Aisu sontak berdiri, menjauh kala Mbak Ris melangkah mendekatinya dengan pisau dapur yang masih dalam genggaman. "Mbak-Mbak Ris! Pisaunya!" Aisu berseru panik. Tapi Mbak Ris tidak mendengar, tidak pula mengetahui kalau lawan bicaranya itu sedang panik. "Mbak Aisu, ada yang ingin saya bicarakan dengan Mama dan Papa Mbak Aisu. Tentang sesuatu yang penting." Wajah serius yang dibuat Mbak Ris, tidak memengaruhi Aisu yang menganggap suasana di dapur sudah berubah horor. "I-iya. Oke. Apa pun yang Mbak Ris mau, nanti saya bilang ke Papa saya, ta-tapi pisaunya—" "Eh, ya ampun!" Mbak Ris segera melempar pisau itu ke meja makan. Suara dentingannya membuat Aisu sedikit lega. "Maaf, Mbak Aisu! Saya tidak bermaksud jahat! Ta-tadi itu karena saya gugup, saya jadi tidak sadar! Benaran kok, Mbak Aisu! Ya ampun! Mbak Aisu tidak pa-pa, kan?!" Aisu menjatuhkan pantatnya ke kursi. "Gak pa-pa, Mbak Ris. Lain kali jangan main pisau lagi, ya. Mbak Ris horor banget kalau sudah pegang pisau. Saya jadi takut sendiri, tahu." "Ya ampun, maaf, Mbak Aisu." Mbak Ris menundukkan kepala dalam-dalam, merasa sangat bersalah. Tapi Aisu tertawa ringan, "Haha. Gak pa-pa, Mbak. Saya juga terlalu lebay, padahal Mbak Ris tidak mungkin melukai saya. Orang yang selalu ada di dapur, yang setiap hari di dapur memasakkan makanan untuk orang lain, pasti tidak akan melukai seseorang dengan pisau yang digunakannya untuk memasak. Nah, sekarang coba bilang pelan-pelan. Mbak Ris mau bicara apa sama orang tua saya?" Mbak Ris berkedip-kedip, kaget. Anak majikannya itu terlalu menganggap ringan kejadian barusan. Padahal jika saja ada setan yang lewat, bisa jadi nyawanya ikut minggat. "Ayo, Mbak Ris, mau bicara apa? Nanti saya sampaikan ke Papa." Suara Aisu menyadarkannya. "Eh— itu... saya...." "Duh, saya jadi greget kalau Mbak Ris bicaranya terbata-bata gitu. Coba rangkai dulu kalimatnya, saya jadi tidak sabaran, gemas mau cubit Mbak Ris." Aisu berusaha menenangkannya dengan sedikit bercanda. "Pelan-pelan saja, Mbak Ris. Tarik napas." Mbak Ris melakukan hal yang disuruh Aisu. Dia menarik napas banyak-banyak, lalu membuangnya. Menyiapkan hati dan mentalnya untuk mengatakan sesuatu yang penting. Bahkan, Mbak Ris sampai ingin menyampaikannya langsung pada orang tua Aisu—padahal biasanya, Aisu-lah yang menjadi perantara bagi kedua pihak itu. Mbak Ris sudah tampak lebih tenang. Dia berdiri di depan Aisu yang duduk. Posisi mereka saat ini malah tampak seperti seorang anak yang diinterogasi ibunya atas kenalakannya memecahkan kaca jendela tetangga. Aisu hendak terkekeh pada imajinasinya barusan, tapi melihat wajah Mbak Ris yang temaram, Aisu jadi diam. Aisu seolah tahu kalau ada sesuatu. "Mbak Ris ada masalah apa?" Aisu menarik lengan Mbak Ris, mengajaknya duduk. Bibir Mbak Ris terbuka, tapi terkatup lagi, dia ragu-ragu. Satu-satunya yang bisa dilakukannya hanyalah meremas celananya. Wajahnya tampak mengatakan kalau Mbak Ris sedang dalam terdesak situasi sulit. "Mbak Ris butuh berapa?" Aisu memegang pundak Mbak Ris, menyalurkan kekuatan. "Eh?" "Tidak apa. Cerita saja. Nanti saya bilang ke Papa, siapa tahu Papa bisa bantu." "Bu-bukan itu, Mbak Aisu. Saya tidak ada masalah keuangan. Saya...." Aisu mendengarkan, berusaha menahan rasa gemasnya karena lagi-lagi Mbak Ris berbicara setengah-setengah. "Mbak Ris, saya tidak bisa bantu kalau Mbak Ris tidak bicara." Mbak Ris terlihat ragu, bibirnya terbuka lagi sebelum wanita dua puluh lima tahun itu menggigitnya. "Mbak Aisu, saya ingin bicara tentang sesuatu yang serius perihal pekerjaan saya. Bisa gak, Mbak Aisu bilang ke orang tua Mbak Aisu kalau saya mau bertemu?" Aisu mengangguk. "Bisa, kok. Mbak Ris mau bicara apa memangnya?" "Saya... saya... saya sebetulnya sudah--" Tlililit tlililililit Obrolan itu, sialnya, terpotong oleh bunyi telepon rumah di ruang tengah. "Mbak Ris mau ngomong ap—" Tliliilililit "Lanjutkan saja, Mbak Ri—" Tlilililit tlililit Tlilililit tlililit "Mbak Aisu, teleponnya bunyi." Mbak Ris hendak bangkit, tapi Aisu sudah lebih dulu berdiri. "Biar saya saja yang angkat." Aisu berjalan keluar dapur menuju ruang tengah. Hujan di luar masih saja deras. Tampaknya tak juga mereda, suaranya masih saja berisik mengisi sore tanpa matahari itu. Tlililit tlililit "Ck, siapa sih, yang menelepon di situasi yang tidak tepat? Bikin sebal!" Aisu mengangkat gagang telepon rumahnya setelah menghela napas berat. Dia menghilangkan seluruh rasa kesalnya dan berkata dengan ramah, "Halo, selamat sore." "Pfftt— Kak Aisu, kenapa formal sekali, sih?" Aisu melotot. "Lho, Mindy?! Kenapa meneleponku lewat telepon rumah?! Nomor ini kan, khusus untuk urusan bisnis orang tuaku! Kamu tahu nomor ini dari mana?!" Aisu bersungut-sungut, sedikit merasa malu karena mengucapkan 'selamat sore' pada Mindy. "Hahaha—" "Tidak usah ketawa! Bikin ke— eh?" Aisu menjauhkan gagang teleponnya, lalu menaruhnya lagi di telinga. "Mindy? Ini Mindy?" Aisu kebingungan. Suara di seberang terdengar jauh berbeda dari suara Mindy. Apalagi, dia hanya tertawa tanpa berkata apa-apa. Darrrrr! Petir menyambar di luar rumah, membuat Aisu kaget sekaligus tambah bingung. Karena setelah suara petir, orang di seberang telepon semakin menggemparkan suara tawanya. "Hahahahaha." Suara itu membuat Aisu merinding. Semakin lama semakin terdengar berat dan serak. "Mi-Mindy?" Tapi yang lebih membuat Aisu terkejut, adalah suara yang datang di gagang telepon— "Hi..hi..hi..hi...." "Mindy?!" —yang ternyata berasal dari sebelahnya. Dan ketika menoleh, Aisu mendapati sosok hitam bersayap menyeringai menatapnya. "Halo, wahai manusia putus asa."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD