Brianna Horrison PoV
"Gara-gara dirimu aku terkena semprot Raphael tadi", gerutu Calvin membuatku mengernyit bingung.
Aku menoleh kearahnya.
"Who is he?", tanyaku sambil memasukan keripik kentang ke dalam mulutku.
Calvin meletakan stick play station nya da menoleh kearahku yang sedang tiduran di atas sofa kamarnya.
"Anggota Executive. Raphael Gomez",
Aku mengangkat sebelah alisku, "Apakah dia anak dari Uncle Randall Gomez? CEO dari Lamborghini Indonesia?",
Calvin mengangguk, "Dari mana kau tahu?",
"Well... Aku pernah menyukai kakaknya", ujarku sambil mengunyah keripik.
"What?! Kakak Raphael? Valentino, right?",
Aku mengangguk.
"Dunia sangat sempit", timpal Calvin.
"Dunia tidaklah sempit, Calv. Hanya saja memang keluarga teman-temanmu memang mengenal oramg tuaku", sergahku.
Calvin memutar matanya, "Ya terserah apa katamu saja", ujarnya sambil melanjutkan permainannya tadi.
"Btw, ceritakan padaku siapa saja anggota Executive",
"Untuk apa? Apa kau berminat masuk?", tanya Calvin tanpa melepaskan pandangan dari layar televisi.
Aku bangkit dari sofa dan meletakan toples keripik milik Calvin diatas meja.
Lalu aku turun dan merangkak ke samping Calvin.
"Aku butuh informasinya. Jadi aku bisa menghindari mereka", jawabku cepat.
Calvin hanya melirikku sekilas. Lalu ia berdecak lidah sambil mematikan permainannya.
Setelah itu ia bangkit dari atas karpet dan mengambil sebuah album di atas meja belajarnya.
"Apa itu?", tanyaku saat Calvin baru saja duduk di hadapanku sambil menyilangkan kaki.
"Foto-foto kami. Setiap anggota memilikinya", jawab Calvin sambil membukakan album itu.
Ia menyodorkannya kearahku.
Di dalam album itu banyak sekali foto-foto Calvin dan pastinya para amggota yang tidak aku kenal.
Yang aku tahu, ada empat orang laki-laki dan satu perempuan.
"Ini Nicholas Villa atau biasa di panggil Nick", ujar Calvin. Ia menunjuk satu laki-laki diantara empat orang itu.
Abviously he's so gorgeous. Batinku.
"Dia sedikit pendiam. Tapi, jika diajak bercanda dia akan menyenangkan",
Lalu telunjuk Calvin mengarah ke seorang pria dengan rambut cepak dengan senyuman miring.
Dan yang pasti, he's totally playboy.
"Dimitri Richards. Dia paling pendiam dan paling playboy", ujarnya seolah memperingatiku.
Aku menoleh kearah Calvin, "Yang ini pasti Raphael. Wajahnya sangat mirip dengan Valentino", sahutku sambil menunjuk pria satunya.
Calvin mengangguk, "Raphael sangat humoris. Dia juga tak kalah playboy dengan Dimitri", jelasnya.
"Dan yang terahkir. Perempuan satu-satunya dalam anggota executive...
"Clarissa?", potongku cepat.
Calvin mengangguk, "Ya Clarissa La Rue",
"Clarissa who??", tanyaku tak percaya.
"La Rue", jawab Calvin.
"Oh my god, Calv! She's Madeline La Rue daughter?", tanyaku lagi heboh.
Madeline La Rue adalah salah satu perancang busana yang sangat aku sukai.
Setiap pakaian yang dibuatnya selalu bisa menggebrak di pasaran fashion.
Sungguh tak bisa dipercaya bahwa anak perempuannya adalah teman Calvin.
"Yes, she was", Calvin membenarkan sambil tertawa. "Dia juga sangat paling kami sayang dan manja",
Aku menyipitkan mataku kearah Calvin. Aku mendekatkan wajahku kearahnya, "Paling kalian sayang atau hanya dirimu?", tanyaku curiga.
Calvin mendengus, "Keponya munculkan", ujarnya sambil mendorongku.
"Aku penasaran karena tadi siang saat di ruang ganti aku mendengar suara perempuan berteriak, 'Siapa dia?', 'Aku membencimu'", ujarku mencoba menirukan. "Pasti itu Clarissa", tambahku.
"Memang itu Clarissa", jawab Calvin.
"Jadi....", ujarku menggantung membuat Calvin mengernyit.
"Jadi apanya?",
Mataku melototi Calvin. "Kau suka padanya tidak?",
"Kau mau jawaban jujur atau bohong?", tanyanya.
"Bohong...",
"Kalau begitu, aku membenci Clarissa", kata Calvin sambil bangkit dan melangkah meninggalkanku di kamarnya.
Calvin menjawab ia membenci Clarissa?
Senyumkupun mengembang saat menyadari apa arti jawaban itu.
...
Pagi ini aku terbangun di kamar Calvin. Sepulang kuliah kemarin. Daddy dan Mommy harus terbang ke Inggris menyusul Bryan yang katanya sedang sakit.
Karena aku tidak boleh ikut, jadilah aku harus menginap beberapa hari di rumah Aunt Claudia.
"Hei kuda nil! Bangun!",
Aku menurunkan selimut sebatas d**a saat mendengar seruan itu.
Aku menatap Calvin malas. "Aku sudah bangun! Jangan memanggilku kuda nil, Calv!", seruku tak terima.
Calvin berdecak lidah. "Aku sudah membiarkanmu tidur diatas kasurku. Sekarang kau harus menurutiku",
Ia menarik selimut yang kukenakan. "Ini sudah jam delapan. Kau lupa bila kelasmu jam 10?", tambahnya.
Dengan malas aku bangkit dari atas kasur dan duduk di tepinya.
"Bersiaplah tanpa harus memakai kawat palsu sialan itu. Jika kau memakainya, aku akan membocorkan identitasmu", ancam Calvin sambil menjentikan jarinya.
Aku melototinya, "Kau kenapa main ancam?",
"Terimalah saja. Rahasiamu ada ditanganku. Dan rahasiaku ada di tanganmu. Kita seri", ujarnya santai sambil melangkah ke lemari pakaiannya. "Sana cepatlah mandi. Aku akan membantumu untuk menyamar",
"Kau? Membantuku?",
Calvin menoleh kepadaku, "Tentu.. Jangan kau kira aku laki-laki tak mengerti",
"Ya ya ya. Tunggulah", ujarku sambil bangkit dari sofa dan melangkah kearah koper.
"Btw, aku sudah meminta bantuan Uncle Orland untuk merubah datamu di Univ",
"Benarkah? Aku tak terpikir sejauh itu", sahutku.
"Iya. Dan jangan lupa! Namamu di Univ itu adalah Sapphira Anastasia",
Aku menoleh kearah Calvin, "Calv. Bukankah itu nama momku?", tanyaku. (Baca Me and My Brother dulu kalau bingung kenapa namanya Michelle jadi Sapphira)
"Memang. Dan kau akan memakai datanya", jawabanya santai.
"Baiklah", ujarku sambil mengambil sebuah celana jeans berwarna biru muda dan kemeja kotak-kotak berwarna sama tapi lebih tua.
"Dan kau tidak perlu khawatir untuk ketahuan. Para anggota lain tidak ada yang tahu se-complicated apa sejarah keluarga kita", katanya memberitahuku.
"Aku keluar dulu mengambil sesuatu", pamit Calvin.
Aku mengangguk,
"Calv, aku pinjam handukmu ya!", teriakku saat Calvin baru melewati diriku keluar dari kamar.
Setelah itu, aku berlari kecil masuk ke dalam kamar mandi Calvin.
Aku berjalan kearah buffet kecil dan meletakan pakaian yang bersih diatasnya. Lalu kubuka loker di bawahnya untuk mengambil handuk dan mulai mengikat rambutku keatas beserta membuka piyama tidurku.
Tak butuh waktu lama aku membersihkan diri. Aku keluar dari dalam kamar mandi sudah dengan pakaian lengkap.
Dan ini pelajaran untukku.
Jangan pernah mandi tanpa membawa handuk dan pakaian ganti ke dalam!
Meski ini di rumah Aunt Claudia. Tetap saja berbahaya mengingat sepupuku, Calvin manusia berjenis kelamim laki-laki. Jika dia tiba-tiba masuk saat aku berpakaiankan bahaya.
Apalagi aku tidur di kamar Calvin dan Calvin punya kebiasaan buruk mausk ke dalam kamar tanpa mengetuk.
Jika aku marah, dia berkata.
'Heh! ini kamarku. Seharusnya kau yang mengetuk bila masuk. Dasar kuda nil!',
Sial! Kenapa dia memanggilku kuda nil? Entahlah.
"ASTAGA!!", pekikku karena terkejut melihat Calvin tiduran di atas sofanya.
Calvin menoleh kearahku dengan pandangan aneh. "Kenapa kau berteriak?", tanyanya. Pandangannya kembali ke ponsel di tangannya lagi.
"Kau masuk kenapa tidak bilang-bilang? Untung aku sudah berpakaian di dalam kamar mandi", gerutuku.
"Sudah kubilang. Ini ka-"
"Kamarku", potongku melanjutkan kalimat yang pasti akan Calvin katakan dengan nada setengah menyindir.
"Itu kau tahu", balas Calvin sambil tertawa. Ia bangkit dan melangkah kearah meja belajarnya dan menarik kursi roda.
"Duduklah", perintahnya.
Dengan ragu-ragu aku melangkahkan kakiku perlahan kearah kursi yang sudah di ambilkan Calvin di dekat cermin panjang miliknya.
"Kau mau apakan aku?", tanyaku sambil menyipitkan mata menatapnya.
Calvin tersenyum misterius kearahku. Ia menangkup kepalaku dan diarahkannya menatap kearah cermin. "Duduk diam dan lihatlah", ujarnya.
"Sungguh jika kau merubahku lebih jelek daripada kemarin. Aku akan membunuhmu dan membuang mayatmu di kebun binatang untuk jadi makanan", ancamku sambil melirik kearah Calvin lewat cermin yang tampak sibuk mengeluarkan sesuatu dari dalam box hitam.
Calvin tertawa lagi, "Jadi kau mengaku kemarin dirimu jelek?",
"Memang. Jika aku tetap diriku apa adanya yang cantik ini. Pasti mereka juga tidak percaya bahwa aku murid beasiswa",
"Kau menganggap dirimu cantik?", tanya Calvin mengejek.
Aku memutar mataku, "Haishhh pasti Clarissa lebih cantik dariku", jawabku.
"Memang dia cantik",
"Yah terserahmu. Sungguh aku sebenarnya ingin memukulmu dan Bryan yang selalu mengataiku",
"Sangat seru bila mengerjaimu", sahut Calvin sambil melangkah kearahku lagi.
Ia kemudian menunduk di sampingku dan mencolokan kabel di stop kontak.
Aku menoleh cepat ke Calvin. "Darimana kau dapat curly-an itu?",
"Aku meminjamnya dari Mom", jawab Calvin santai.
"Sangat pintar", ujarku sambil hendak meraih curlyan itu dari tangan Calvin.
Tapi, dengan cepat ia mengelak.
"Calv, give it to me",
"No. Aku akan membantumu mengcurly rambut",
Aku hampir saja tersedak salivaku. Aku menatapnya tak yakin.
"Sudah jangan menatapku aneh. Aku sudah pernah melakukan ini sebelumnya",
Mau tak mau aku kembali menatap lurus kedepan.
Demi Tuhan jika Calvin menghancurkan rambutku yang aku rawat ini. Aku akan benar-benar membunuhnya.
Aku terdiam sambil menatap Calvin lewat cermin. Ia mengambil sisir dan mulai menyisir rambutku dengan perlahan.
Dan selanjutnya, ia mengikat rambutku dengan karet kecil sedikit keatas.
"Biat kutebak. Kau pasti disuruh Aunt Claudia untuk membantunya?", tanyaku.
Calvin menggeleng sambil mulai mengcurly rambutku dengan hati-hati.
"Aku belajar lewat You Tube",
"What for?",
"Clarissa",
Senyumku mengembang. "Jadi... Kau membantu Clarissa untuk mengcurly rambut? So sweet sekali",
Calvin berdehem, "Hmmm, apalagi saat dia sedang masa periodnya dan malas-malasan. Kami berempat pasti disuruh-suruh olehnya bahkan dikerjai",
Aku terkekeh. "Tak apa. Anggap kau latihan. Dan aku juga bisa meminta bantuanmu untuk mengcurly rambutku", jawabku bercanda.
"Khusus kau. Kau harus membayar jasaku",
"Dasar! Masih kurang uang jajanmu dari Aunt Claudia? Jangan kau kira aku tidak tahu berapa jumlahnya!", seruku.
Calvin menyengir. "Kuranglah",
Aku memutar mataku. "Apa uang itu kau makan?", sindirku. "Sungguh aku dalam sehari tak pernah menghabiskan seratus ribu",
"Iya! Tapi, makeup dan pakaianmu yang harganya selangit", balas Calvin tak mau kalah.
"Itu maklum. Namanya juga perempuan",
"Kalau begitu juga sama", ujarnya sambil menyemprotkan hair spray ke rambutku.
Aku mengerutkan kening. "Cepat sekali?",
Calvin menaik turunkan alisnya sambil tersenyum, "Bagaimana?",
Aku mengangguk, "Not bad lah", jawabku.
Aku tidak akan memujinya walau hasil karya Calvin cukup bagus. Bisa-bisa kamar Calvin akan penuh darah karena kepalannya membesar dan pecah.
Dan tiba-tiba saja. Kursi ku ditariknya dan diputar kebelakang. Ia berlutut dihadapanku dan memakaikan kacamata dengan frame seperti kucing. "Aku membelinya untukmu kemarin", katanya.
"Baik sekali dirimu", ujarku sambil terkekeh.
"Aku memang baik", balasnya sambil menarik sedikit rambutku beberapa helai turun. "Kata Clarissa. Jika sedang dikuncir kuda. Lebih baik jika poni panjang ditinggal beberapa",
Aku tertawa lagi, "Aku jadi penasaran dengan yang namanya, Clarissa",
"Soon... Kau akan bertemu dengannya", ujarnya. "Aku akan menunggumu di bawah untuk sarapan",
"Calvin!", panggilku saat ia hendak memutar tubuh.
"Ya?",
"Terima Kasih sudah mau membantuku", jawabku.
Dia mengangguk dan menepuk-nepuk kepalaku. "Memang itu tugas seorang kakak. Membantu adiknya, right?",
"Tapi kau kakak yang menyebalkan", ejekku.
Calvin tertawa, "Aku tunggu di bawah, kuda nil!",
Aku hendak memukulnya tapi ia sudah berlari terlebih dahulu membuatku tertawa.
Setelah Calvin keluar dari kamar. Aku menambahkan beberapa riasan agar terlihat lebih segar. Setelah itu aku juga memasang softlens berwarna hitam.
Untuk antisipasi dan mengeco saat ada yang menyadari bahwa aku sedang menyamar.
Lalu aku mengambil tasku dan mencabut ponselku dari adaptor dan turun kebawah untuk sarapan bersama Calvin.
...
Nicholas Villa PoV
Aku dan Raphael duduk diatas kap mobil kami masing-masing sambil menunggu yang lainnya datang.
Dan saat kami sedang mengobrol.
Tiba-tiba sebuah Ferrari 458 Spider hitam melesat dengan cepat memasuki area parkir membuatku mengerutkan kening bingung.
"Kenapa mobil Calvin melesat cepat?", tanya Raphael yang mewakili pertanyaan itu di kepalaku.
Aku mengangkat bahuku. Dua hari ini. Calvin seperti berbeda.
Pertama, kami sekalu berkumpul bersama. Tapi, kemarin saat masa orientasi mahasiswa baru. Dia menghilang.
Kedua, dia membawa seorang perempuan masuk ke dalam base camp.
Ketiga, sekarang mobil Calvin berhenti tepat di lobby bagian barat gedung.
Biasanya kami semua selalu memarkirkan mobil di tempat ini.
"Nick, lihatlah. Ada perempuan turun dari mobil Calvin",
Suara Raphael membuatku tersadar dan segera melihat kearah mobil Calvin berhenti.
Meski wajahnya tak jelas. Tapi, memang yang baru saja turun dari mobil Calvin adalah seorang perempuan.
"Apa dia perempuan yang kemarin berada di base camp?", tanya Raphael lagi.
"Entahlah. Jangan sampai Clary tahu hal ini",
"Hal ini?",
Aku berdecak lidah. "Maksudku, jangan sampai Clary tahu bahwa Calvin pagi ini datang dan mengantar seorang mahasiswa",
Raphael mengangguk, "Kita harus bertanya pada Calvin",
"He's coming", ujarku sambil memainkan ponsel saat mobil Calvin memasuki area parkiran kami.
"Hey guys! Yang lainnya belum datang?", sapa Calvin saat baru turun dari mobilnya.
Ia melangkah kearah kami sambil mengangkat tangannya.
"Belum", jawabku sambil memberikan tos kepada Calvin.
"Btw, siapa perempuan tadi?",
Aku terdiam saat Raphael menanyakan hal itu kepada Calvin.
Perasaanku kepada Calvin berubah saat ia mulai menyembunyikan sesuatu dan membuat Calrissa menangis.
Clarissa sudah aku anggap seperti adik kandungku sendiri karena kami lumayan dekat sejak SMP.
Dan aku tidak bisa melihatnya menangis. Apalagi karena masalah hati dan pria.
Calvin? Meski ia sahabat terbaikku di anggota Executive. Tapi, aku tidak akan segan untuk marah atau memukulnya bila ia menghancurkan hati Clarissa.
Aku melirik Calvin yang tampak terkejut. Ia menggaruk tengkuknya.
"Kalian melihatnya?",
"Apa dia perempuan yang sama dengan di base camp kemarin?", tanyaku dengan nada datar.
Calvin dengan cepat menggeleng. "Tidak. Mereka tidak sama",
"Woah... Sejak kapan kau jadi playboy?", tanya Raphael sambil tertawa.
Calvin mengangkat kedua tangannya keudara. "What? Aku tidak sepertimu", jawabnya menyindir Raphael.
"Raphael, can you leave me with Calvin for a minute?", tanyaku membuat Calvin menatapku bingung.
Raphael mengangguk. Ia turun dari atas mobilnya. "Okay. Aku akan menunggu di bangku itu", jawabnya sambil menunjuk salah satu bangku yang tak jauh.
Lalu ia melangkah pergi meninggalkanku dan Calvin.
"Kenapa?", tanya Calvin langsung.
Aku mendengus, "Let's talk about Clarissa",
"Kenapa dengan Clarissa?", tanyanya lagi masih tak mengerti.
"Kau tahu bukan bahwa aku menyayangi Clarissa seperti adikku sendiri? Dan kau juga tahu bahwa aku akan melakukan apapun jika ada orang yang menyakitinya?", tanyaku.
Calvin terdiam sejenak sambil menatapku. "Bisakah kau ke intinya?",
"Keep profesinal, right? ini urusan antara kau dan aku. Jangan sampai membuat team kita hancur atau keluar dari anggota", ujarku lagi membuat Calvin semakin penasaran.
"What the hell, Nick. What are you talking about? You make me curious",
Aku menghela napas, "Kau sahabat baikku, Calv. Dan hanya aku yang tahu persis perasaanmu dan Clarissa.
Kalian sama-sama suka tapi masih tidak mau mengaku",
Calvin kini terdiam. Sepertinya ia mulai mengerti apa yang ku maksud.
Dan tiba-tiba ia tertawa keras membuatku mengerutkan kening.
"Jadi ini soal perempuan kemarin? Dan perempuan yang baru aku antar?", tanyanya sambil menahan tawa.
Aku mengangguk, "Sungguh, Calv. Kau membuat Clarissa menangis semalaman kemarin. Aku sampai harus menunggunya curhat semalaman karenamu", seruku frustasi.
Calvin tersenyum, "Aku juga mendapatkan omelan dari Raphael",
"Jelaskan padaku",
Calvin mengangguk. Ia menepuk-nepuk bahuku. "Baiklah kakak ipar",
"Jadi... Kalau mereka berbeda. Siapa mereka?",
Calvin mengangkat alisnya. Ia menatapku. "Perempuan yang kemarin di base camp itu adalah sepupuku",
Aku hanya membuka mulutku membentuk huruf 'O', "Ohhh dia sepupumu",
Sepupu Calvin? Aku terdiam sejenak mencoba mencerna perkataan Calvin. Bryan Harrison?
Tidak mungkin Bryan, pikirku.
Pertama, dia berada di Inggris untuk melanjutkan studi.
Kedua, yang kemarin adalah perempuan bukanlah laki-laki.
Itu berarti... Kembaran Bryan atau sepupu Calvin lainnya.
Brianna Crystal Harrison.
Jelas itu dia... Mengingat sepupu Calvin yang perempuan hanya dia.
Anak dari keluarga Harrison yang sangat misterius.
Setiap ada acara private party untuk perkumpulan pembisnis, hanya ada Calvin dan Bryan yang datang.
Dia seolah tidak mau di publish dan membuatku sangat penasaran.
Beberapa orang bilang bahwa Brianna Harrison adalah gadis yang cantik dan menyenangkan.
Tapi, aku sendiri tidak tahu. Mungkin karena diriku juga cukup cuek.
"Brianna?", tanyaku.
Calvin mengangguk, "Ya dia Brianna.
Dan jika kau masih tak percaya.
Ini...", ia menggantung kalimatnya sambil mengambil ponsel di saku belakang jeans nya.
Ia tampak mencari sesuatu lewat internet membuatku bingung.
"Lihat pria yang berdiri di belakang pamanku",
Aku memicingkan mata melihat siapa yang di maksud Calvin. Seorang pria dengan jas hitam yang dilihatnya kemarin saat hendak pulang. Selain itu, anggota lainnya juga melihat pria itu di depan pintu utama.
"Itu Sir Adam. Kepala bodyguard dan orang kepercayaan pamanku", jelasnya.
"Aku melihatnya kemarin di Univ ini. Yang lain juga", ujarku sambil mengembalikan ponsel Calvin.
Calvin mengangguk, "Ya memang kemarin mereka disini untuk mengawal Brianna", lanjutnya.
Semuanya masuk akal sekarang. Tapi, kenapa Brianna bisa ada di sini? Dan kedua, kenapa gadis itu tidak ingin menunjukan dirinya?
Aku melirik Calvin. "Dan untuk apa dia kemari? Apa dia kuliah disini?",
Calvin menggeleng,
"Dia kemari untuk bertemu denganku dan juga Uncle Orland untuk konsultasi masalah kuliah yang akan dia ambil. Saat itu aku berlari dan tak sengaja, aku menabraknya hingga jatuh ke lumpur.
Jadi aku membawanya ke base camp untuk membersihkan diri",
Aku hendak membuka mulut lagi untuk bertanya, tapi, Calvin menyela dengan pertanyaan yang hendak ak tanyakan.
"Dan kau pasti bingung kenapa dia menutupi wajahnya?",
Aku mengangguk.
"Ia sebenarnya tak masalah bertemu dengan kalian. Hanya saja dia malu karena first meet nya sangat buruk.
Di kamar mandi dengan hanya berbalut bathrobe", tambahnya.
"Lalu, siapa gadis tadi pagi?",
Calvin terdiam sejenak sambil nemejamkan matanya beberapa detik.
Aku mendengus, "Jika kau berselingkuh dari Clary akan kuhajar kau", desisku.
"What? Wait... Aku tidak punya hubungan apa-apa dengan gadis itu. Namanya Sapphira Anastasia. Panggilannya Ana. Dia tetanggaku dan kebetulan supirnya tidak masuk. Jadi aku membantunya", elak Calvin cepat.
Aku memicingkan mataku, "Kau yakin?",
Calvin mendesah, "Oh ayolah. Kau mengenalku berapa lama? Aku sungguh-sungguh dengan Clarissa", ujarnya. "Hanya masalah waktu saja agar aku bisa menembaknya", gerutunya.
Perlahan senyumkupun mengembang. Aku tahu bahwa Calvin tidak mungkin berbohong masalah kedua gadis itu.
"Nick!", suara lembut itu membuatku dan Calvin menoleh.
Clarissa. Dia berlari kearah kami saat baru saja turun dari mobil. Tapi, saat matanya melihat jelas siapa yang ada disampingku. Ia langsung berhenti dan memutar tubuhnya.
"Kejarlah dia dan jelaskan", ujarku saat Calvin tampak bingung. "Dia masih marah padamu",
Calvin mengangguk. Lalu ia menepuk bahuku dan berlari mengejar Clarissa.
"Clarissa, tunggu!!!", serunya.
"Berdoalah agar mereka tidak perang dunia", ujarku pada Dimitri dan Raphael yang melangkah kearahku sambil melihat Calvin berlari.
Dimitri terkekeh, "Tenanglah. Tidak mungkin Clarissa bisa lama-lama marah pada Calvin",
"Kau benar", sahut Raphael sambil tertawa.
Aku mengangguk sambil tersenyum,
"Btw, kau dan Calvin membicarakan apa?", tanya Raphael.
Dimitri tampak mengerutkan keningnya membuatku menghela napas.
Aku turun dari atas kap mobil dan melangkah kebelakang Dimitri dan Raphael.
Lalu kurangkulkan tanganku dibahu mereka.
"Aku akan ceritakan sambil jalan", ujarku.
"Ceritalah yang jelas. Aku penasaran", sahut Raphael.
Aku terkekeh, "Aku tadi bertanya pada Calvin siapa gadis yang ada di base camp dan yang diantarnya tadi pagi",
"Tunggu dulu, apa katamu? Calvin mengantar gadis? Apa dia yang di base camp?", tanya Dimitri.
Aku menggeleng, "Ya. Dia mengantarkan seorang gadis di gedung barat. Tapi, gadis itu berbeda dengan yang kemarin kita lihat di base camp",
"Kalau mereka berbeda. Siapa yang ada di base camp?", tanya Raphael bingung.
"Pertama, gadis yang diantarnya tadi pagi adalah mahasiswa baru yang merupakan tetangganya", ujarku mulai menjelaskan.
"Yang di base camp?", tanya Dimitri.
Aku tersenyum, "Kalian kemarin melihat ada beberapa bodyguard yang menjaga pintu utama bukan?", tanyaku ke mereka.
Mereka berdua mengangguk,
"Itu adalah orang kepercayaan keluarga Harrison",
"Apa hubungannya dengan gadis di base camp?", tanya Raphael.
Saat Raphael bertanya hal itu. Tiba-tiba Dimitri menghentikan langkahnya membuat ku dan Rpahel menatapnya.
Tapi, aku mengerti. Dimitri rupanya mulai mengetahui siapa gadis itu.
"Jangan bilang gadis yang ada di base camp kemarin adalah Brianna Harrison. Kembaran Bryan. Tidak mungkin Bryan karena ia berada di Inggris", kata Dimitri sambil melebarkan matanya.
"What?! Brianna? Calvin's Cousin? She's here?", pekik Raphael tak percaya.
Aku mengangguk mengiyakan membuat mereka menggeleng tak percaya.
"Sialan Calvin! Pantas dia menyembunyikan wajah gadis itu karena gadis itu sepupunya", seru Dimitri.
"Dia sangat menyembunyikan identitasnya", gerutu Raphael.
Aku mengerutkan keningku. Dimitri berkata seolah mengenal Brianna. Begitupun dengan Raphael.
"Kalian mengenal Brianna?", tanyaku.
Dimitri menggeleng. Sedangkan Raphael mengangguk.
"Kau mengenalnya?", tanya Dimitri pada Raphael.
"Ya, orang tua kami sering mengadakan pertemuan. Dan kebetulan kakakku dan dia pernah saling suka",
"What the f**k?!", pekik Dimitri membuat beberapa orang disekitar kami menoleh kearahnya.
"Kau berlebihan", bisikku membuatnya menyengir.
Dimitri kemudian berdecak lidah. "Sungguh aku akan berhenti menjadi playboy bila Brianna mau menjadi kekasihku. Dia sangat cantik",
"Kau bilang tadi tidak mengenalnya", sindir Raphael.
"Aku memang tidak mengenalnya. Tapi, aku melihat foto Brianna di dalam ponsel Calvin. Dan aku langsung jatuh hati", balasnya sambil tersenyum membayangkan wajah gadis yang mereka bicarakan.
"Tapi kau benar, dim. Brianna memang sangat cantik. Kakakku yang bodoh menolaknya", gerutu Raphael.
Aku mendesah pelan, "Kalian membicarakan tentang seseorang yanh aku tidak tahu", seruku membuat mereka berdoa menoleh kearahku dan menatapku dalam diam.
Tak lama, mereka tertawa bersama. Yang jelas, mereka tertawa mengejekku.
"Kasian sekali kau tidak tahu Brianna", sahut Raphael.
"Keluarlah dari gua", timpal Dimitri.
Sialan! Hanya aku di anggota ini yang tidak mengenal Brianna.
Dan karena mereka berdua, sekarang aku menjadi sangat penasaran bagaimana rupa dari kembaran Bryan Austin itu.
Brianna Harrison... Seperti apa dirimu?
...
Calvin menghilang lagi.
Setiap hari selasa, aku dan Calvin selalu menunggu anggota lainnya menyelesaikan kelas ahkir mereka di koridor dekat basecamp.
Tapi, ia tidak ada.
Sambil melangkah mencarinya. Mataku tak sengaja menangkap para anggota Senat sedang melingkari seorang gadis yang cukup familiar.
"Menjauhlah dari Calvin! Dasar gadis murahan!",
Teriakan Kezia Ryle. Ketua Senat yang selalu berpakaian nyentrik membuatku mengerutkan kening.
Aku mencoba mendekat dan bersembunyi di balik pilar.
Apa yang mereka lakukan? Batinku.
Apa dia akan membully orang?
Tentu saja!
Aku mendengus. Reputasi Executive S.C. selalu jelek di mata mahasiswa baru karena ulah ketua Senat.
Dan mereka membahas Calvin?
"Maaf? Siapa yang kau panggil gadis murahan? Kau punya kaca atau tidak", balas gadis itu berani.
Aku hampir saja tertawa saat mendengar ucapan gadis itu. Baru kali ini ada mahasiswa yang berani terhadap Kezia selain Clary. Mengingat Kezia tak berani padaku, Calvin, Raphael, dan Dimitri.
Senyumanku memudar saat aku melihat Kezia dengan beraninya menampar gadis itu hingga limbung ke lantai.
Apalagi gadis itu dicekal oleh para side kick Kezia.
Aku hendak maju menolongnya, tapi gadis itu menatap tajam kearah Kezia membuatku menahan emosi.
"Kau berani menamparku?", desisnya.
"Dan kau berani melawanku", balas Kezia dengan senyum licik.
"Aku berani kepadamu karena kau tak layak untuk dihormati. Kau sama saja dengan sampah", ucapan gadis itu membuat Kezia terkekeh.
Tapi, sangat jelas terlihat kilatan marah di matanya.
Ia hendak menampar gadis itu lagi.
Tanpa pikir panjang, aku keluar dari balik pilar.
"Kezia!", teriakku mencegahnya.
Kezia dan teman-temannya tampak terkejut melihatku. Mereka semua menunduk takut saat aku melangkah mendekat kearahnya.
"Jadi ini yang kau lakukan sebagai ketua hah?", ucapku datar berusaha mengontrol emosi karena dia seorang perempuan.
Kezia memutar matanya, "Nick. Dia merebut Calvin dariku", serunya tak terima.
Aku mendengus. "Sejak kapan Calvin menjadi kekasihmu hah?", ujarku. "Dan mana mungkin Calvin memilihmu sebagai kekasihnya", ejekku.
Kezia tampak mengepalkan tangannya. Ia menunjukku, "Kau!",
"Apa?", tanyaku menantangnya.
Ia menggeram kesal dan berlalu meninggalkanku bersama ketiga side kick nya dengan hentakan kaki kesal.
Saat mereka sudah menghilang dari pandanganku. Aku memutar tubuhku kebelakang dan mengulurkan tangan untuk menawarkan bantuan kearah gadis itu.
Sambil memegang pipinya, ia meraih tanganku dan bangkit.
"Terima ka...sih", ucapnya terputus saat ia melihatku.
Ia tampak terkejut karena melebarkan matanya.
Dan menurutku itu sangat menggemaskan.
"Kau tak apa?", tanyaku dengan bodohnya.
Dia menggeleng, "Apa ada orang yang telah ditampar baik-baik saja?", ia membalasku dengan membalik pertanyaan.
Aku menggaruk tengkukku. "Maaf",
Gadis itu tersenyum kearahku. "Tak apa", ujarnya, "Thanks by the way...", tambahnya.
Manis... Senyumannya sangat manis. Batinku.
"Urwell", jawabku tergagap.
Ada apa denganku??? Batinku lagi.
"Kalau begitu aku duluan. Sekali lagi terima kasih", ujarnya berpamitan dan berlalu meninggalkanku.
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Bodohnya! Kenapa tidak membantunya pergi ke Health Service Center?
"Hei!", panggilku pada gadis itu sambil berlari kearahnya.
Ia membalokan tubuhnya dan menatapku bingung. "Ya?",
"Kau harus ke HSC untuk mengompres pipimu. Ayo aku antar", ujarku sambil melihat kearah pipinya yang masih merah.
Ia terkekeh, "Terima kasih untuk perhatian dan tawaranmu. Aku memang mau kesana. Dan aku bisa sendiri", jawabnya ramah.
"Ah aku pikir kau akan langsung pulang",
Sial! Aku menjadi salah tingkah!
Dan dia menolakku.
Ia menggeleng, "Aku duluan. Terima kasih lagi", ujarnya.
Aku mengangguk dan mundur selangkah memberinya jalan.
Tapi, saat ia baru beberapa langkah menjauh. Aku tersadar kembali bahwa aku tidak tahu namanya.
"Hei! Siapa namamu?", seruku.
Ia berbalik dan melangkah mundur. Gadis itu tersenyum lagi, "Jadi... Nicholas Villa ingin tahu namaku?", teriaknya.
Aku mengerutkan keningku. Dia mengenalku?
"Kau tahu namaku?", teriakku.
Dia mengangguk, "Ya, saat orientasi aku diberitahu bahwa kau adalah ketua Students Council disini",
Aku tertawa menertawakan diriku. Kenapa aku jadi sangat bodoh! Pasti orang-orang mengenalku tanpa aku memberitahu mereka.
"Siapa namamu?", tanyaku sambil berteriak.
Ia berhenti melangkah mundur dan lagi-lagi tersenyum.
"Sapphira Anastasia", teriaknya. Lalu ia berbelok pada ujung koridor dan menghilang.
Sapphira Anastasia?
Aku mendengus geli sambil menggeleng dan terkekeh.
Jadi dia gadis yang diantarkan oleh Calvin tadi pagi.