Bab 2

1093 Words
"Kok gitu sih...kita kan tinggal sama-sama. Harus berbagi. Jangan khawatir soal uang, Bin, aku ada dan mudah untuk mendapatkannya." "Tapi, kamu juga harus nabung, Bella, kamu harus kirim uang kan ke kampung?" Bintang menatap Bella tak enak. Wanita itu sungguh sangat baik padanya. "Cukup kok, Bin,di sini cuma kamu yang aku punya. Kita harus saling mendukung ya?" Mata Bintang berkaca-kaca,wanita itu mengangguk dan memeluk Bella. "Makasih, Bella. Semoga kamu mendapatkan balasan atas kebaikan-kebaikan kamu." "Iya. Ya udah yuk." Bella mempercepat langkahnya. Mereka berdua memasuki super market besar itu. Bintang mendorong trolly dan Bella memilih barang. Sesekali keduanya cekikikan karena ada sesuatu yang menurut mereka lucu. Trolly mereka penuh dan segera mengantri di kasir. Sepertinya malam ini pengunjung di supermarket cukup banyak. Bintang berdiri di belakang Bella, berada di barisan antrian. Sekilas ia mencium aroma parfum pria di belakangnya. Ia menoleh pelan, dan saat itu juga pria itu tengah menatapnya. Bintang langsung merasa canggung, ia tersenyum tipis, kemudian kembali membelakangi pria itu. Giliran mereka tiba, satu persatu barang mereka dihitung harganya. Setelah menunggu beberapa menit, sang kasih menyebutkan jumlah yang harus dibayar oleh Bella. "Totalnya Lima ratus enam puluh dua ribu lima ratus,Mbak." Bella mengangguk dan membuka dompetnya. "Saya bayarin semuanya." Pria di belakang Bintang tadi langsung menyodorkan kartu debit miliknya pada sang kasir. "Baik, Pak." Bintang dan Bella maju beberapa langkah melewati meja kasir. Kemudian mereka bertukar pandang."Pak, terima kasih, tapi...kami masih bisa bayar, Pak." Pria itu tersenyum."Saya tahu kamu banyak uang,"katanya pada Bella."Saya lakukan ini untuk dia,"tunjuknya pada Bintang. Bintang langsung mundur dan bersembunyi di belakang tubuh Bella. Jelas saja ia merasa takut, tiba-tiba ada pria asing yang membayar semua belanjaan mereka. Tidak mungkin jika tidak ada maksud tertentu setelah ini. "Silahkan PIN-nya, Pak." Pria itu tersenyum, memencet sejumlah angka. Lalu ia menerima bukti pembayaran dari sang kasir. Kemudian ia menyerahkan barang-barang yang ia bawa untuk dihitung pula. "Pak, terima kasih." Bella tersenyum ramah. Pria itu mengangguk, kemudian menerima bungkusan dari kasir. "Sama-sama, senang bisa membantu kalian." "Tapi, Bapak bilang kan untuk Bintang." Bella terkekeh lalu ia mendapat protes dari Bintang berupa cubitan kecil di lengannya.      Alis tebal pria itu terangkat sebelah."Bintang?" "Ah, perkenalkan, Pak, nama saya Bella dan ini teman saya Bintang." Bella buru-buru memperkenalkan Bintang pada pria itu. Bella menangkap sinyal-sinyal ketertarikan pria itu pada Bintang. "Nama saya Raka. Panggil saja saya Raka, tanpa 'Pak' di depannya." "Ya udah, Pak Raka terima kasih udah ditraktirin. Mari..." Bintang buru-buru meninggalkan tempat itu. Bella menatap Bintang dengan bingung, kemudian ia tersenyum penuh arti melihat tingkah sahabatnya itu. "Maafkan Bintang, dia...pemalu,"jelas Bella pada Raka. Raka mengangguk."Ya ...aku ngerti. Bintang tinggal dimana?" "Kami tinggal bersama...di kost Princess." "Kenapa nggak tinggal di apartmen? Adrian nggak beri cukup uang?" Bella terkejut mendengar nama Adrian, Sugar Daddy-nya. Ternyata Raka tahu perihal dirinya."Ah, iya...aku cuma nggak mau ninggalin Bintang. Dia juga nggak mau kuajak tinggal di apartmen." Raka mengangguk-angguk mengerti."Ya sudah, salam untuk Bintang ya." Pria itu pun segera berlalu. Bella memekik di dalam hati, sepertinya ini menjadi berita bagus untuk Bintang. Sepertinya Raka benar-benar tertarik dengan Bintang. Ini bisa membantu Bintang keluar dari masalahnya. "Bin!" Bella mengejar Bintang yang berjalan pelan di gang kostan mereka. Bintang menoleh, kemudian ia bernapas lega. "Ah, untunglah kamu nggak sama Om-Om itu." Bella tertawa."Dia memang berusia sekitar lima puluhan tahun, tapi...dia terlihat masih muda, Bin,dan...dia tertarik sama kamu." Bintang menggelengkan kepalanya berkali-kali."Nggak...nggak, serem. Pokoknya jangan bahas dia lagi. Aku nggak mau. Dia pasti ada maunya...belum apa-apa sudah main bayar-bayar aja." "Eh tapi, Bin."Baru saja Bella ingin menjelaskan, Bintang sudah langsung berlari masuk ke dalam gedung kost-kostan mereka. "Nggak mau!"teriak Bintang. Bella terkekeh, mungkin belum saatnya, begitu pikir wanita itu.    **    Pagi ini, Bintang berjalan tergesa-gesa menuju kampusnya. Pihak kampus menelpon dan memintanya untuk segera datang padahal ini masih libur semester. Tapi, ia tahu kampus masih tetap buka karena memang sedang penerimaan mahasiswa baru. Hari ini terpaksa ia harus izin dari kerjanya dengan resiko gajinya dipotong. Tapi, hal itu bukan masalah, yang penting urusan kuliahnya lancar. Ia sangat ingin menjadi sarjana, Karen kelak ia tidak mau hanya sekedar menjadi penjaga coffe shop. Ia ingin sukses dan membahagiakan dirinya sendiri, tentu saja, karena tidak ada yang peduli lagi padanya.  Bintang masuk ke ruang administrasi. Dengan langkah gemetaran, Bintang mengetuk pintu sebuah ruangan kecil. Ia dipersilahkan masuk, duduk di hadapan pria tua. Pria itu menurunkan kacamatanya, menatap gadis di hadapannya."Oh...kamu...baiklah." "Iya, Pak. Saya Bintang. Saya disuruh datang menemui Bapak." "Baik, kita langsung ke poinnya saja ya?" "Iya, Pak." "Bintang, ini adalah tahun terakhir untuk mahasiswa yang mendapatkan beasiswa. Tapi, kami lihat mata kuliah kamu masih banyak yang belum diselesaikan. Bagaimana cara kamu mempertanggung jawabkan ini semua?" Bintang tertunduk."Maafkan saya, Pak. Saya kuliah sambil bekerja." "Bukannya ada uang beasiswa yang diserahkan di awal tahun?" "Iya, Pak...ada. Tapi, seperti yang Bapak ketahui, jumlahnya tidak sesuai dengan jumlah yang dijanjikan." "Ya, dipotong sebagai uang administrasi." Bintang tersenyum kecut, bukankah penerima beasiswa adalah orang-orang tidak mampu, lalu kenapa jumlahnya masih dipangkas dan digunakan untuk kepentingan oknum. Tapi, jika tidak dipotong, uang itu tidak akan diberikan sama sekali. Tentu semuanya sudah pasrah, lebih baik seperti itu daripada tidak sama sekali. Bukankah mereka tidak punya kuasa apa-apa. Sebab, jaman sekarang uang dan jabatanlah yang bisa membeli kebenaran. "Mata kuliah kamu tidak akan selesai, dan memang tidak selesai karena ini sudah hampir memasuki tahun empat kamu di sini. Harusnya kamu sudah tinggal skripsi saja. Kamu kena skors, Bintang, indeks prestasi kumulatif kamu rendah, di bawah angka tiga. Tingkat kehadiran kamu di bawah tujuh puluh lima persen, rasanya sudah tidak ada alasan lagi untuk melanjutkan beasiswa ini. Dengan berat hati, kamu mencabut beasiswa kamu." Lambung Bintang langsung terasa perih mendengar ucapan salah satu Dosen senior itu, apa lagi tadi ia tidak sempat sarapan. "Pak, ini kan sudah tahun terakhir, tolong beri saya kesempatan, Pak. Kalau memang saya nggak selesai nanti, tidak apa-apa saya bayar sendiri uang kuliah saya." "Maaf, Bintang, ini sudah menjadi keputusan pihak kampus. Keputusan ini sudah dirapatkan oleh pihak-pihak terkait. Kami sepakat, beasiswa atas nama Bintang Kejora, diberhentikan." Usai pembicaraan panjang dan negosiasi yang alot, akhirnya Bintang menyerah. Usahanya merayu Dosen senior itu sia-sia. Pilihan terakhirnya adalah bekerja lebih keras lagi untuk mendapatkan uang yang banyak. Tapi, bagaimana caranya mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar sementara saat ini ia hanyalah tamatan SMA. Ia pun berjalan keluar dari gedung. Di depan tampak ramai orang berlalu lalang, wajah-wajah baru dan segar itu akan memadati kampus ini di awal semester ganjil. Langkah Bintang melambat saat tepat di hadapannya ada pria yang pernah ia temui sebelumnya. Ia baru saja akan kabur, tapi pria itu sudah menangkapnya dengan tatapan tajam. Mau tak mau Bintang tersenyum."Pak..."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD