bc

Pada Cita-Citanya Tiada Restu

book_age12+
0
FOLLOW
1K
READ
BE
family
heir/heiress
blue collar
sweet
scary
loser
lucky dog
like
intro-logo
Blurb

"Jauhi pemuda tanpa masa depan itu atau pertunanganmu dengan Yuda dipercepat!"

Mamah Alinea tak pernah menyetujui hubungan putrinya dengan Gibran. Mau dikasih makan apa Alinea nanti? Riwayat perjalanan kehidupan keluarga seniman itu buruk!

Ibunya yang dulu seorang penulis buku terkenal, suka merokok dan kabarnya mati juga akibat itu! Lalu ayahnya yang dulu sutradara film-film besar meredup karirnya setelah mendekam di dalam penjara akibat memukuli selingkuhan kekasihnya.

Dan Alinea tambah terpukul, ketika kedua orang tuanya, kedua kakak, bahkan ipar-iparnya melarang keras dirinya berkecimpung di dunia sastra.

"Akhiri kegemaranmu itu yang tidak mendatangkan keuntungan apa-apa. Minumlah segelas s**u cokelat hangat, bersikaplah manis, dan patuhi keinginan mamah dan papah, Jadilah PNS, maka damailah hidupmu, bahkan saat masa pensiun telah tiba."

Akankah cinta Alinea dan Gibran bertaut atau terpaksa berpisah?

chap-preview
Free preview
1. Kepergok
Alinea yang tengah berada di atas panggung sembari memegang secarik kertas berisi untaian puisi menatap penonton dengan penuh keyakinan. Dibacanya baris demi baris puisi yang merupakan karangan sastrawan W.S. Rendra yang berjudul Maskumambang. Suara, mimik, dan gestur pembawaannya nampak tegas. Ia memfokuskan tatapan pada satu titik di antara penonton yang terduduk. Tajam dan berani. “Karena kami, tidak menguasai ilmu untuk membaca tata buku masa lalu, dan tidak menguasai ilmu untuk membaca tata buku masa kini, maka rencana masa depan hanyalah spekulasi, keinginan, dan angan-angan.” Alinea terus membaca sajak tersebut sampai tuntas. Riuh tepuk tangan penonton menggema dan sebelum itu meredup, Alinea menuruni setiap anak tangga, turun dari atas panggung dan menyelip duduk di antara mereka. Ikut pula memandang ke arah panggung akhirnya. Di sana, kini telah berdiri seorang lelaki yang mengomandoi jalannya kegiatan. Ia kembali bersuara di depan mikrofon. *** Malam yang masih menggantung pekat dan jalanan sepi yang menerjang di depan, tidak membuat Alinea goyah untuk terus melangkah. Bagaimanapun ia tetap harus pulang kalau tidak mau diomeli mamah dan papahnya, walau ia tahu, omelan itu tetap akan diterimanya juga pada akhirnya sebab telah berani melewati batas jam seharusnya ia pulang. Dalam pandangan waspada menyisir sekitar kanan dan kiri, perasaan Alinea was-was sebenarnya dan itu tidak bisa dipungkiri. Bagaimana kalau tiba-tiba ada penjahat yang menyergapnya? Merampok atau merenggut apa yang ada pada dirinya? Pikiran buruk dengan kurang ajar menyentak alam bawah sadarnya dan Alinea menarik nafas dalam. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk saat ini. Jika memaksa berlari kencang, ia takut derap langkahnya akan membangunkan anjing tidur yang sebentar lagi akan dilintasi di dalam sebuah rumah gedong tepat di depan sana. Bukankah anjing merupakan salah satu hewan yang paling tajam indra pendengaran dan penciumannya? Terlebih kini Alinea pulang dalam keadaan membawa bau-bau yang tidak sedap menempel di sekujur pakaiannya. Bau rokok bercampur syair dan wacana-wacana keberanian yang lahir sebelumnya di tengah-tengah para tamu undangan yang hadir dalam acara sastra yang baru saja ia hadiri pula. Anjing bertubuh gagah dan berwarna gelap pekat itu pasti sangat tidak suka dan Alinea harus siap bila mendadak hewan itu terjaga dan menggonggong membangunkan si empunya. Hey, dia bukan maling! Alinea hanya seorang mahasiswi jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di salah satu kampus di kota kelahirannya yang masih menganggap dirinya sendiri salah ambil jurusan. Parah! Dari SMA hingga kuliah, ia belum juga berubah. Masih tetap idelialis dan sulit berkompromi dengan orang-orang terdekat, bahkan keluarganya sendiri sekalipun. Ia seorang yang terdidik dan baik. Nilai-nilainya semenjak masih duduk di bangku sekolah dasar selalu menunjukkan angka kepintaran yang biasa diidamkan oleh semua orang tua yang mengharapkan anak-anaknya bisa masuk dalam jajaran peringkat di kelas. Tetapi selain pintar, selalu masuk dalam jajaran tiga besar di kelas, ia juga mampu berpikir kritis. Sejak SMA, bahkan ia sudah mampu menggulung salah satu gurunya yang dianggap paling berbahaya bagi semua siswi di sekolah. Alinea yang saat itu hanya ketua teater ingusan dengan gagah menyeru kepada semua kawan-kawannya agar mendukung langkah konkretnya untuk menggulingkan Pak Bagja, guru mata pelajaran teknologi, informatika, dan komunikasi yang dikenal genit dan kurang ajar itu. Kabar buruk mengenai tingkah beliau di luaran sudah beredar luas di kalangan siswa dan Alinea yakin, jika beberapa guru sudah pula mengetahui, namun sengaja menutup mulut dan tak berkenan ikut campur. Selagi perilaku negatifnya itu tidak dibawa ke lingkungan sekolah, kenapa harus ikut berkomentar? Alinea mendapat pengaduan dari salah satu teman dekatnya dan itu dijadikan barang bukti olehnya untuk menguak kasus yang telah menimpa siswi lainnya pula. Setelah ditelusuri melalui pendekatan persuasif, diajak bicara di perpustakaan, tempat yang paling jareng dikunjungi siswa, kecuali bila ada kaitannya dengan tugas, Alinea pun mendapatkan kesimpulan. Semuanya koheren dan tidak ada yang bungkam. Bagaimana sanggup berdusta, jika yang memancing sama-sama perempuan. Satu rasa satu masa. Apa yang perlu disembunyikan? Asal jangan bilang-bilang pacar kalau dia juga ternyata menjadi salah satu korban. Bisa malu dan mau ditaruh di mana muka? Satu persatu korban pun angkat bicara. Bersyukur ternyata dia bukanlah satu-satunya korban, malunya jadi tidak terlalu berat. “Ini rahasia kita ya!” begitu selalu yang diucapkan para korban kepada Alinea seusai ia mengatakan kepada mereka, bahwa ada juga korban dari kelas 1A, 2C, dan seangkatan. Tanpa menyebutkan nama, gadis itupun kemudian berlalu meninggalkan Alinea yang masih terduduk memandangnya dengan prihatin. Komplotan OSIS kala itu juga tidak mau ikut terlibat terhadap rencana yang Alinea buat dan ketua OSIS yang sudah lebih dulu berkoordinasi dengan pembina mereka menyarankan agar Alinea tidak bertindak gegabah. Tetapi Alinea tidak peduli. Ia tetaplah Alinea seperti biasanya. Tangguh dan berani. Ia bahkan tidak khawatir, jika tiba-tiba nilainya menjadi buruk disebabkan oleh ulah oknum-oknum guru yang mendukung guru pecicilan tersebut. Baginya yang terpenting adalah bagaimana caranya agar bisa menyalurkan aspirasi tanpa harus was-was terhadap ancaman yang bisa saja datang menyergap sewaktu-waktu atau dengan sengaja kepala sekolah menghentikan kegiatannya sekaligus mencoret namanya dari daftar siswa yang ada di sana. Ironis! Niat hati ingin berjuang di jalan yang benar malah sekarang yang ia terima dari kenyataan adalah semua orang memeranginya. Alinea terus melangkahkan kakinya hingga sampai di depan pintu gerbang rumah kedua orang tuanya. Ia masih numpang di sana, jelas itu dan semestinya ia sadar diri dengan status menumpang itu. Ikut aturan dan tidak banyak membangkang. Bukan malah memberontak terang-terangan. Tidak takutkah Alinea dicabut dari daftar nama anggota keluarga? Sekali lagi, Alinea tetaplah Alinea. Bukan menjelma karakter Gibran yang ia sesali dalam hidup. Lelaki yang sedang singgah di hatinya yang tengah limbung dalam mengambil keputusan. Tetapi Alinea tidak peduli. Ada ataupun tidak lelaki itu di sampingnya kelak, Alinea tetap akan melangkah di jalan yang ia pilih. Alinea terpaku di depan pagar tinggi kokoh yang bercat merah tua itu. Ia menyelisik dan memastikan lampu-lampu di dalamnya padam. Itu sebagai tanda, jika penghuninya sudah pada tidur. Alinea lalu mengamati sekeliling. Sepi. Sunyi. Desau angin menyibak rambutnya yang berurai sebahu. Setelah merasa yakin semua aman, ia pun mulai memanjat pagar raksasa itu. Seperti yang sudah lihai, ia memindahkan ujung-ujung sepatunya dengan cepat. Naik, naik, naik, mengangkang sebentar di pucuk pagar, lalu turun, satu, satu, dan hap, ia melompat ke bawah. Pelan-pelan ia berjalan lewat garasi mobil, ada kendaraan papahnya terparkir. Ia menaiki dua anak tangga dan mendorong keras sekali salah satu bingkai jendela. Terpental dan akhirnya merenggang sedikit. Alinea kemudian menyelipkan tangannya di antara rangkaian besi di dalam, lalu merogoh kunci yang masih menggantung di pintu. Berhasil. Sepertinya sang papah lagi-lagi dengan sengaja telah membantu proses penyelundupannya. Mamah sebetulnya sudah mengunci semua pintu, tetapi lantaran papah tak tega membiarkan putri kesayangannya tidur lagi di teras rumah, maka seusai memastikan istrinya itu tertidur lelap, papah kemudian membuka kembali kuncinya dan kini, Alinea, putri bungsu mereka lolos dari terjangan angin dingin malam dan sengatan nyamuk-nyamuk nakal. Ia tak lagi tidur di luar. Alinea mengembuskan nafas dalam. Tetapi ia tahu, perjuangannya belumlah usai. Masih ada satu tahapan yang tak kalah menegangkan lagi yang mesti dilalui sebelum akhirnya ia bisa terjun ke atas kasur di dalam kamarnya dengan tenang. Alinea membuka pintu perlahan setelah melepas alas kakinya lebih dulu dan menyimpannya di rak sepatu. Dengan gerakan kaki penuh kehati-hatian dan sorot matanya yang tetap awas, ia menutupkan lagi pintu dan melangkah mengendap menuju kamar. Namun hanya tinggal beberapa ayunan kaki lagi ia sampai di depan pintu kamar pribadinya, lampu ruang keluarga menyala terang. Alinea tertegun dan dengan cemas ia membalikan badan. “Papah atau mamah ya?” gumamnya dalam hati. “Semoga papah.” “Amel!” Entakan suara yang terkesan pongah dan amat dikenalnya itu seketika memasungnya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Her Triplet Alphas

read
7.0M
bc

The Heartless Alpha

read
1.5M
bc

My Professor Is My Alpha Mate

read
474.5K
bc

The Guardian Wolf and her Alpha Mate

read
521.1K
bc

The Perfect Luna

read
4.1M
bc

The Billionaire CEO's Runaway Wife

read
613.6K
bc

Their Bullied and Broken Mate

read
473.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook