bc

Topi Lusuh (Telah Terbit)

book_age16+
1.7K
FOLLOW
12.4K
READ
stalker
love-triangle
teacherxstudent
goodgirl
independent
student
drama
sweet
bxg
feminism
like
intro-logo
Blurb

"Masih ingat topi ini?" tanyamu ketika bertemu lagi setelah sekian lama.

"Ha ha ha, topi lusuh semacam ini buat apa? Ishhh sudah jadi tentara juga, pakai lah topi Raidermu itu atau topi Kostradmu," tawaku menepuk lengan kirinya.

"Topi lusuh ini saksi bisu aku jatuh cinta padamu ketika panas terik di tengah lapangan tenis. Ketika kamu tersenyum di tepi lapangan itu dan ketika aku begitu bersemangat melakukan langkah tegap sambil melirikmu."

Tubuhku terbujur kaku. Aku bukan aku yang bisa menjawab cepat seperti biasanya, bukan aku yang berani berdebat.

chap-preview
Free preview
Apta Priyatama
Kisah ini kuceritakan dari Karanganyar, 28 Februari 2019. Ketika pekik menerjang, menggema, memecah langit Bumi Intanpari.  Aku, Dara Laksmi Sasmita, mahasiswi semester akhir dari Program Studi Sastra Indonesia, seorang penulis amatir yang ingin sekali menjadi penulis sehebat Tere Liye atau Andrea Hirata. Usiaku 22 tahun saat ini, tepatnya lahir di Karanganyar, 23 November 1997, dan sedang sibuk menjadi pelatih pasukan baris-berbaris di almamaterku dulu sembari mengerjakan skripsi kuantitatif tentang Pengaruh Keberadaan w*****d terhadap Minat Baca. Tinggiku hanya 155 cm dengan berat badan 49 kg. Patriakara, Pasukan Kesatria Bagaskara SMKN 2 Karanganyar. Hanya pasukan baris-berbaris inilah yang 7 tahun lalu menerimaku sebagai anggota dengan tinggi badan yang minimalis. Tidak ada ketentuan tinggi badan memang, karena semua bisa masuk, biarkan alam yang menyeleksi. Yang pasti dengan latihan fisik yang keras, penggemblengan mental, aturan makan, dan latihan kedisiplinan yang ketat, banyak orang gugur di tengah jalan. Alam lebih pandai bercerita perihal siapa yang paling kuat di antara puluhan manusia. Hingga saat ini bahkan aku masih sanggup menjadi pelatih. Mengantarkan beberapa pasukan juara umum di tingkat kabupaten dan bahkan tahun 2018 mampu hingga tingkat provinsi. Tahun ini lagi dan lagi, aku masih ditunjuk sebagai pelatih dibantu senior kelas XII, tentu masih di bawah arahan dua tentara dari Kodim 0727/Karanganyar. “Kamilah, Patriakara pasukan perkasa, pasukan gagah perkasa siapa seniornya!” Pekik itu biasa menggema usai sebuah laga. “Jangan keras-keras nyanyinya, kita menang hari ini, itu artinya harus melanjutkan tugas ke tingkat karesidenan. Suara kamu itu masih dibutuhkan sampai ke karesidenan nanti, Ta,” bisikku di sebelah Apta. Apta menoleh, tersenyum. “Perhatian banget, Mbak. Kasih love dulu,” katanya dengan jari panjang membentuk tanda love dari Korea. Dia, Apta Priyatama, seorang Komandan Peleton (Danton) Patriakara untuk tahun kemarin dan tahun ini. Kelas XI jurusan Pemesinan, bertinggi badan 180 cm, bertubuh proporsional, bergigi rapi tanpa bantuan behel, dan satu hal, dia punya banyak penggemar di kalangan perempuan seusianya. Hari ini anak didikku berhasil meraih juara 1 Lomba Baris-berbaris (BB) di tingkat Kabupaten Karanganyar. Dan itu amat sangat membahagiakan bagiku, berhasil mempertahankan gelar juara 3 tahun berturut-turut di tingkat kabupaten. “Kalau sudah puas, ayo kembali ke sekolah, Ta. Keburu sore nanti kalian bisa pulang Magrib,” bisikku lagi. Apta mengangguk di tengah yel-yel, lantas mendekati telinga kananku. Dia lebih tinggi, jadi dia yang membungkuk karena ingin berbisik padaku. “Iya, Mbak. Aku sudah ndak betah juga, banyak penggemarku di sini.” “Helo, penggemar? Sok bener!” “Ye, dibilangin juga.” Sejujurnya aku percaya itu, aku sudah sering mendengarnya. Memang banyak sekali, dielu-elukan di sana-sini. Setiap lomba selalu saja ada yang berbisik, “Dantonnya keren. Instagramnya apa, ya? Namanya siapa, ya? Sudah punya pacar belum, ya?” “Ya sudah, nanti kalau keluar tak gandeng, takut juga kamu lepas dariku,” godaku dan di hanya tersenyum. Apta memang tampan sekali, senyum manisnya, bentuk alisnya, meskipun tertutupi oleh hitam dan kusamnya kulit karena latihan. “Mbak Dara, tak bilangin Mas Gayuh, nih!” ancam Akbar Arizal. Dia senior kelas XII, calon adik iparku, adik dari Serda Gayuh Amwangan Lukito. Pacarku dari Grup 1 Kopassus, sudah LDR selama 3 tahun, sudah putus nyambung 2 kali, dan sudah bertengkar beberapa kali. “Eh, pengadu, ya? Kan cuma bercanda, Akbar. Dulu kamu juga manggil aku Bebeb.” Menyenggol bahunya. “Hidup tidak sebercanda itu sebenarnya,” sahut Apta bergerak memimpin teman-temannya. “Pimpinan saya ambil alih!” Pekik yang sangat keras dan penuh dengan emosi.  Pengalaman beberapa hari yang lalu ketika Apta menyimpan amarahnya di rahang bawah, dia malah jatuh sakit, ototnya terlalu kaku, menjadi kekhawatiran tersendiri bagiku. Pasalnya masih ada lomba-lomba yang menanti. “Ta, emosi apa lagi sih? Nggak gitu ah!” tegurku menepuk lengannya dua kali. Apta tersenyum. “Emosi dikit biar diperhatikan Mbak Dara.” Aku hanya menggeleng kecil lalu berjalan ke belakang barisan. Biarkan senior kelas XII yang memberi arahan bahwa hari ini mereka harus pulang, istirahat selama 3 hari baru setelahnya latihan lagi. Di depan barisan, hanya ada Apta dan Akbar, ketua senior kelas XII. Akbar tidak terlalu tampan jika dibandingkan Apta, jadi aku yakin, 10 orang perempuan di pojok barat itu tersenyum-senyum karena memperhatikan Apta. Sekarang malah aku yang tersenyum-senyum sendiri melihat perempuan-perempuan itu. Pasti sekarang ini mereka sedang memegang definisi, “Bahagia itu sederhana, hanya melihatmu saja aku melupakan dunia.” Jam sudah menunjukkan pukul 14.47 WIB. Aku memberikan kode pada Akbar agar dia bisa menghentikan pembicaraannya yang terlalu panjang itu. Sudah cukup semua petuah dan nasihatnya. Langkah kakiku mengayun mendahului yang lain, sementara pasukan di belakangku. Tiba-tiba saja aku seperti berjalan sendirian karena beberapa orang terlihat berhenti dan malah membuat kegaduhan. Menoleh ke belakang dan aku mendapati Apta bersembunyi di balik punggung temannya yang lebih pendek, sementara para penggemarnya ada di depan barisan meminta Apta untuk foto bareng. Aku seperti hidup pada zaman di mana harga diri seorang perempuan mulai terkikis. Benar saja hanya mengajak foto, tidak ada masalah, tetapi caranya dengan memaksa, berteriak-teriak dan merengek-rengek itu cukup menggelikan. Terlebih Apta bukanlah artis Korea yang tampannya tujuh musim kemarau tidak ada habisnya. “Apakah ini definisi emansipasi wanita, Mbak?” tanya Akbar yang berhenti dan berbalik di depanku. Menggeleng. Apta lantas melihat ke arahku dan tanpa hitungan satu, dua, ataupun tiga, dia berlari ke arahku sembari terus menghindari kerumunan. Langsung menggandeng tangan kananku, begitu erat, lalu tersenyum.  Semua perempuan yang mengejarnya tiba-tiba saja berhenti dengan wajah kebingungan plus menahan kekesalan. “Kenalin ini pacarku, jadi kalau mau foto sama aku harus lewat pacarku dulu,” katanya membuatku mendongak ke arahnya, penuh tanya. “Pacarnya Mas Apta?” tanya salah satu dari mereka. Aku diam, tersenyum tipis. Biasanya kami ini bercanda di depan teman-teman, di depan keluarga Patriakara, tidak pernah di depan orang lain. “Iya, ini pacarnya Mas Apta, Dara Laksmi Sasmita.” Fikri Al Buchori berdiri di sebelahku dan membenarkan hal yang belum direncanakan. Untuk informasi, Fikri adalah sahabat Apta sejak kecil. Apta memainkan jari-jariku dengan jari-jari panjangnya, seolah dia meminta bantuan padaku. Karena kasihan anak SMK kelas XI sudah dikerubuti penggemar sebanyak ini, jadilah aku berpikir sesuatu untuk membantunya lepas dari Apta Lovers ini. “Iya, Dik. Saya pacarnya Apta. Kalau pacar saya nggak mau foto, tolong jangan dipaksa, ya? Kalaupun dia mau juga tidak saya izinkan. Dokumentasi pacar saya ini mahal,” ucapku menggenggam erat tangan Apta. Pasukan Patriakara yang ada di belakang para perempuan ini menahan tawa, mungkin mereka baru saja melihat drama lucu. Sementara para penggemar itu hanya bisa melongo. “Kami pamit dulu, ya, Dik? Kasian pacar saya harus segera istirahat.  Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.” “Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh!” Justru Patriakara yang menjawab serempak sambil menahan tawa. Apta dan aku sama sekali tidak melepas genggaman tangan kami, bahkan meski Akbar melihatnya tapi dia tetap diam saja. Toh, dia tahu, aku memang sering bercanda begini. Tidak hanya Apta, tahun lalu, aku pun saling menggoda dengan Akbar layaknya pasangan kekasih, meski tidak sampai gandengan tangan semacam ini juga. “Ta, Ta, penggemarmu, ya ampun, sudah kaya idol Korea,” selorohku mengayunkan genggaman kami.  “Itu juga gara-gara Mbak Dara, setelah menggunggah foto perkenalan diri di ** Patriakara itu, aku jadi banyak yang follow, banyak yang DM. Parah sih sekarang, tapi makasih lho sudah mau jadi penolongku hari ini, Mbak.” Aku mengangguk. “Iya penolong, tapi tolong dilepaskan itu genggamannya sebelum kena lempar sangkur sama Bapak Komando!” sela Akbar melepaskan genggaman kami sambil menunjuk ke arah laki-laki berseragam doreng merah darah berjalan dengan gagahnya.  Ia adalah definisi rindu dan jarakku. Dia tidak mengabarkan akan pulang hari ini, bahkan yang dia kabarkan justru tidak akan pulang tahun ini. Saking banyaknya masalah keamanan negara yang harus dia urus diam-diam. Akan tetapi kenyataannya? “Mas Gayuh!” pekikku melangkah cepat ke arah depan. Kesatria Negaraku itu tersenyum dengan kedua tangan di belakang dan baret merah yang masih melekat. Kami masih di pelataran GOR, masih banyak anak SMA, senior, dan guru pendamping dari sekolah lain. Jadilah pertemuanku dan Mas Gayuh menjadi pemandangan tersendiri bagi mereka. Apalagi seragam dan baret Mas Gayuh begitu luar biasa. “Selamat ulang tahun,” ucapnya mengeluarkan buket bunga yang cukup besar dari balik punggungnya, sembari menahan tawa manisnya.  Aku tersenyum melihat buket bunga berisi lisiantus, mawar merah muda, dan begitu banyak babybreath. “Ulang tahunku 23 November, Mas. Ini masih Februari!” protesku dengan bibir manyun.  Mas Gayuh mengusap kepalaku. “Iya, lupa, itu ulang tahun pacarku yang pertama.” Dia hanya bercanda dan kami memang sering bercanda semacam itu. Konyol memang, hubungan kami penuh dengan candaan tetapi bukan berarti kami tak tegas dengan hubungan kami. “Mas,” sapa Akbar menjabat tangan kakaknya. “Pulang dulu sana lho, ketemu Ibu.” “Jalan kaki? Aku ke sini biar bisa bonceng kamu sampai rumah juga. Naik bus tadi aku dari stasiun sampai sini.” “Ye, bilang aja modus mau ketemu Mbak Dara dulu. Ini zaman udah canggih, ojek online di mana-mana!” Mas Gayuh tersenyum. “Itu tahu, pinjam dulu kalau gitu, ya?” Akbar mengangguk kencang. “Eh, Mbak Dara!” panggil Apta. Aku yang tadinya sudah bergandengan tangan dengan Mas Gayuh, berjalan beberapa langkah tiba-tiba saja berhenti.  Di dekat beberapa pasukan yang hendak menyorakiku dengan kata “cie-cie”nya. “Besok langsung latihan aja, Mbak. Nggak usah libur.” Aku mengernyitkan dahi. “Hah?” 19 orang lainnya berseru kaget.  Akbar sebagai seorang senior pun sangat kaget.  “Ta, kamu gila?” Fikri mendekat tapi Apta justru mendorongnya untuk menjauh. “Kamu butuh recovery, Ta. Tiga hari istirahat yang cukup, nanti Senin mulai latihan lagi.” Mengusap lengannya dua kali. “Tapi, Mbak. Nanti kita semua kaku lagi kalau libur.” Dia masih menahan langkahku. Mas Gayuh tiba-tiba mendekati Apta, yang lebih tinggi 4 cm darinya. “Dik, kasian tubuhmu juga. Mbakmu ini pasti kalau ngelatih berat, jadi istirahatkan dulu.” Apta diam, dan Mas Gayuh menarik tanganku pergi. Sedikit aku menoleh pada Apta, melihatnya menatapku begitu jauh. Apta, seseorang yang cerdas, lengkap, dan terhormat. Priyatama berarti kekasih yang utama. Apta Priyatama ialah adik yang kutemukan ketika dia sudah tumbuh dewasa. Dia seperti adikku sendiri dan selalu semenyenangkan itu walaupun semua pasukan ialah adikku pun sama menyenangkannya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

MOVE ON

read
95.2K
bc

Mas DokterKu

read
238.9K
bc

The Unwanted Bride

read
111.1K
bc

Kujaga Takdirku (Bahasa Indonesia)

read
76.1K
bc

Switch Love

read
112.6K
bc

Bukan Ibu Pengganti

read
526.3K
bc

Kupu Kupu Kertas#sequel BraveHeart

read
44.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook