Bab 3

1012 Words
"Hai, kamu di sini?" "Iya, Pak. Bapak di sini juga? Ngapain?"tanya Bintang basa-basi. "Nganterin anak saya, daftar ulang ...mau kuliah di sini." Bintang mengangguk-angguk. Wajar saja jika pria itu memiliki anak yang sudah mau masuk kuliah, sesuai dengan penjelasan Bella semalam, Raka berusia sekitaran lima puluh tahun. "Itu anak saya, ,"tunjuk Raka pada seorang gadis yang tengah melihat papan pengumuman bersama kerumunan di sana. Wanita itu mengangguk-angguk saja seraya melemparkan senyuman tipis. Ia lebih memikirkan dirinya yang baru saja mengalami musibah ketimbang mendengarkan ucapan Raka. "Kamu kuliah juga di sini?" "Iya, Pak." "Nggak kerja?" "Nggak, lagi izin...soalnya ada urusan sama Dosen,"jawab Bintang seperlunya. "Saya bisa bantu masalah kamu,"ucap Raka tiba-tiba. Bintang menoleh dengan kaget."Ma...masalah apa, Pak? Saya...nggak ada masalah kok." "Masalah ...beasiswa yang baru saja dicabut." Bagaimana Raka bisa tahu soal beasiswanya diberhentikan, bukankah itu adalah informasi yang rahasia. Mungkinkah Raka merupakan salah satu petinggi di kampus ini. "Saya bisa bayar semuanya, sampai biaya hidup kamu juga. Bahkan...kamu bisa hidup enak kalau bersama saya,"kata Raka pelan. "Maksud Bapak apa ya?" Perasaan Bintang mulai tak enak. "Saya tertarik sama kamu, kalau kamu mau menemani saya kapan pun saya mau, hidup kamu terjamin." "Pak, maaf...Bapak kan punya isteri dan juga anak gadis yang usianya tidak jauh dari saya. Apa ini tidak aneh. Saya nggak bisa, Pak." "Saya sudah pisah ranjang dengan isteri selama dua tahun, setelah itu kami memutuskan bercerai karena memang tidak ada lagi kecocokan,"jelas Raka.          "Saya permisi." Bintang buru-buru pergi sebelum Raka melanjutkan ucapannya. Ia pikir laki-laki itu sudah gila. Bintang berjalan cepat di trotoar menuju coffe shop. Selama di dalam angkutan umum, ia terus berdebar-debar, pikirannya mulai kacau, antara beasiswa yang dicabut, keinginannya untuk sukses serta tawaran Raka, semuanya bercampur menjadi satu. Ia ingin hidupnya berjalan lurus-lurus saja. Tapi, sayangnya nasib tidak memihak padanya. Haruskah ia menjadi simpanan Raka. Pria itu memang tidak terlihat tua, bahkan terlihat berusia  tiga puluh mendekati  empat puluhan, mungkin  karena ia orang  berada. Tapi, siapa yang bisa menjamin kalau Raka itu memang seorang duda. Mulut lelaki jaman sekarang tidak boleh langsung dipercaya. Bisa saja suatu hari, tiba-tiba ada wanita datang melabraknya dan menyebutnya sebagai pelakor. Bintang masuk ke dalam coffe shop dengan terburu-buru sampai Arman dan Bella kaget. Bintang langsung masuk ke ruang ganti pakaian, diikuti oleh Bella. "Kamu kenapa, Bin? Sakit?" Bintang menggeleng."Tadi aku ketemu Raka!"kata Bintang gemetaran. "Terus kenapa? Dia ngapain sampai kamu pucat begini?" Bella mengambilkan segelas air putih dan menyerahkan pada Bintang."Ini...minum dulu." "Thanks." Bintang sedikit lega setelah meneguk setengahnya."Bukan...sih bukan. Bukan itu masalah intinya." "Oke...terus?" Bella menunggu Bintang menjawab pertanyaannya dengan sabar. "Beasiswaku dicabut, Bella!" Bintang menutupi wajahnya dengan stres. Ia tak lagi bisa menggunakan otaknya untuk berpikir saat ini. "Oh...turut sedih, Bintang...sabar ya. Tenangkan dulu pikiran kamu." Bella mengusap-usap punggung Bintang. "Aku nggak tahu harus gimana, Bella, apa kucoba minta uang sama orangtuaku ya!" Bintang berusaha mencari jalan keluar, tapi ia masih ingat terakhir kali ia minta uang, ia dimarahi habis-habisan, sudah tahu miskin kenapa harus kuliah, lebih baik uangnya untuk makan, begitu kata mereka. "Terus...tadi kamu bilang, kamu ketemu Raka?" "Ah iya...aku nggak sengaja ketemu Raka sama anak gadisnya di kampus. Anaknya kuliah di kampus yang sama denganku, baru saja daftar. Terus...Raka sapa aku..." Bintang menggantung ucapannya. Membayangkan pria itu, ia langsung  merasa ngeri. "Oke...terus...dia ngapain kamu sampai gemetaran gitu, Bin?" "Dia nawarin sesuatu, Bella, dan aku takut..." "Nawarin apa?" Bella mengernyitkan keningnya. "Supaya aku...jadi simpanannya. Dia bakalan bantu uang kuliah serta kebutuhannya." "Apa?" Bella terkejut untuk hal ini meskipun sejak awal ia sudah tahu Raka tertarik pada sahabatnya itu. "Terus...kamu bilang apa?" "Aku nggak mau, walau pun dia bilang sudah duda, aku nggak percaya. Kalau dia sudah duda, kenapa dia menawarkan sebagai simpanan? Bukankah harusnya status kami jadi pacaran?"kata Bintang. Bella mengangguk, mengusap lengan Bintang. "Ya udah, tenangin diri dulu ya, tenang... Setelah ini baru kita pikirkan sama-sama. Kamu istirahat dulu ya." Bintang mengangguk, ia meneguk air minumnya sekali lagi, menyandarkan punggungnya ke dinding. Air matanya mengalir perlahan, mungkin satu-satunya jalan adalah dengan melepaskan impiannya menjadi seorang sarjana, melanjutkan kuliahnya kapan-kapan saja setelah uangnya terkumpul. Ia hanya ingin hidup baik-baik saja. Menjadi simpanan atau sugar Baby sepertinya akan menimbulkan masalah baru bagi Bintang. "Bin, aku ke depan dulu ya. Kasihan Arman sendirian. Nanti kalau kamu sudah baikan saja kamu mulai kerja lagi. Oke?" "Oke. Makasih ya, Bella!" "Oke." Bella kembali ke depan karena ini sudah hampir jam makan siang. Biasanya tempat ini akan ramai. Baru saja ia mengelap kaca, pintu terbuka. Pria paruh baya itu muncul di hadapan Bella. "Selamat siang, Pak." "Selamat siang, Bella. Saya duduk saja dulu ya, pesannya nanti saja,"kata Raka. "Baik, Pak...silahkan." Bella tersenyum ramah. "Dimana Bintang?"tanya Raka. "Bintang sedang ganti baju, Pak, dia baru saja sampai." "Saya mau pesan cheese cake, tolong ...Bintang yang antar ke meja." Bella mulai terlihat ragu,menoleh ke belakang."Tapi, Pak, kemungkinan kalau menunggu Bintang, akan lama, Pak." "Nggak apa-apa. Saya mau bicara sama Bintang. Tolong ya?"kata Raka terlihat serius. "Baik, Pak." Bella pun tersenyum ramah sambil melihat Raka yang memilih tempat duduk di dekat kaca. Sekitar lima belas menit, Bintang sudah rapi dengan seragam khas coffe shop itu. Wajahnya pun sudah cantik dipoles make up tipis. Ia menghampiri Bella yang tengah menyiapkan cheese cake untuk Raka. "Bin, ada Raka,"bisik Bella. "Hah? Mana?" Bintang langsung bersembunyi di balik etalase. "Tuh di sudut, dia nyariin kamu dan...dia minta kamu yang antar ini. Kopi pesanannya udah diantar sama Arman." Bella menyerahkan nampannya. "Kenapa harus aku?" Bintang ingin menangis, apakah pria itu tidak berniat mencari wanita lain sajakah untuk diajak kencan. Kenapa harus dirinya. "Bin, tempat ini kan ramai, kamu jangan khawatir. Dia nggak mungkin berbuat macam-macam. Kelihatannya juga dia orang yang berpendidikan kok, pasti tahu etikanya." Bintang mengangguk, ia melepaskan celemeknya, menarik napas panjang kemudian mengangkat nampan dan membawa ke meja Raka. "Selamat siang, Pak. Ini pesanannya." Raka mendongak, tersenyum melihat wanita yang ia tunggu-tunggu akhirnya datang juga."Ah, kamu...silahkan duduk." Bintang duduk pelan, kemudian menatap Raka dengan takut sekaligus bingung, apa yang diinginkan pria ini."Iya, Pak." "Kenapa kamu menghindari saya?" "Maaf, Pak, saya tidak menghindar...hanya saja saya tidak bisa menerima penawaran Bapak. Biarlah saya cuti dulu sementara dari kuliah,"jawab Bintang sesopan mungkin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD