Chapter 2 : A Wife for Mr. Peyton

977 Words
Pov Mirah Tidak ada pembicaraan khusus, tidak ada pemesanan baju pengantin yang indah, gedung resepsi nan megah, katering mahal, atau ratusan tamu undangan, jangan bermimpi dengan pemilihan tanggal cantik menyesuaikan hari baik dari kelahiran. Peyton memutuskan untuk mengadakan pernikahan yang cukup sederhana, terlampau sederhana kataku. Tepat satu bulan menginjak kedatangan aku ke Indonesia, pernikahan berlangsung begitu sederhana dan ala kadar nya. Aku hanya meminjam kebaya putih di butik. Pey bahkan tidak mau mengeluarkan uang sepeserpun untuk kepentingan akad pernikahan. Oh ya, dia memutuskan menghilangkan resepsi, hanya akad dengan jumlah tamu tidak lebih dari 15 orang, termasuk dengan 4 orang pekerja di rumah kami, Pak Iman, dan 3 bibi yang bekerja dengan kami sejak awal kami pindah ke rumah ini, itu pun aku harus memohon-mohon agar Tante Ana dan keluarga nya bisa hadir. Pey sama sekali tidak mengundang tamu dari pihak nya. Aku tidak tau kenapa, entah aku hanya berpikir dia mencoba nenutupi pernikahan ini, tapi aku masih tidak tau dengan alasannya. Lucu nya lagi hingga hari pernikahan kami, Pey bahkan tidak pernah mengajak ku berbicara, atau sekedar mengajak makan. Aku pernah tiba-tiba hadir ke kantor, masuk keruangannya untuk mengajaknya makan siang dengan ku, dan yang dilakukan olehnya hanya berpaling sebentar kepadaku, dan mengatakan bahwa dia sudah ada janji makan siang dengan orang lain. Sejak itu aku tahu, dia memang berniat menyakiti kami. Ijab telah tersampaikan, inti acara ini sudah selesai, dan aku resmi secara agama maupun negara istri dari Peyton Cann, seorang darah campuran Cina, Australia dengan ibu berdarah Lombok. Aku sendiri keturunan Indonesia asli, namaku saja sangat Indonesia Mirah Dewi Kusuma. Aku lihat ayah ku, matanya masih merah sembab, tidak ada senyum bahagia yang aku lihat hari itu, seperti nya hampir semua orang tahu, tujuan dari penikahan ini. Ayah memutuskan untuk pindah ke apartement kami yang ada di Kuningan, agar dekat kantor katanya, dan meminta kami pindah ke rumah nya. Sebenarnya Pey juga memiliki rumah yang cukup luas, tapi aku masih tidak paham kenapa ayah meminta kami pindah ke rumahnya. Setelah Ijab, dan semua tamu pulang, Pey meminta bibi Siti untuk meminta memindahkan pakaiannya semua ke ruang tidur utama. Aku masih duduk diruang tamu membersihkan make up wajah, aku senang walaupun pernikahan kami cukup sederhana kami memesan photographer dan perias yang cukup handal, hasil photo pernikahan kami walau belum dicetak, aku sempat melihat cukup bagus dan professional. Dan riasannya, wow, salah satu riasan terbaik. Aku membersihkan riasan dengan senang malam itu, hingga Pey mendorong satu koper, yang ternyata berisi baju-baju ku dan meminta ketiga bibi ku untuk kemindahkan seluruh barang ku ke salah kamar pembantu yang sudah lama kosong, tepat dipojok selasar. Aku bertanya kepada Pey, akan tetapi dia hanya menatap ku sebentar, tersenyum kecil, dan berpaling menaiki tangga menuju ruang kerja nya. Aku terdiam sejenak dan menyusulnya ke ruang kerja. “Kenapa?” tanya ku menerobos ruang kerja nya. “Sebegitunya kamu ingin tidur dengan ku?” Balasnya dengan sinis tanpa sedikitpun menoleh kepada ku. “Bukan, tapi kenapa kamu memindahkan aku ke pojok kamar bekas pembantu” tanya ku serius. “kenapa kamu tidak mau tidur di kamar pembantu, apa kamu sedang merendahkan mereka?” balas nya berbalik. “bukan, tapi kamar itu sangat lembab masih amat sangat berdebu, dindingnya merembes air, dan sudah tiga tahun tidak ditempati, aku memiliki alergi parah dengan debu Pey, bukannya kamar tamu masih kosong di rumah ini, aku juga masih bisa tinggal di kamar lamaku kan ?, masih ada 4 kamar kosong lainnya yang bisa aku tempati” timpalku memohon. “Nope, sorry, you are belonging to that room” jawab nya singkat tanpa sama sekali menanggapi penjelasan ku. Aku menatapnya tajam, Pey sama sekali tidak peduli, aku kembali ke kamar itu tanpa keinginan untuk melanjutkan perdebatan, mencoba membersihkan apa yang bisa aku bersihkan, tanpa dibantu seorang pun, Pey melarang siapapun untuk membantu meringankan pekerjaan ku. _________________________________________________________________________________________________________   Suara gedoran pintu membangunkan ku pagi ini, d**a ku sesak, mataku masih kabur mencoba melihat jam. Sudah 7.30 pagi, seperti nya aku kesiangan, aku membersihkan kamar hingga pukul 2.00 subuh pagi ini. Aku buka kunci kamar, tenyata Pey yang ada diluar kamar menggedor kamar ku seperti orang kesetanan. “Apa perlu seperti itu?” tanya ku. “Ya, tentu saja, pelayan yang melewatkan tugas nya perlu ditegur.” Jawabnya. “Pelayan?” tanyaku pelan “Kamu!, apa kamu paham tugas mu di pagi hari, apakah Bibi Asih sudah mejelaskan padamu, tentang apa yang harus kamu lakukan?”  balas nya sedikit kasar. Aku mengerutkan kening, bingung dan sedikit kesal. “Ikut aku sekarang” pungkas nya. “Bibi Asih!” dengan tone tinggi memanggil. Bibi asih datang dengan sedikit tegopoh mendekati kami. “Ya Nyonya, Tuan?” balas nya “Apa bibi, sudah mengatakan pada nya, apa saja tugas nya” Respons Pey. “Maaf tuan, tapi saya bisa melakukan itu semua, tidak perlu nyonya melakukannya” Bibi Asih menimpali kembali, sembari melirik sebentar kearahku, dan kembali menundukkan kepala. “Saya tidak mau kalian memanggil dia Nyonya, panggil dia dengan namanya” Pey menaikkan nada suara nya, mencoba memastikan yang lain mendengarkan apa yang dia katakan. “Tapi, Tuan?” “Saya juga tidak suka dibantah, paham ya bi?” sembari mengangkat tangan nya ke arah wajah bibi Asih, tanda tak ingin mendengarkan kata-kata lagi. “Sekarang jelaskan pada Mirah, apa saja tugas nya.” Bibi Asih, masih dengan menunduk mengarahkan diri nya padaku, sangat terasa Bahasa tubuhnya menunjukkan perasaan tidak nyaman. “Jadi tugas nya Non Mirah, pagi harus menyiapkan Kopi untuk Tuan dan sarapan, sebelum jam 7 pagi. Menyiapkan pakaian Tuan, dari jas hingga kaos kaki, menyetrika jika masih ada lipatan yang kurang rapi dan memastikan Tuan bangun tidak lebih dari pukul 6.30 pagi. Memastikan ruang kerja Tuan rapi. Jam 12 siang, makanan harus sudah tiba di kantor, karena Tuan tidak mau makan dari luar dan sebelum Tuan tidur pajama harus sudah ada di samping tempat tidur, Tuan mau semua pakaian hanya dicuci dan distrika sama Non, makan malam harus siap pukul 6 sore, dan membukakan pintu kapan pun Tuan tiba di rumah." Bi Asih, mencoba menjelaskan dengan tetap menundukkan kepala nya. “Bi saya ulang untuk terakhir kalinya, tidak ada Nyonya atau Non, panggil Mirah dengan Nama nya, paham ya bi” “Neng, boleh ya Tuan” balas Bibi berkeras. “Terserah” balas Pey.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD