Chapter 3 : Not a Marriage Life

1245 Words
Pov Mirah Warning 21+++ Hari demi hari aku habiskan dengan menunggu berlalunya waktu, aku bahkan bisa melakukan semuanya dengan menutup mata, karena sudah terlalu terbiasa. Aku hanya beharap semua dapat segera berakhir. Hampir tujuh bulan aku serumah dengan nya, bisa dikatakan bahkan kami tidak pernah bertegur sapa, semua hanya seperti rutinitas wajib. Semua aku lakukan sesuai kemauan dia, tanpa debat, sebenar nya aku lebih mirip asisten pribadi yang bisu ketimbang seorang istri, tapi terserahlah, selama dia tidak menyentuhku, aku tidak akan akan mencari masalah dengan nya. Malam ini dia pulang sangat telat, biasanya dia sudah di rumah pukul 9.00 malam, tapi malam ini, aku harus menunggu nya hingga pukul 01.30 pagi. Pintu aku buka, dia masuk tanpa menyapa, sama seperti malam-malam lainnya, seolah aku tidak terlihat. Langkah nya agak gontai, aku pikir dia sedikit mabuk. “Apa kamu ingin teh hangat?” tanya ku, dia tidak membalas pertanyaan ku, dan perlahan menaiki anak tangga. Ditengah perjalanannya menuju kamar, dia berhenti dan menanyakan piama nya apa sudah siap, yang membuat aku sedikit kaget, karena dia biasanya tidak pernah mengajak ku bicara. Aku pun sedikit lupa, jika sudah menyiapkan atau belum. “Akan aku pastikan, aku akan ikut kamu ke kamar” jawab ku sedikit ragu. Aku berjalan dibelakang dia menuju kamar nya, walau sebenarnya aku benar-benar mengantuk. Aku melirik ke samping tempat tidur dimana biasanya aku menaruh pajama nya, ternyata keraguan aku benar, aku lupa menyiapkan nya malam ini. “Maaf, akan segera aku ambilkan” aku berlari ke ruang pakaiannya, mengambil pajama yang dia minta dengan terburu-buru. Ketika kembali ke tempat tidur untuk menaruh pakaiannya, yang aku lihat Pey sedang mengunci kamar nya dan menaruh kunci tersebut ke dalam laci, dan kembali mengunci laci tersebut. “Pey, baju mu sudah aku siapkan, apa boleh sekarang aku kembali ke kamarku?” tanya ku bingung melihat dia menyimpan kunci kamar. “yap, setelah kamu memberikan pelayanan tambahan untuk ku” jawab nya dingin, sembari melepaskan pakaian kotor nya satu persatu dan melemparkannya ke lantai, meninggalkan tubuhnya yang tinggi besar dan penuh dengan otot hanya berbalut boxer. Jantungku berdegup kencang, kepalaku seketika pening “pelayanan tambahan apa?” “Tugas mu sebagai istri” “Aku sudah melakukan semua yang kamu minta.” “Tapi yang satu ini, belum” balasnya. “Aku sedang tidak ingin bermain-main” tangan ku meringsek meraba laci, mengingat penerangan kamar Pey agak sedikit gelap, aku mencoba membuka laci tempat dia menyimpan kunci kamar. Terkunci dan aku tidak tau dimana kunci laci tersebut. Dadaku semakin sesak aku benar-benar takut. Dengan sergap Pey, menarik kencang bajuku, aku terhempas kencang ke d**a nya besar, aroma parfumnya bercampur dengan aroma alkohol membuatku semakin panik dan mual. Aku tidak punya kekuatan untuk melepaskan diri dari nya, tubuhku semakin lemas lunglai bersama dengan rasa panik ku, aku tidak mampu melakukan apapun. Sekali lagi Pey menyeret tubuhku dan mendorong tubuhku dengan kuat ke dinding kamar nya. Punggung ku nyeri terhantup dinding kamar cukup keras, tangan kiri nya mencekik leher ku dan tangan kanan nya menggenggam keras rahang ku. “Dengar, kamu adalah properti ku, aku bebas melakukan apapun kepadamu, termasuk menjual mu ingat itu.” Bisik nya. Hati dan tubuh ku perih, entah kenapa rasanya sakit pada saat dia mengatakan itu. Sekali lagi dia membantingku, kali ini ke atas tempat tidurnya, dia menarik paksa celana tidurku, dan membuka paksa semua pakaian ku, barang nya yang teramat keras dan berotot tiba-tiba menancap memenuhi sesak liang v****a ku. Tangan kirinya masih terus mencekik leherku, aku kesakitan antara tidak dapat bernafas, panik, dan perih yang teramat sangat pada kewanitaan ku. Sepertinya dia benar-benar tidak peduli dengan ku yang meronta-ronta seperti ikan yang kehabisan nafas, melihatku menangis menjerit, dia bahkan tampak menikmatinya. Dia terus melanjutkan mendorong keluar masukkan barang nya dengan cepat, dengan sesekali mengeluarkan suara eluh desahan penuh dengan kenikmatan, yang membuat aku semakin jijik dengannya. Dia terus melakukan tanpa henti, hingga aku kehilangan tenaga untuk meronta, aku hanya pasrah dengan segala rasa sakit yang ada. Dia terus memangsaku hingga pagi menjelang.   _________________________________________________________________________________________________________   Pukul 4.12 subuh, sepertinya dia sudah tertidur pulas. Aku coba menegakkan tubuhku, dan memaksakan untuk bisa berjalan, walau aku sudah tidak memiliki tenaga sama sekali, aku memaksakan diriku. Mencoba berdiri berpegangan pada lemari pakaian. Aku mulai memakai pakaian ku, dan mencari kunci laci kamarnya.  Dapat !, ada di kantong celana panjang nya yang dia lempar ke lantai, perlahan aku membuka laci dan mencari kunci kamar. aku meraba laci tersebut dan mendapatkan kunci kamar, dan perlahan ku buka pintu kamar tersebut. Aku berhati-hati berlari ke arah kamar ku, menguncinya, menutup wajah ku dengan bantal, dan berteriak sekuat tenaga. “Tuhaaaan aku tidak sanggup seperti ini!!” Aku menutup mata, memaksakan diri untuk bisa melupakan kejadian semalam, tapi tidak bisa, aku tidak mampu, tubuhku lelah tapi aku tetap tidak bisa memaksakan diri untuk tidur. Pukul 7.30 pagi, aku tersentak, Pey kembali menggedor pintu kamar ku begitu kencang, yang mungkin jika dia teruskan hingga beberapa waktu kedepan, pintu kamar ku bisa roboh, mengingat kayu nya sudah cukup tua. Aku semakin ketakutan dengan perilakunya.  Bibi Asih diluar sepertinya mencoba menenangkannya, hingga dia berhenti menggedor pintu kamar. seketika suara hening, dan karena begitu lelah aku kembali tertidur hingga pukul 11 siang. Bibi Asih diluar mengetuk pintu, aku tidak ada niatan untuk membuka, tapi dia sudah kurang lebih melakukan itu hampir 30 menit, dan aku pikir aku tidak bisa membuat dia terus mengetok kamar lebih lama lagi, maka aku membukan pintu untuk nya. "Ada apa nak?" tanya bi Asih. Bi Asih tidak pernah punya anak walau dia sudah menikah dua kali karena itu mungkin dia sudah menganggap aku sebagai anak nya sendiri, terlebih dia merawatku sejak ibu meninggal. Aku masih meringkuk di pojok kamar, rasa sakit di sekujur tubuhku tetap tidak bisa mengalahi sakit hati yang aku rasakan tadi malam. "Aku ingin mati" jawab ku singkat.   "Nak kenapa sayang, jangan berpikir pendek, tidak baik, istigfar Nak" balas Bi Asih merengsek memeluk tubuh ku, suaranya tiba-tiba ikut gemetar, untuk beberapa waktu kami sempat menagis bersama.    Bi Asih mulai menghapus air mataku, menarik ku ke atas tempat tidur, dan menyuapiku dengan makanan yang sudah dia bawa sebelumnya. "Makan" pinta nya, "kamu belum makan kan dari pagi?", akan tetapi mulut ku masih menutup rapat, aku bahkan tidak sanggup untuk membuka mulut ku hanya untuk sekedar mengunyah.    "Bibi buatin bubur, ya?" tanya nya, aku hanya menggeleng pelan sebagai balasan.   "Bibi tinggal ya, kamu usahain makan, nanti jam makan malam bibi kesini lagi ya, tolong jangan dikunci pintunya." pinta bi Asih, aku hanya diam, sama sekali tidak membalas perkatannya.  Aku tertidur kembali dan terbangun pada pukul 08.21 malam. Perut ku perih dan kepalaku pening hebat. Melihat lampu kamar yang gelap, aku mencoba untuk menghidupkannya. Tidak lama setelah lampu aku nyalakan, Bibi Asih ditemani Teh Sukma keponakannya yang ikut bekerja dengan kami membawakan napan berisi makanan. Bi Asih memberikan kode kepada Teh Sukma untuk segera pergi meninggalkan kami berdua. “Ada apa sayang?” Bi Asih mengulang pertanyaan nya pagi ini, yang belum aku jawab. “Kamu selalu bisa menceritakan apapun kepada bibi, kamu masih anggap bibi ibu asuh mu kan?” kali ini dengan nada sedikit memaksa. Bibir ku bergetar, aku masih susah untuk berkata, air mata kembali jatuh, dan kepala ku semakin pening.  Aku mulai menceritakan pelan, apa yang terjadi tadi malam, mengingat detail semua kejadian membuat aku sesekali terisak kencang. “Apa??, menaruh pajama disamping tempat tidur?” Ulang bibi   “Iya, itu yang dia tanyakannya diawal ketika baru pulang.” Jawabku pelan sembari terisak panjang.   “Tunggu, kemarin malam memang Tuan ada telp teh Sukma, teh sukma binggung, sampai cerita ke Bibi. Aneh katanya, masa diminta sama Tuan untuk kembali memasukkan pajama yang sudah disiapkan eneng, kedalam lemari pakaian.” Terang bi Asih.   Aku tersentak kaget “jadi, dia merencanakan ini, bi? Bukan karena dia sedang mabuk?”   “Sepertinya begitu neng” bales Bi Asih. Sembari tak henti-henti-nya memeluk dan mengusap punggung ku lembut. “Tapi kenapa harus menunggu, enam bulan lebih untuk melakukan itu, kenapa tidak diawal pernikahan kami” kini perasaan aku semakin campur aduk, dengan segala kebingungan ini.      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD