Sosok hitam bersayap itu menyeringai pada Aisu. Semua bagian tubuhnya serbahitam: tanduk, sayap, tubuh, bahkan kedua bola matanya. Hitamnya pekat, seolah memang ada daging dan tulang di dalam tubuh hitamnya itu—menegaskan bahwa dia bukan hanya sekadar bayangan.
"Halo?"
Aisu mematung, melotot membalas senyuman menyeramkan itu. Meski bertatapan, sosok hitam bersayap itu tak lagi bersuara setelah menyapanya. Atau... dia menunggu Aisu membalas sapaannya?
"Kak Aisu? Kak!"
Suara di gagang telepon merenggut kesadaran Aisu. "Eh— i-iya?" Fokusnya berpindah ke telepon.
"Habis dari mana, sih? Kenapa baru diangkat? HP Kakak ke mana? Di-chat kenapa cuma ceklis satu?"
"HP-ku ada di a—" Aisu sebenarnya menoleh dengan niatan menunjuk lantai dua—reaksi psikologis—tapi Aisu malah melihat ruang tengahnya kosong. "Kok, hilang?!"
"Hilang? HP Kakak hilang?"
Aisu melihat ke sekeliling, celingak-celinguk ke seluruh sudut ruang tengah. Tapi nihil, Aisu tak menemukan sosok hitam itu di mana pun. "Masa, hilang? Tadi itu... apa?" Aisu berkeringat dingin.
Di luar sedang hujan deras disertai petir. Dan tadi Mbak Ris mengacungkan pisau kepadanya, ditambah barusan Aisu melihat bayangan hitam--semua itu membuat Aisu merasa hidupnya berubah genre menjadi horor.
"Halo, Kak Aisu? Lagi apa, sih? Dengar gak? HP Kakak betulan hilang?"
Klek
Aisu menaruh gagang telepon, memutus panggilan sepihak. Dia berkeliaran di ruang tengah, mencari keberadaan sosok itu. "Itu... setan? Hantu? Setan atau hantu?"
Aisu setengah mati menahan rasa takutnya demi menuntaskan rasa penasaran yang menggoyahkan akal sehatnya. Melihat penampakan sosok hitam di saat hari masih terang—walau matahari tidak tampak—membuat Aisu mempertanyakan kewarasan dirinya.
Sebetulnya, Aisu tidak percaya dengan keberadaan setan, hantu, atau yang sebangsanya. Dia sama sekali bukanlah manusia yang memiliki indra keenam. Indra pada tubuhnya hanya lima, untungnya tidak kurang atau lebih.
Selain pernah tak sengaja melihat Papa dan Mama bermain di kamar waktu kecil dulu, kehidupan Aisu itu normal, sungguh. Dia tak pernah melihat, mendengar, ataupun merasakan kehadiran aneh dari dunia lain. Aisu bahkan sama sekali tidak percaya, bahwa dimensi lain dalam dunianya itu ada.
Tapi melihat sesosok bayangan hitam pekat bersayap di depannya barusan, Aisu jadi berpikir dua kali tentang dirinya. Sejak kapan dia jadi sepeka ini? Bukan. Kenapa dia mendadak jadi peka?
Rekor; pencapaian; apa pantas disebut demikian? Dalam sekejap, dalam sehari, Aisu dapat melihat dan mendengar sosok hitam yang Aisu yakin bukan berasal dari dunia yang sama dengannya.
Aisu menghentikan pencariannya, dia menuju dapur. "Mbak Ris, tadi lihat yang hitam-hitam bersayap gak?"
Mbak Ris yang tengah mengoseng sayuran, kebingungan mendapati Aisu berwajah pucat. "Hitam-hitam? Sayap? Apa maksudnya, Mbak?"
"Ta-tadi... kayaknya saya lihat se-setan, Mbak Ris."
"Se..tan?" Wajahnya pias. "Ah, Mbak Aisu kurang tidur kali, sampai berimajinasi yang tidak-tidak, kurang istirahat."
"Eh? Gi-gitu, ya?" Dan Aisu ikut tersihir oleh kalimatnya.
"Iya, Mbak Aisu cuma kecapekan saja. Nggak ada yang perlu dikhawatir—"
Tlililit tlililit
Tlililit tlilililit
Bunyi dering telepon itu mengagetkan keduanya. Mbak Ris mencengkram spatula erat-erat, melayangkan tatapan takut pada Aisu, tapi dia hanya bisa diam; tak ingin menyatakan kalau suasana di sana berubah berat.
Aisu segera menuju ruang tengah, mengangkat telepon.
"Kak Aisu, kenapa teleponnya dimatiin? Aku belum selesai bicara. HP Kakak gimana? Sudah ketemu?"
Aisu bernapas lega, tapi tangannya masih gemetaran. "Ada kok, di kamar. Belum sempat aku cek. Kenapa?"
"Ih, kok, kenapa, sih?! Ambil HP Kakak, buka grup obrolan! Besok kelompok kita ada janji mau mengerjakan tugas bersama! Kakak tidak ingat?"
"Boro-boro ingat janji itu. Isi kepalaku cuma sosok hitam tadi, tahu!"
"Hah? Apa? Suara Kakak tidak kedengaran. Hujannya deras banget."
Aisu menggeleng. "Enggak, lupakan saja. Sudah ya, kututup teleponnya. Ini nomor telepon bisnis orang tuaku, jangan menelepon ke sini lagi."
"Eh, tunggu dulu!"
Aisu menahan gagang telepon. "Apa lagi?"
Mindy di seberang, diam sejenak. "Kak Aisu, soal tadi... aku minta maaf, ya."
Kelebatan kejadian siang tadi mendatangi Aisu. Meski ucapan Mindy sedikit menyiram bensin pada api amarahnya terhadap Pak Hiroki, Aisu tidak menyalahkan Mindy.
"Tidak, kok. Bukan salahmu. Pak Hiroki-nya saja yang menyebalkan."
"Tapi kan, tetap saja aku—"
Aisu tersenyum walau Mindy tak bisa melihatnya. "Duh, Mindy. Kubilang kan, gak pa-pa. Itu bukan masalah. Sudah ya, nanti sambung lagi lewat chat. Aku takut ada rekan bisnis Papa dan Mama yang menelepon ke sini. Dah!"
Klek
Telepon ditutup.
Aisu menarik napas, membuangnya kasar. Rasa takutnya sudah luruh sepenuhnya, sebab Mindy membahas kejadian tadi siang. Padahal, itu semua bukan salah Mindy, tapi salah Pak Hiroki yang terlalu kaku pada aturan-aturan yang dia buat sendiri.
Melihat wajah Pak Hiroki yang mendadak melintas dalam benaknya, ampuh membawa pergi rasa takutnya. Namun sebagai gantinya, d**a Aisu terasa panas. Dia merasa marah dan kesal, seakan Pak Hiroki adalah orang yang patut dibenci, tanpa alasan.
Tlilililit tlililit
Tlilililit tlililit
Baru menggerakkan kaki tiga langkah, telepon rumahnya kembali berbunyi.
"Ck!" Aisu berdecak, berbalik meraih gagang telepon, lantas menyemburkan amarah dalam dadanya pada Mindy.
"Mindy! Kan, sudah kubilang jangan telepon ke sini! Ini nomor telepon bisnis orang tuaku!"
Klek!
Aisu menutup panggilan, membanting gagang telepon. Tapi tak beberapa lama—
Tlililit tlilililit
Tlilililit tlilililit
"Ih! Dia tidak mengerti juga?!"
Aisu mengangkat gagang telepon. "Apa lagi?!!"
Suara di seberang hening sejenak, membuat Aisu mengernyit. "Mindy! Jangan telepon ke sini! Kamu tidak dengar, ya?!"
"...halo?"
"Eh?" Aisu tak mendapati suara Mindy. "Ha-halo?"
"Bisa bicara dengan Erika?"
Suara berat di sana membuat Aisu salah tingkah. "Eh... a-- sa-saya— maksudnya... saya minta maaf u-untuk yang barusan. Saya kira—"
"Tidak perlu. Saya paham. Bisa bicara dengan Erika?"
Aisu mengernyit. "Mama saya belum pulang. Sepertinya masih di jalan. Ada perlu apa, ya?" Aisu berubah sopan, nadanya terdengar halus.
"..." lelaki di ujung telepon hening.
"Anda siapa? Ada perlu apa dengan Mama saya?" Aisu menaruh curiga.
Memanggil Mama tanpa sematan 'Bu' atau 'Ibu', Aisu tidak yakin kalau lelaki yang berbicara dengannya di telepon itu adalah teman kantor atau klien Mama.
Mama itu seorang kepala editor di perusahaan penerbitan nasional. Yang Aisu tahu, posisi Mama itu cukup tinggi di divisi yang Mama pegang. Dan bagi Aisu, seseorang yang ada perlu dengan mamanya tapi tidak memanggil Mama dengan sebutan 'Bu', Aisu merasa pantas untuk mencurigainya.
Kalau bukan teman kantor, atasan, atau klien, lantas siapa?
"Halo, ada perlu apa dengan Ibu Erika?" tekan Aisu.
"..."
"Halo?"
"Maaf, saya tidak bisa membahas urusan saya selain dengan klien. Tolong sampaikan kalau saya menelepon."
Tut
Tut
Tut
Telepon terputus sepihak. Aisu menjauhkan gagang telepon, mengernyit menatap telepon yang dipegangnya, menaruh gagang teleponnya kembali, tapi kernyitan di dahinya belum lagi pergi.
"Siapa, sih? Kenapa dia—" Dia tak melanjutkan terkaannya. Dia tidak ingin.
Tak beberapa lama, di tengah riuh deras hujan, Aisu mendengar klakson mobil Papa di luar, pertanda Aisu mesti membukakan pagar untuk Papa. Aisu keluar rumah, membawa payung dan membukakan pagar supaya mobil sedan hitam yang bagian depannya agak penyok itu masuk ke dalam garasi.
Aisu menutup pagar rumah, menghampiri Papa dan menyambutnya dengan senyuman.
"Mama mana, Kak? Sudah di dalam?"
Lengkungan pada bibirnya, lantas melorot ke bawah.
***
"Deka, kamu sapuin tuh, biar aku yang matikan lampu."
Irfan berdiri di belakang kasir, bersiap mematikan monitor kafe dan segala embel-embelnya. Kafe itu sudah tutup. Papan tanda yang menyantel di kaca pintu sudah dibalikkan. Deka yang tengah menyusun wadah-wadah bubuk minuman, mengembuskan napas.
"Kemarin saya sudah piket, Mas. Hari ini giliran Mas Irfan yang menyapu dan mengelap mejanya."
"Oh, sudah? Kalau gitu hari ini tolong gantikan aku, ya."
"Enggak mau saya, Mas. Mas Irfan selalu mengerjakan tugas yang enak-enak saja. Cuma mau mengunci kafe, gak mau bersih-bersih. Selalu minta tolong ke saya atau ke Mas Iyo untuk menggantikan piket harian. Mas Irfan jangan malas begitu, lah."
"Aku bukan malas, Deka. Kafe ini cepat sekali berdebu, bikin capek merapikannya. Percuma dibereskan. Toh, bakal berdebu lagi. Buat apa?"
"Tahu, lah, Mas. Kerjakan kerjaanmu sendiri." Deka lantas pergi setelah konter kafe rapi. Dia menuju ruang karyawan untuk mengganti seragamnya, tentu dengan Irfan membuntutinya di belakang.
"Eh, Deka! Mau ke mana? Sapu dulu kafenya!"
"Itu kan, tugasnya Mas Irfan."
"Lho, Deka!"
Topik siapa yang harus menyapu dan mengelap meja kafe itu masih menjadi pembahasan menarik bagi Irfan hingga beberapa menit ke depan.
Hari itu, kafe ditutup lebih lama dari biasanya. Hujan deras yang terus-menerus turun, membuat kafe Dinolatte dipenuhi pel4nggan yang berteduh dari hujan. Hujan baru berhenti setengah jam kemudian. Bersamaan dengan itu, para pel4nggan satu per satu meninggalkan Dinolatte. Dan sekarang pukul setengah sepuluh, kafe harus segera ditutup.
"Deka, sapu lantai sana. Kamu enggak mau kena marah sama Bos, kan?" Irfan masih saja mengejar Deka yang sedang mengganti baju.
"Mas Irfan sendiri, tidak mau mengepel lantai? Kena potong gaji sama Bos, tahu rasa."
"Mengepel? Kenapa?"
"Di luar kan, hujan, becek. Meski di pintu masuk sudah ada keset, tetap saja basah sampai ke dalam, karena banyak jejak kaki pel4nggan. Dipel sana lantainya, kalau besok ketahuan sama Bos lantainya masih kotor, Mas Irfan siap-siap saja potong gaji."
Deka menyantelkan apron hitamnya di loker. Dia memasukkan seragam kafe (kemeja putih panjang) ke dalam tas ransel untuk dibawa pulang dan dicuci. Dia sudah selesai berganti baju, siap menuju rumah.
"Masa, sih? Aku tidak lihat. Lagian, Bos mana mungkin memotong gajiku. Aku sudah kenal Bos lumayan lama."
Ting!
Deka beralih pada ponselnya. Senyuman merekah lebar pada wajahnya. Deka membalas Irfan setengah hati, "Iya, lah. Gaji Mas Irfan sudah sedikit, gimana cara potongnya?"
Irfan mengernyit tak suka—
"Wedhus!! Edan!"
—tapi itu bukan umpatannya.
Kata bermakna 'kambing' dan 'gila' itu berasal dari pintu karyawan yang mendadak terbuka kencang hingga membentur dinding, dan Iyo muncul dari sana. Deka dan Irfan saling menatap, bingung dengan Iyo yang tampak marah dan kehilangan kesabarannya.
"Wislah! Karepmu dewe! Wis tak kandani, yen rak percoyo yo uwis! Urusi uripmu dewe! Karepmu!" (Sudahlah! Terserah kau saja! Sudah dikasih tahu, kalau gak percaya ya sudah! Urus saja hidupmu sendiri! Terserahmu!)
Mereka berdua terdiam melihat tingkah laku Iyo yang berbeda dari biasanya—tenang, kalem, dan sabar—yang sekarang misuh-misuh seraya pergi setelah mengganti bajunya asal-asalan.
Irfan menyikut Deka. "Mas Iyo kenapa, tuh?"
Deka menggeleng. "Tanya sana, Mas."
"Enggak, ah. Enggak berani. Mas Iyo itu tipe orang sabar yang bakal mengamuk sekalinya marah. Menghadapi bapakku yang tukang ngambek saja, aku kewalahan. Kamu saja sana yang tanya."
"Paling juga berdebat sama Bos. Dari siang tadi, Mas Iyo ada di rumah Bos di lantai dua."
"Ya makanya, memang kamu enggak penasaran, mereka berantemin apa sampai Mas Iyo mengumpat begitu? Coba tanyakan sana."
"Enggak dulu. Saya capek. Hari ini kafenya ramai banget. Saya mau langsung pulang."
"Eh! Tunggu dulu!" Irfan menarik ranselnya, membuat Deka limbung.
"Kenapa lagi, Mas Irfan? Saya mau pulang, saya harus belajar!"
"Tunggu sebentar!" Irfan menarik ranselnya lagi, dan sebelum Deka marah, "Kalau kamu yang tanya Mas Iyo, hari ini aku yang menyapu dan mengepel kafenya."
"Itu sih, memang piketnya Mas Irfan hari ini. Sudah ah, saya mau—"
"Seminggu!" Deka lantas berhenti. "Kalau kamu tanya Mas Iyo, aku bakal gantikan piketmu selama seminggu!"
Deka sempat berpikir sebentar, tapi langsung menghela napas. "Terus Mas Irfan kira, saya bakal percaya? Serius deh, Mas Irfan. Saya mau cepat pulang, mau mengerjakan soal-soal SBMPTN. Besok pagi saya juga harus bantu Bunda buka toko dan bikin banyak adonan roti."
"Aku serius, Deka! Ini soal gaji kita untuk ke depannya! Kamu masih enggak paham juga? Kalau Mas Iyo marah begitu, bukannya berarti Bos menolak usulannya? Kalau Bos enggak mau ambil saran Mas Iyo, berarti kafe ini bakal tetap sepi kayak kuburan! Gimana kita bakal dapat gaji kalau kafenya sepi terus?!"
"Itu urusan Mas Irfan. Saya, syukurnya ada toko roti Bunda."
"Wah, kalau aku dipecat. Aku melamar ke tokomu, deh."
Deka berdecak. "Tidak perlu repot, Mas Irfan. Saya langsung tolak lamaran Mas Irfan sekarang, daripada buang-buang tenaga bikin surat lamaran."
"Oi, Deka!" Irfan menarik tasnya.
"Sudahlah, Mas Irfan. Kita pikirkan besok lagi. Sekarang saya mau pulang."
Deka menuju pintu, hendak keluar dan pulang seperti yang dia mau. Tapi lagi-lagi, Irfan menghentikannya.
"Sebulan!" Deka terhipnotis. "Kalau kamu tanya Mas Iyo, nanti piket—"
"Deal!" Deka mengambil tangan Irfan dan menjabatnya paksa, khawatir Irfan akan cepat-cepat berubah pikiran.
"Benaran kamu, Deka?" Wajah Irfan merekah macam sinar matahari pagi.
"Kalau Mas Irfan ingkar janji, perjanjian kita batal."
"Enggak, lah. Masa, aku sebusuk itu? Ya sudah, sana kamu tanya Mas Iyo— lah, mau ke mana?" Sambaran tangan Irfan pada tas Deka tak sampai, karena Deka sudah lebih cekatan menarik gagang pintu dan keluar dari sana.
"Oi, Deka!!" Irfan mengikuti Deka yang berjalan menuju pintu kafe. "Deka! Katanya kamu mau tanya Mas Iyo?!"
Deka berhenti tepat di depan pintu, dia memakai helm sepedanya. "Iya. Tapi kan, saya tidak bilang hari ini bertanyanya. Lagian, Mas Iyo juga sudah pulang. Saya juga mau pulang, mau cepat-cepat belajar biar bisa cepat-cepat tidur.
"Mas Irfan jangan lupa beres-beres! Dipel tuh, lantainya! Kalau besok Bos tahu kafenya masih kotor, bisa-bisa Mas Irfan tidak digaji. Sudah ya, duluan!"
Setelah menepuk pundak Irfan, Deka meraih gagang pintu kaca, berlari menuju sepeda, menaikinya, lalu mengayuhnya cepat-cepat dan langsung hilang dari pandangan Irfan yang mengumpat sambil meneriakinya.
"Wedhus!" (Kambing!)
Ya, habis.... Bagaimana Deka tidak ingin cepat-cepat pulang dan kabur dari Irfan?
Satu pesan yang tadi masuk, sejujurnya berhasil melenyapkan rasa lelah Deka. Malah, rasanya dia akan bisa tidak tidur semalaman hanya untuk berbalas pesan dengan Monalisa, gadis pujaannya sejak SMA.
Dan sayang, suasana hati Deka yang tengah berbunga-bunga itu justru membuat sesosok hitam bersayap yang sejak tadi menyusup, yang sedang berdiri di atas salah satu meja kafe, berkilat marah.
"Grrrrr." Dia menggeram. "Aku tidak suka sekali melihat para manusia berada di atas angin. Sombong sekali."
Dikepakkannya sayap hitam miliknya itu. Lantas angin berembus, mengentak kursi-kursi dan meja-meja dalam sekali kibas. Mereka sejurus melayang dan saling membentur satu sama lain.
"A-apa-apaan itu?!"
Irfan terkejut setengah mati melihat kejadian barusan. Dia melotot, melihat ke seluruh ruangan kafe yang sekejap berantakan. Belum surut rasa kagetnya, Irfan pucat pasi melihat sosok hitam besar bersayap yang tahu-tahu ada di hadapannya.
Kakinya lemas, mulutnya mengaga, matanya terbelalak. Irfan jatuh terduduk. Dia terbata memanggil Bos di lantai dua.
"Ah, sangat menyenangkan saat tahu masih ada manusia yang takut akan cerminan dirinya sendiri."
Sosok hitam bersayap menyeringai. Kemudian, dalam sepersekian detik, wujud hitam, besar, bersayap, dan bertanduknya menyusut menjadi asap hitam.
Namun, dia tidak pergi. Asap itu melesat masuk ke dalam mulut Irfan yang terbuka. Sebentar, tubuh Irfan gemetaran menerima wujudnya. Irfan memejam, dan saat membuka kelopak, seluruh bola matanya hitam pekat sebelum kembali normal.
Irfan berdiri. Dia menyeringai.
"Khh—hahaha!"
Irfan lengah. Dia, sepenuhnya dirasuki.