DAFFA |01|

758 Words
Seorang laki-laki berperawakan tinggi dengan wajah oriental itu turun dari tangga yang meliuk sambil memasang dasi abu-abu miliknya. Bibirnya tersungging sebuah senyuman ketika melihat Bunda dan adik bungsunya sudah duduk menunggunya di meja makan. "Selamat pagi Bundaa!" sapa lelaki itu. Bundanya, Nara, tersenyum sambil mengoles roti tawar dengan selai strawberry. "Pagi juga sayang!" "Ayah mana bun?" Daffa duduk di kursi meja makan. "Kayanya masih diatas deh, bentar ya!" kata Nara. Dia naik ke atas lalu masuk ke kamarnya dengan Raka. Daffa melirik adiknya yang sedari tadi diam sembari memakan semangkuk es krim coklat kesukaanya. "Heh bocil! Makan es mulu lo!" Rayyan menoleh lalu menatap sengit kearah kakaknya. "Apaan sih! Dasar irian banget," adiknya kembali menyendokkan es krim tadi ke dalam mulutnya tanpa mau melihat Daffa yang mencebikkan bibir sambil memasukan roti ke dalam mulutnya. "Gue mah nggak pernah iri! Nggak ada kamus iri di hidup gue!" Daffa menggigit rotinya lagi. "Lagian ntar lo sakit gigi, bukannya sarapan malah ngeskrim." "Biarin aja elah! Kenapa sih emangnya? Gigi Ry bagus-bagus aja, tuh!" sewot Rayyan. Rayyan memang seperti itu dengan Daffa. Alasannya adalah; kakaknya ini jail dan rusuh. Mata Daffa berganti tatap menjadi menatap Diffa yang turun dari tangga sambil memainkan handphone--berbalas chat dengan temannya. Daffa berdecak pelan. "Jangan main hp, Dif." kata Daffa. Diffa hanya mengangguk tapi tidak menghentikan kegiatannya. Membuat Daffa jengah dan akhirnya berdiri lalu mengambil handphone Diffa. Dimasukannya handphone itu ke saku celana. Membuat Diffa melotot ke arahnya. "Rese banget sih lo!" Kata Diffa. Diffa merengut. Ia duduk di kursi depan Daffa. Lalu tak lama Nara dan Raka turun. Raka mengambil posisinya seperti biasa. Disusul Nara yang juga duduk disampingnya. "Ada apa, sih?" Tanya Raka. Tangannya menarik cangkir berisi teh hijau hangatnya, menyesapnya sedikit lalu menatap anak-anaknya yang sudah beranjak remaja. "Aa tuh, Yah!" adu Diffa. Sementara Daffa hanya diam tak mau menghiraukan ucapan Diffa. Toh yang ia lakukan benar, kan? Nara menghela napas lelah. "Aa.." "Apa Bun?" "Kamu ngapain Diffa lagi?" Daffa mengerutkan alis, lalu menggedikan bahu. "Aku cuma ambil handphone-nya kok. Lagian dia salah dia juga ngapain main handphone sambil jalan? Kalau nanti dia jatuh, yang repot kan bukan dia doang!" "Lo doain gue yang buruk-buruk, Ya!" "Nggak!" "Itu tadi lo bilang kalau jatuh blabla itu lo doain gue, bodoh!" "Ya bodoamat sih lo mau ngomong apa juga. Gue kan nge-protect lo!" Daffa mendengus di akhir kalimat. Diffa semakin menjadi, dan Nara beserta Raka hanya menghela napas. *** Daffa memarkirkan motor merah besarnya. Dia melepas helm-nya lalu menyugar rambutnya ke belakang. Membuat Daffa menjadi objek pemandangan dari para anak perempuan yang berada di lorong sekolah. Sesekali mereka tersenyum dan menaruh tangan mereka di pipi. Memberi gestur berlebihan atas ketampanan laki-laki itu--menurut Daffa. Sebelum turun dari motor, Daffa sempat membalas satu pesan dari perempuan penganggu yang demi apapun Daffa risih sebenarnya. Perempuan dengan rambut sebahu dan selalu mengenakan pita merah itu terlalu mengejar-ngejar dirinya. Ketika bahunya ditepuk, Daffa menoleh dan menemukan Bani--teman sebangkunya. Ia tersenyum lebar lalu meraih tangan Bani dan ber-high five ala laki-laki pada umumnya. "Gimana kabar?" tanya Daffa. Pasalnya ini adalah hari pertama masuk sekolah setelah liburan semester usai. Wajar saja jika Daffa menanyakan hal itu. "Baik Alhamdulillah! Lo sendiri gimana? Udah dapet tambatan hati?" Bani bertanya sambil merangkul pundak Daffa dan berjalan ke kelas. "Gile, nggak ada kepikiran mau cari cewek!" Kata Daffa. Bani menyeringai setelah memukul lengan Daffa. "Wah serius lo? Apa jangan-jangan lo jatuh cinta sama si pita merah itu?" "Nggak lah, gila! Amit-amit jangan sampe!" Bani tertawa. Ia melempar tasnya ke atas meja diikuti oleh Daffa setelahnya. Kedua laki-laki itu duduk di bangku mereka---pojok belakang tepat di bawah air conditioner. Benar-benar posisi strategis. Karena dengan begitu, mereka bisa bebas tidur tanpa ketahuan oleh guru. "Jangan bilang gitu, Dap. Bisa jadi nanti dia yang jadi istri lo!" "Amit-amit!" Daffa mengeluarkan rubik berukuran 5×5 dari dalam tas lalu mulai memainkannya. Mengabaikan Bani dan suara tawanya. *** Daffa mengeluarkan rokok dari dalam saku baju putihnya. Ia menyalakan pemantik api lalu membakar rokok tersebut. Rooftop adalah tempat ternyaman Daffa selama bersekolah di sini. Daffa membuang asap, membuat pemandangan yang ada di depannya menjadi tertutup asap. Pikirannya bercabang kemana-mana. Daffa bahkan nggak tahu gimana cara menyelesaikannya. Luka itu selalu ada. Tidak pernah bisa lepas dari Daffa. Daffa yakin, berlari sejauh apapun, predikat dan kenyataan pahit itu nggak akan pernah bisa hilang dari hidupnya. "Huftt," Daffa mengehela napas. Dia menarik bangku putih yang sempat ia jadikan sandaran kakinya beberapa menit lalu. Dengan perlahan ia membaringkan tubuhnya di sana. Berharap bahwa dengan ini luka lama itu akan segera hilang. Atau mungkin tak pernah lagi menyambangi hidupnya. ••••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD