Sabine melangkah gontai melewati pintu utama, tumit sepatunya beradu pelan dengan lantai marmer yang dingin. Kepalanya masih berat, denyutan samar di pelipis terasa seirama dengan langkahnya yang goyah. Bau parfum mahalnya bercampur samar dengan sisa alkohol yang masih melekat di kulit, dan aroma malam panjang yang belum sepenuhnya sirna. Rumah besar itu terasa sunyi. Hanya terdengar dengung lembut pendingin udara dan langkah para pekerja yang berlalu dengan sikap hati-hati, seolah enggan menimbulkan suara. “Tuti,” panggil Sabine pelan ketika melihat sosok wanita muda yang baru keluar dari dapur, membawa keranjang baju kosong. “Ya, Nona Sabine?” Tuti buru-buru menghampiri, sedikit terkejut melihat wajah pucat majikannya. “Kalief di mana?” tanya Sabine, suaranya serak, nyaris seperti b

