Chapter 01

1830 Words
2020, abad ke 21 masih berjalan saat ini. Kehidupan modern yang serba instan, namun tak berarti manusia berhenti untuk berusaha dan bersusah payah untuk mendapatkan tempat yang layak di dunia. Mengesampingkan hati nurani, tentu saja masih banyak manusia yang hidup dengan cara kotor. Namun bukan berarti kebaikan itu lebih sedikit. Terkadang, sesuatu yang baik justru tersembunyi di bagian paling dalam. Itulah kenapa terkadang keburukan jauh lebih mendominasi kehidupan manusia. Alexander Lim, Pastor muda dari salah satu Gereja Katolik berusia 29 tahun itu memasuki sebuah mini market terdekat dari Gereja yang ia tinggali. "Oh! Pastor Lim, selamat datang …" tegur si penjaga kasir, seorang pria yang tak jauh lebih tua dari Alexander. Alexander membawa senyum ramahnya menghampiri pria itu. "Kenapa sepi sekali?" "Eih … kenapa setiap datang kemari, Pastor Lim selalu menanyakan hal yang sama?" terdengar seperti sebuah keluhan. Senyum Alexander semakin melebar. Dia kemudian berucap, "memangnya apa yang bisa kutanyakan padamu?" "Apa saja yang Pastor Lim butuhkan," jawab pria itu dengan senyum lebarnya. "Baiklah … aku akan menanyakan hal lain." "Apakah itu?" pria itu mendekat ke meja, terlihat begitu tertarik dengan pertanyaan yang akan Alexander tanyakan. Garis senyum di wajah Alexander tiba-tiba menghilang. Dengan suara tegas khas seorang Pastor, dia kemudian berucap, "Saudaraku Samuel, kenapa kau tidak menghadiri Misa pada minggu lalu?" Pria yang dipanggil dengan nama Samuel itu tersenyum canggung sembari menjauhkan tubuhnya dari meja dan juga menggaruk bagian belakang kepalanya. Dengan gugup ia menjawab, "itu … untuk itu … untuk itu ..." "Untuk itu aku menunggumu di bilik pengakuan dosa," sahut Alexander dengan pembawaan yang kembali santai. Membawa senyum lebarnya meninggalkan kasir, Alexander menyusuri etalase untuk menemukan apa yang ia cari. Sedangkan Samuel tersenyum getir setelah mendapatkan teguran dari Alexander. Meski itu merupakan sebuah candaan, namun tetap saja Samuel merasa tidak enak. Pintu kaca itu kembali terbuka dari luar, dan sebuah teguran riang lantas terdengar, "Paman Sam … selamat malam …" Alexander yang mendengar suara familiar itu sejenak melebarkan senyumnya. Eric, pelajar SMA. Salah satu jemaat Gereja yang cukup dekat dengan Alexander layaknya seorang adik laki-laki bagi Alexander. Samuel menatap sinis pada pemuda yang berjalan mendekatinya itu. Dan tepat saat Eric sudah sampai di hadapannya, dia berucap sedikit ketus, "kau tahu berapa usiaku?" "Tiga puluh tahunan mungkin," jawab Eric, tak terlalu peduli. Samuel tiba-tiba berbicara dengan nada yang meninggi, "kalau begitu kenapa masih memanggilku dengan sebutan 'paman'?" Eric tersenyum lebar. "Ya ampun … kenapa Paman selalu marah-marah setiap kali aku datang kemari? Aku datang membawa uang untukmu." "Percuma kau memberikan uang tapi mengambil sesuatu dari tokoku," gumam Samuel. "Itulah yang dinamakan berbisnis dengan sehat," sahut Alexander yang turut bergabung. Eric yang kaget melihat kehadiran Alexander lantas berseru, "oh? Pastor Lim? Pastor di sini?" Alexander membalas teguran Eric dengan seulas senyum ramah. Mendekati keduanya, Alexander menaruh satu bungkus besar roti tawar di atas meja kasir. Eric yang melihat hal itu tampak heran dan memandang Alexander penuh tanya. "Pastor Lim membeli roti tawar lagi?" "Kenapa?" tegur Alexander. "Tidak … setiap kali kita bertemu di sini, Pastor Lim selalu membeli roti tawar. Apa Pastor hanya memakan roti tawar?" Samuel menatap sinis, sedangkan Alexander tersenyum lebih lebar. Sang Pastor kemudian menjawab, "aku sedang dalam masa diet." Eric menatap tak percaya. "Eih … mana mungkin. Tidak masuk akal." "Apanya yang tidak masuk akal." "Postur tubuh Pastor Lim sudah sempurna, untuk apa melakukan diet?" "Kau kira Pastor Lim seorang wanita?" sahut Samuel dengan nada bicara yang masih terdengar kesal. "Siapa yang mengatakan diet hanya untuk membentuk tubuh?" "Ya ampun … Paman, tidak boleh bercanda seperti itu di hadapan seorang Pastor." "Bocah! Berhenti memanggilku seperti itu." "Kemarahan, hanya akan mengundang hal yang buruk. Justru sebaliknya, ketenangan akan mendatangkan hal baik," Alexander menengahi. Eric menyahut, "kau dengar itu Paman? Kemarahan hanya akan mengundang iblis untuk bersinggah ke rumahmu." "Kau kira aku tuli? Kapan Pastor Lim mengatakan akan ada iblis yang datang ke rumahku?" "Dia mungkin sedang dalam perjalanan," Alexander kembali menyahut, ditujukan untuk semua gurauan namun cukup ampuh untuk menakut-nakuti Samuel yang nyatanya adalah jemaat yang memang kurang taat. "Kenapa Pastor Lim mengatakan hal semacam itu?" "Aku akan membayar ini," sahut Alexander, memilih untuk mempersingkat pertemuan mereka. "Ah … baiklah, baiklah. Aku sampai lupa." Alexander menerima kantong plastik yang berisikan roti yang baru saja ia beli. Dia kemudian berucap, "aku harap bisa melihatmu pada Misa besok, Saudara Samuel." "Tentu, aku pasti akan datang besok. Terima kasih atas kunjunganmu, Pastor Lim. Nikmati rotimu." Alexander kemudian meninggalkan mini market, begitupun dengan Eric yang kemudian menyusulnya. "Hey, Bocah. Tinggalkan uangmu sebelum pergi," tegur Samuel. Eric menahan pintu dan memandang Samuel. Pemuda itu berucap, "aku tidak mengambil apapun dari toko Paman, sampai jumpa," lantas benar-benar pergi. "Berhenti memanggilku 'paman'!" pekik Samuel yang terabaikan. Eric menyusul Alexander yang belum terlalu jauh. Satu teguran lantas berhasil menghentikan langkah Alexander, "Pastor Lim." Alexander berbalik dan sejenak memperhatikan Eric sebelum memberikan teguran pada pemuda itu. "Kau tidak membeli apapun?" "Aku lupa ingin membeli apa saat bertemu dengan Pastor." Alexander tersenyum lebar. "Kalau begitu, lain kali aku akan menghindari pertemuan denganmu." "Eih … kenapa Pastor Lim mengatakan hal seperti itu? Omong-omong, Pastor Lim dari mana?" "Mengunjungi seseorang. Lama tidak melihatmu, kau juga tidak hadir dalam Misa minggu lalu. Apa kau baik-baik saja?" "Aku baik-baik saja, hanya saja minggu lalu aku mengunjungi nenekku." Senyum lembut Alexander kembali melebar. "Begitu rupanya … jadi, apa kau akan datang besok?" "Tentu saja. Besok aku akan datang bersama seorang teman." "Temanmu?" Eric mengangguk. "Namanya Juan, dia bersedia pergi ke Misa besok pagi." "Syukurlah, itu adalah berita yang baik." "Tapi … mungkinkah Pastor Lim yang akan memimpin Misa besok?" pertanyaan yang menunjukkan sebuah harapan. Alexander mengulum senyumnya sebelum memberikan pertanyaan balik, "kenapa? Kenapa kau menanyakan hal itu?" Eric terlihat sedikit gugup. "Tidak … bukan apa-apa. Hanya saja … aku tidak pernah melihat Pastor Lim memimpin Misa. Jadi, apakah besok Pastor Lim yang memimpin Misa?" "Sayangnya tidak, Pastor Peter yang akan memimpin Misa besok." Eric menatap tanpa minat. "Eih … pasti Pastor Peter sudah meminta Pastor Lim untuk melakukannya, tapi Pastor Lim menolaknya. Benar begitu?" Alexander tertawa pelan, dia kemudian menepuk singkat bahu Eric beberapa kali. "Tidak masalah siapapun yang memimpin Misa besok pagi. Entah aku ataupun Pastor Peter, Misa akan tetap berlangsung besok … kau ingin mampir ke rumah?" Eric segera menggeleng. "Tidak … lain kali saja aku akan mengunjungi Pastor Lim. Aku baru ingat harus membeli apa." "Kalau begitu pergilah." "Sampai jumpa." Eric sekilas menundukkan kepalanya sebelum berlari kecil menuju mini market yang sebelumnya mereka tinggalkan. Dengan garis senyum yang tertahan di kedua sudut bibirnya, Alexander sejenak memperhatikan Eric sebelum kembali ke jalan yang ia tuju sebelumnya. Menyusuri jalanan menanjak dengan cahaya lampu jalanan yang menerangi langkahnya, Alexander sampai di tempat tujuan. Gereja Katolik Saint Daniel, tempat di mana ia mengabdikan seluruh hidupnya sebagai pelayan Tuhan. Memasuki halaman yang kosong dan begitu hening, satu sosok yang kala itu berdiri di bawah lampu taman berhasil menarik perhatian Alexander. Senyum lembut itu mengembang di wajah Alexander sebelum langkah kakinya mendekati sosok yang mengenalnya dengan sangat baik itu. Menghentikan langkahnya pada jarak satu meter, Alexander kemudian menegur, "apa yang sedang Pastor Peter lakukan di sini?" Pria itu berbalik, membawa seulas senyum ramah untuk menyambut kedatangan putra angkatnya. Pastor Peter adalah seorang Imam di Gereja Saint Daniel sekaligus ayah angkat dari Alexander. Jika ada orang yang bisa mengerti Alexander dengan sangat baik, maka Pastor Peter lah orangnya. Pria berusia 50 tahun yang telah menyaksikan bagaimana Alexander tumbuh dewasa. Pandangan Pastor Peter terjatuh pada kantong plastik yang berada di tangan Alexander. "Kau membeli roti tawar lagi?" Alexander tersenyum lebar. "Ini baik untuk mengurangi kadar gula darah," alasan yang cukup konyol dan membuat Pastor Peter tertawa pelan untuk beberapa waktu. "Duduklah, kita bicara sebentar di sini." Alexander mengikuti Pastor Peter, duduk berdampingan di bangku panjang yang terletak di tepi halaman. Alexander menaruh kantong plastik di tangannya dan memandang Pastor Peter. "Apa yang sedang Pastor lakukan di sini?" "Menurut apa? Aku hanya menemani para nyamuk," jawaban yang keluar mengiringi senyuman lebar. Seperti itulah Pastor Peter, pria yang sangat menyenangkan namun juga memiliki sisi yang tegas. Alexander kemudian mengarahkan pandangannya pada langit gelap malam itu. Sejenak mengabaikan Pastor Peter yang tengah memperhatikannya dalam keterdiaman. Setelah beberapa saat, Pastor Peter kembali berbicara, "untuk Misa besok pagi … kau saja yang memimpin." Alexander membawa pandangannya kembali pada Pastor Peter. "Aku menolaknya." Pastor Peter balas memandang. "Katakan alasanmu." Alexander menghembuskan napas pendek sebelum kembali memalingkan wajahnya dan memberikan jawaban. "Pastor sudah tahu jawabannya. Jawabannya masih sama, tidak ada yang berubah." Pastor Peter merangkul bahu Alexander dan memberikan tepukan ringan beberapa kali sebelum menarik kembali tangannya. Pastor Peter kemudian berucap, "mau sampai kapan kau akan seperti ini? Lihatlah saudara-saudaramu … Domani, Vladimir dan Willborgh. Mereka semua sudah memimpin Misa … hanya kau yang tetap keras kepala." Alexander tersenyum lebar. Kembali memandang langit lalu memberikan jawaban yang lebih berarti, "sejujurnya, tempat itu terlalu tinggi bagiku." "Apa maksudmu dengan terlalu tinggi? Di sanalah tempat seharusnya kau berada. Membimbing pada jemaat untuk kembali pada Tuhan." Alexander kembali memandang Pastor Peter dan berucap, "selama masih ada Pastor Peter, aku tidak perlu khawatir tentang Misa." Pastor Peter tertawa pelan. "Kau ini benar-benar keras kepala. Sudah malam, masuk dan istirahatlah." Pastor Peter beranjak berdiri, memberikan tepukan ringan pada bahu Alexander sebelum meninggalkan sang murid didik. Alexander memperhatikan Pastor Peter hingga sosok pria itu tak lagi bisa dijangkau oleh pandangannya. Pandangan Alexander terjatuh, menemukan bayangannya yang tercetak di bawah kakinya karena cahaya lampu taman. Untuk sesaat, tatapan lembut itu menunjukkan kesedihan. Seperti yang dikatakan oleh Eric sebelumnya bahwa Pastor Peter selalu meminta Alexander untuk memimpin Misa. Namun Alexander selalu menolak dengan alasan yang mungkin hanya diketahui oleh Pastor Peter untuk saat ini. Pastor Eksorsis, pada kenyataannya fakta itulah yang memberatkan langkah Alexander untuk bisa naik ke mimbar dan memimpin Misa. Alexander bukanlah Pastor biasa, melainkan Pastor Eksorsis. Dibandingkan dengan memimpin Misa yang meriah, Alexander lebih sering menangani kerja lapangan untuk bertarung melawan roh jahat yang mengganggu kehidupan manusia dengan cara melakukan eksorsisme. Pada masa lalu, di usianya yang menginjak tujuh belas tahun, Alexander menerima pendidikan di Seminari bersama ketiga rekannya. Mereka bersama-sama mempelajari bagaimana proses eksorsisme, hingga pada akhirnya mereka berempat lulus dari Seminari sebagai seorang Pastor Eksorsis. Namun pada akhirnya mereka berempat terpisah dan masing-masing ditugaskan di tempat yang berbeda. Eksorsisme pernah sangat populer, namun seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat memandang hal itu sebagai hal yang taboo. Hingga kemudian praktek eksorsisme menghilang secara perlahan ketika Vatikan melarang praktek tersebut. Jikapun mereka ingin kembali melakukan eksorsisme, mereka harus mendapatkan izin dari Keuskupan Agung terlebih dulu, namun sebelum itu Keuskupan Agung juga harus mendapatkan persetujuan dari Vatikan. Di zaman modern ini, eksorsisme menjadi hal yang ilegal. Alexander sendiri sudah lama tidak melakukan eksorsisme. Terakhir ia melakukan hal itu adalah sekitar lima tahun yang lalu. Dan selama itu pula, dia belum pernah bertemu dengan iblis yang mengganggu kehidupan manusia, kecuali manusia itu sendiri yang menjelma menjadi iblis dan mengganggu manusia lain. Namun ada alasan kuat kenapa hingga saat ini Alexander menolak untuk memimpin Misa. Meski ia tidak lagi melakukan eksorsisme, namun ia tidak bisa membuang statusnya sebagai Pastor Eksorsis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD