2. Membela TTM

1181 Words
Wanita yang hampir menginjak lima puluhan itu menghampiri. Matanya nyalang menyelidik. “Lagi?” katanya setelah berada dalam jarak yang terlalu dekat dan Amelia tidak punya keberanian untuk menatap wajahnya. Ia lalu membasahi kedua bibirnya dengan lidah yang mulai mengering. Bagaimana bisa basah kalau begitu? Ini hanya upaya untuk melepaskan sedikit rasa takut, walau rupanya itu sia-sia. Mau jawab, nanti dikira terlalu berani dan dianggap kurang ajar, tetapi kalau diam saja, apa tidak akan disebut pengecut? “Kamu ke luar lagi sama pemuda itu?” Alinea kini menatapnya dan tak mau ada kesalahpahaman, ia pun angkat bicara. “Maksud mamah, Gibran?” “Iya, Satria Gibran! Siapa lagi? Hanya pemuda itu kan yang berani bawa kabur kamu dari kedua orang tuamu?” “Mah, Alinea enggak ke luar sama Gibran.” “Tidak ke luar, tapi ketemuan di suatu tempat. Sama saja!” “Alinea juga enggak ketemu dia tadi. Dia enggak datang.” “Amelia, kapan sih kamu mau dengar kata mamah? Percuma mamah menuruti pemintaan kamu, kalau pada akhirnya kamu tetap tidak patuh!” “Apa yang Alinea lakukan semata-mata untuk menyokong pengetahuan Alinea ke depannya nanti. Mamah enggak mau kan Alinea kelak menjadi guru Bahasa Indonesia yang hanya mampu mengajar teori dengan berceramah, tetapi gagal memberikan contoh dan praktik nyata di lapangan? Mamah mau Alinea bisa menjadi guru yang berkualitas bukan?” “Iya, tapi tidak dengan cara seperti ini!” “Mah, pada kenyataannya hanya yang bersifat realitaslah yang mampu memberikan pembelajaran sesungguhnya. Tanpa Alinea terjun langsung dan turut berkontribusi dalam kegiatan-kegiatan yang ada hubungannya dengan sastra, Alinea enggak mungkin bisa menerapkan teori-teori yang sudah Alinea dapat di bangku sekolah dan kampus untuk ditransfer kepada anak-anak didik Alinea nantinya.” “Tapi perempuan itu tidak pantas pulang malam hari begini. Apa nanti kata tetangga yang mendapati kamu masih berkeliaran di luar? Mamah dan papah juga yang malu Mel!” “Mamah tuh kenapa sih dari dulu selalu saja repot dengan omongan tetangga? Sedikit-sedikit takut dibicarakan, takut digibahin, belum tentu juga mereka begitu kan mah? Kekhawatiran mamah itu terlalu berlebihan.” “Mamah itu diajarkan oleh nenek dan kakekmu untuk paham adat, hormat peraturan dan mamah akan tetap berpegang teguh terhadap itu sampai kapanpun.” “Silakan mah. Setiap orang kan punya pilihan masing-masing, tetapi maaf, Alinea enggak bisa.” “Ya jelas tidak bisa. Pikiran kamu itu sudah dicemari oleh kata-kata Si Gibran! Ingat Amel, mamah tidak mau sampai kamu benar-benar jatuh hati padanya. Cukup kalian menjadi teman akrab dan itu sudah membuat kepala mamah berdenyut-denyut setiap harinya!” “Mah, jangan berlebihan, masa cuma karena kami bersama sampai bikin mamah pusing. Apa yang salah sih mah dari Gibran? Dia baik, kalau ketemu mamah, dia nyapa, walau pada akhirnya mamah buang muka dan enggan bicara sedikit pun dengan dia.” “Buat apa? Orang tuanya saja enggak jelas.” Alinea mulai jengkel. “Jangan bawa-bawa orang tuanya dong mah.” “Memang benar kan? Lihat Yuda! Meskipun masih kuliah, tetapi dia sudah mampu bekerja dan dapat duit sendiri.” “Jangan samakan Gibran dengan Yuda dong mah. Orang tua Yuda kan kalangan pengusaha, wajar kalau anaknya bisa cepat dapat kerja. Dengar-dengar dari yang lain, dia dititipkan kok oleh ayahnya di salah satu perusahaan milik teman dekatnya, selain tetap membantu ibunya mengurusi usaha keluarga.” “Apapun itu latar belakangnya, tetap saja Yuda lebih gesit dan hebat dibandingkan si penyair tidak bermodal itu!” “Mah, jangan banding-bandingkan mereka. Alinea saja yang berteman dengan mereka enggak pernah membanding-bandingkan kok. Lagian mah, setiap orang itu kan punya keahlian dan kemampuannya masing-masing, kita enggak bisa pukul rata.” “Jangan membela terus pemuda itu, mamah jadi risih! Mel, mamah ini menguliahkan kamu supaya kamu kelak bernasib baik sama seperti kedua kakakmu. Satu dapat pengusaha dan satu tentara. Hidup mereka tidak perlu ketar-ketir.” “Mau pengusaha, tentara, PNS, seniman, atau apapun itu pekerjaannya, Allah sudah menuliskan takdir rejeki masing-masing setiap hamba-Nya.” “Dan kamu harus cari yang takdir rejekinya besar, jangan yang pas-pasan apalagi jelas sulit punya masa depan. Banyak perempuan yang menikah dengan seniman dan pada akhirnya harus gigit jari dan ikat pinggang, sebab suaminya itu tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga. Kalau PNS, meski sudah rapuh dan pensiun, bisa tetap menikmati gaji walau tidak utuh dan kalaupun dapatnya pengusaha, setidaknya kamu bisa belajar untuk berwirausaha juga. Mengelola suatu usaha itu kan juga tidak mudah, butuh ilmu yang tentu tidak didapat di bangku kuliah.” “Mamah kenapa sih, selalu mengukur kemampuan orang itu dari materi yang mereka miliki? Bukan dari nilai sebuah kebahagiaan batin yang tersimpan rapih dan mungkin sengaja dirahasiakan oleh pemiliknya dan itu terpancar dari wajah mereka.” “Kamu ini, mengerti apa kamu soal perasaan orang lain. Untuk memahami perasaan mamahmu saja kamu masih belum mampu kok.” Alinea terdiam. Tidak ada lagi yang bisa diperpanjang dari percakapan mereka. Buat apa, kalau hanya untuk meladeni omongan mamahnya yang masih keras kepala dan mau menang sendiri. Menganggap benar apa kata ia dan meragukan penyataan orang lain. Tetapi apa memang mamahnya yang begitu atau justru ia sendiri? Alinea tidak mau memperparah keadaan. Ia sudah merasa kesulitan untuk membela diri. Bukan lantaran kehabisan ide atau kata-kata, namun memang percuma berhadapan dengan orang yang sudah mematenkan pola pikirnya sendiri dan enggan membuka untuk hal lainnya. Tidak mau berpikir terbuka dan justru memenjarakan pikirannya sendiri dalam ruang yang teramat sempit. “Maaf mah, Alinea mau ke kamar.” Alinea yang memutar tubuhnya mendadak berhenti ketika mendengar suara mamahnya kembali. “Amel! Jauhi Gibran! Kalau tidak, mamah yang akan memintanya dan menyegerakan pertunanganmu dengan Yuda.” Alinea tersentak. Apa-apaan ini? Mengapa hidupnya sekarang diatur sekali? Ini bukan pilihannya dan ia benar-benar tak suka dengan ini semua! Ia tidak memiliki perasaan apapun terhadap Yuda dan walau ia juga belum memiliki ikatan apa-apa dengan Gibran, tapi ia yakin jika Gibran mencintainya. Ini hanya soal waktu. Di mana cinta akan berkata dan membuka tabirnya, menguak kesungguhan rasa yang terkunci rapih di relung jiwa Alinea dan Gibran. Alinea bisa merasakan betapa dalamnya cinta yang Gibran miliki untuknya sampai-sampai ia rela mengorbankan perasaannya demi hubungan Alinea dan sang mamah yang tak boleh retak dan putus. Biarlah ia memendam sendiri perasaan itu, walau ia harus menahannya hingga ribuan pedih tertoreh dan entah sampai kapan. “Kamu harus memilih Alinea. Bukankah hidup itu pilihan? Dan mamah lakukan ini semata-mata demi kebahagiaan kamu. Masa depan kamu. Mamah tidak mau sampai hidup kamu terlunta-lunta, karena setelah menikah, kamu sudah merupakan tanggung jawab suamimu apapun yang terjadi.” Alinea tak sanggup mengarahkan tubuhnya kembali ke hadapan sang mamah. Ia langsung masuk ke kamar dan menutup pintu. Bergeming di sebaliknya dan dengan tatapan yang kosong pada satu titik, ia merasa inilah akhir dari segalanya. Bukankah ia baru saja hendak memulai. Kalau tadi Gibran datang, mungkin semuanya sudah benar-benar dimulai. Alinea akan menyampaikan perasaannya secara terus terang dan ia yakin, Gibran akan membalasnya dengan hal yang sama. Namun semuanya hanya tinggal angan-angan ketika tak didapatinya sosok tubuh yang dicari dan dicintai. Alinea melangkah gontai ke kasur dan menelentangkan tubuhnya di sana. Seketika rasa kantuknya hilang. Berubah menjadi gusar dan sedih yang amat mengganggu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD