DAFFA |02|

830 Words
•||• Daffa mengerutkan alis ketika telinganya mendengar teriakan seseorang. Kaki Daffa tidak bergerak menjauh ataupun memutar ke belakang. Ia sudah tahu siapa pemilik suara di belakangnya. Laki-laki itu menggelikan bahu dengan tangan yang memutar-mutar balok rubik. "Daffa tunggu!" "Daffa!" Perempuan dengan rambut sebahu dan pita merah diatasnya itu menghampiri dengan napas pendek-pendek. "Ih calon suami! Kenapa sih jalannya cepet banget! Nggak tahu apa kalau calon istri kamu ini ketinggalan?!" "Najis," ketus Daffa. "Ih nggak boleh najis-najis, tau! Nanti kalau kita nikah beneran gimana? Hayooo!" Daffa mengangkat satu alisnya ke atas. Membuat Reya-Freya Binar Abigail-mengerucutkan bibirnya lucu. Perempuan berumur 16 tahun dengan tubuh pendek, rambut sebahu, hidung mancung dan berkulit putih itu terkenal sebagai bucinnya Daffa Malik. "Najis gue nikah sama cewek centil kayak lo!" sentak Daffa yang kontan membuat Reya terdiam. Koridor sekolah di jam-jam istirahat seperti memang sepi. Kebanyakan dari murid-murid itu pergi ke kantin demi mengisi perut mereka. Namun sebagian ada yang bermain bola di lapangan. Daffa melangkah ingin meninggalkan Reya, tapi perempuan yang sudah dicap centil oleh Daffa itu menarik tangannya dan menyerahkan kotak makanan berisi sandwich yang ia buat pagi tadi. Dengan senyum merekah, Reya menyodorkan benda tersebut pada lelaki di depannya. "Buat lo ya suami! Jangan sampe nggak dimakan!" Daffa tertawa kecil. Ia mengambil benda itu, menimangnya sebentar. "Ini buat gue?" tanya laki-laki itu. "Iya, itu buat lo! Enak, kok. Gue bikinnya kan pake hati. Gue juga pakai saus tomat biar lo nggak kepedesan!" jelas Reya. "Lo tahu kan kalau yang lo lakuin itu sia-sia?" tanya Daffa. Matanya memandang Reya dengan seksama. "Gue nggak akan pernah mau makan masakan lo, centil. Gue nggak sudi." Tangan Daffa bergerak melempar kotak makan berwarna biru dongker ke arah tempat sampah. Bugh "Daff----" "Besok-besok jangan pernah kasih gue bekel lagi kalau ujung-ujungnya lo bakalan kayak gini. Gue nggak suka sama lo." Setelah berucap kalimat pedas itu, Daffa pergi meninggalkan Reya yang mulai menangis. •||• Mata Daffa berpendar mencari tempat duduk teman-temannya. Senyumnya terbit kala ia melihat Kakha melambaikan tangan dengan garpu yang masih dipegangnya. Dengan senyum kecil ia melangkah mendekati ke-empat temannya. "Lama banget lo, bos!" kata Kakha. Daffa menyalimi satu persatu temannya. Ber-high five ria ala laki-laki pada umumnya. "Iya sorry-sorry, gue tadi diganggu setan dijalan," "Setan?" "Iye," jawab Daffa. Laki-laki itu mendudukan diri disamping Rifki yang sudah mengacak-acak rubiknya. "Ck, Ki, jangan diancurin lagi!" Rifki tertawa tapi tidak menghentikan kegiatannya. Membuat Daffa berdecak sambil mencebikkan bibir. "Setan di mana sih, bos? Emangnya sekolah ini ada jurig-nya?" tanya Ilham. Laki-laki dengan perawakan tinggi dan mempunyai wajah manis itu bertanya pada temanya. Bani tertawa. Lalu memukul tangan Ilham. "Yang dimaksud Daffa setan tuh si Freya! Lo kayak nggak tahu itu cewek aja. Tiap hari ngikutin Daffa mulu," kata Bani. "Si Reya yang cantik itu, kan?" Kakha bertanya sambil menggigit daging bakso yang ditusuk dengan garpu. "Amit-amit. Cantik dari mana." Jawab Daffa ketus. Rifki, Kakha, Bani, dan Ilham tertawa. Asal kalian tahu, selama hampir dua tahun bersekolah di sini, mereka semua paham sifat Daffa yang membenci Reya. Bahkan laki-laki rubik itu tak segan-segan menyakiti Reya demi terbebas dari perempuan itu. "Nggak boleh gitu, bos. Nanti lo cinta sama dia berabe!" Cetus Kakha. "Najis." Daffa menjawab semakin ketus. Moodnya lumayan hancur siang ini. "Najis-najis ntar jadi cinta!" Ilham berkata, membuat Daffa semakin muak. Demi Tuhan, pembicaraan tentang Reya selalu mengundang Daffa untuk semakin membenci perempuan yang sudah menghancurkan hidupnya dan adiknya. "Aa!" Daffa menoleh, menatap Diffa yang berlari ke arahnya sambil menenteng sesuatu di tangannya. "Apa?" "Ini," Diffa menyerahkan kotak bekal berwarna biru dongker---yang tadi dibuangnya di tempat sampah--- dengan memaksa. "Buruan terima! Gue nggak enak nolak permintaan si Reya. Kasihan." "Gue nggak mau." Daffa membuang wajah. Membuat teman-temannya mengerutkan alis. "Lo bawa aja. Buang ke tempat sampah." "A!" "Apasih?" "Terima dulu! Terserah lo mau makan atau nggak, intinya terima dulu! Gue nggak mau tahu!" Diffa membanting bekal itu di atas meja Daffa dan teman-temannya. Setelah membanting benda itu Diffa pergi meninggalkan Daffa yang mendesis pelan. Sialan tuh cewek. •||• Reya menghapus air mata yang mengalir ke pipinya. Ia melihat dengan nyata bagaimana Daffa mengacak-acak bekal yang dibuatnya setengah mati tadi pagi. Tissue di tangannya sudah berangsur-angsur habis. "Udah-udah, Re. Jangan nangis lagi. Keterlaluan emang tuh cowok!" kata Vanya memberi Reya ketenangan. "Hati gue sakit, Nya. Daffa tuh bisa nggak sih ngehargain gue sedikit aja?" Fanya dan Sarah terdiam mendengar suara tangis Reya. Tangannya mengusap punggung sahabatnya dengan lembut. Mencoba tidak berkata apa-apa karena keduanya sadar jika Reya hanya butuh didengar. "Gue cinta sama dia, Nya, Sar. Tapi dia nggak pernah lihat gue sedikitpun!" Reya masih menyalurkan rasa sakitnya pada cermin didepannya. "Gue nggak jelek, Nya. Tapi kenapa Daffa nggak mau sama gue? Kenapa Daffa menganggap gue centil padahal gue cuma ngejar-ngejar dia doang!" Vanya dan Sarah semakin memeluk Reya erat. Sedangkan Reya kembali menangis dengan kencang. Rasa sakit dihatinya berkali-kali lipat dari biasanya. Jatuh cinta memang tidak semudah melepaskannya. Sama seperti Reya. Gadis itu mencintai Daffa, dan bagi Reya, melepaskan Daffa adalah hal tersulit kedua setelah ia berpisah dari ayah. •••••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD