Lentera

2020 Words
"Argh!" teriak Gama tak terima. "Mbak Salma!" teriaknya lagi tapi kakak perempuannya itu sama sekali tak menoleh kebelakang. Rasa kesal, amarah dan takut bercampur jadi satu di dalam hati Gama. Ia mulai berpikir, bahwa selama ini memang tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Mela. Wanita itu yang sekarang masih menjadi istrinya ternyata punya peran penting di dalam hidup kedua kakak kandungnya itu. Pantas saja, kedua kakaknya mati-matian membela Mela dan lebih memilih Mela dibandingkan dengan Gama. Gama mulai merasa terancam jika memang semua yang diucapkan Salma itu benar adanya. Gelisah terlalu dalam membuat kepalanya sangat sakit. Ia tak ingin jatuh miskin, tak ingin jadi gembel, ia mulai berpikir bagaimana caranya untuk bisa mengambil semua harta yang dimiliki oleh Mela. Tapi sayang, harta itu semuanya sudah atas nama anak-anak. Gama merasa sudah telat melangkah, rupanya Mela dan Salma cukup cerdas untuk hal menyelamatkan aset berharga itu. Kepala Gama terasa pusing dan sakit, benturan di kepalanya kemarin akibat serangan Manda mulai terasa berdenyut kencang. Tak kuat rasanya terus memikirkan hal yang sebenarnya itu memang tak harus dipikirkan olehnya, tapi karena tak ingin semua yang diucapkan oleh Salma terwujud maka ia memikirkan cara untuk meraup semua harta. "Ya Allah … ini gak bisa terjadi! Aku tidak ingin jatuh miskin! Aku harus memikirkan cara untuk mengambil semuanya tapi bagaimana caranya, ya," gumam Gama sambil merebahkan tubuhnya dan menatap langit-langit kamar. "Rasanya buntu sekali tak bisa berpikir apa-apa. Jika aku miskin, apa benar Mawar akan meninggalkan aku seperti apa yang Mbak Salma ucapkan?" "Tidak! Tidak mungkin! Itu tidak mungkin terjadi! Aku yakin, Mawar akan tetap bersamaku. Dia tulus mencintaiku bukan karena hartaku!" "Sial! Bodohnya aku tak tahu bahwa Mela memiliki banyak aset! Memang, aku akui dia itu pandai sekali menabung dan menyimpan uang. Apalagi, dulu juga gajinya cukup luar biasa. Pasti ia banyak tabungan sebelum menikah dan aku gak tahu akan hal itu!" "Bodoh sekali kamu, Gama! Benar kata Mbak Salma! Aku bodoh! Tapi, bukan bodoh karena memiliki istri lagi! Aku bodoh karena tak menyadari bahwa Mela banyak tabungan!" "Ah, aku harus bagaimana sekarang? Bingung sekali rasanya! Kalau aku mempertahankan Mawar, sudah pasti akan kehilangan Mela dan anak-anak. Belum lagi harus berurusan dengan Mbak Salma, Mas Firman, Mas Fuad, Mbak Fitri dan Mama. Bisa-bisa aku semakin tak dapat apa-apa karena Mama juga sangat menyayangi dan mencintai Mela." "Mela, kenapa semua orang begitu sangat menyayangimu, sih! Heran! Keluargaku sendiri saja bukannya membela aku, eh ini malah membelamu! Serasa seperti aku yang ipar dan kamu yang kandung! Sial banget, 'kan!" "Duh … gak tahulah, pusing banget!" *** Salma keluar dari ruangan Gama dengan penuh kekesalan, tak habis pikir dengan adik bungsunya itu, kok bisa punya pikiran dangkal dan bodoh seperti itu. Wajah tampan ternyata tidak menjamin bahwa orang itu pandai, contohnya ya Gama, wajah memang tampan tapi pikiran ternyata payah. Bisa-bisanya dibodohi oleh seorang wanita durjana. Salma merasa sedikit heran juga sebenarnya, kok bisa adik bungsunya itu masuk ke dalam perangai wanita durjana. Salma belum ada niat untuk mencari tahu lebih dalam lagi, sebab pikirannya hanya untuk memberikan Gama pelajaran dan melihat kondisi Manda. Manda? Ah apa kabar gadis itu, bagaimana keadaannya sekarang. Mendengar gadis itu sakit saja membuat luka di dalam hati, apalagi ada kabar ia mengalami depresi hebat. Memang, masih dalam tahapan yang wajar dan ringan tapi tetap saja hati Salma tak tenang. Ia melangkah dengan sangat berat, sebenarnya ia kasihan juga melihat keadaan adiknya seperti itu. Tapi, ia tak mungkin menunjukkan rasa kasihan di depan Gama karena pasti akan dimanfaatkan oleh adik bungsunya itu. Salma paham betul bagaimana sikap Gama, jika seseorang menunjukkan belas kasihan padanya maka ia akan semakin menjadi dan Salma tak ingin itu terjadi. Ruangan Gama dan Manda berjarak cukup jauh, masih melangkah dengan hati yang tak tenang, tiba-tiba ia bertabrakan dengan seorang wanita. Brukkk. "Maaf," ucap wanita itu. "Ah iya, gak pa-pa. Aku yang harusnya minta maaf. Aku sedang melamun." "Gak pa-pa, Mbak. Aku juga buru-buru jadi gak lihat-lihat orang." "Sekali lagi maaf ya." "Iya, Mbak. Mari, aku duluan, Mbak." Salma mengangguk dan tersenyum hangat lalu memandang punggung wanita itu yang sudah menjauh. Ia teringat pada suaminya, setelah sekian lama baru mengingat keberadaan suaminya yang entah ada dimana. "Astaghfirullah, Mas Firman! Dimana ya, dia?" tanyanya bingung. "Aduh! Bodoh banget, Salma! Kok bisa-bisanya lupa sama suami sendiri! Ini semua gara-gara, Gama!" "Bahaya ini kalau Mas Firman sudah lebih dulu ke ruangan Manda dan takut keadaan gadis itu. Bisa mengomel panjang kali lebar pastinya." Salma mempercepat langkah kakinya menuju ruangan Manda, perasaannya mengatakan bahwa suaminya itu berada disana. Ia belum menceritakan semuanya apa yang terjadi, khawatir ada hal buruk yang terjadi nantinya. Apalagi, Firman memang tidak tahu-menahu tentang kejadian ini, lelaki itu hanya tahu kalau Manda sakit. Matanya terbelalak saat melihat Firman sudah berada di depan ruangan itu bersama Mela. Gelisah melanda hatinya, bingung harus mengatakan apa setelah ini. Firman pasti menuntutnya untuk bicara jujur dan bertanya kenapa tak memberitahu semuanya sejak awal. Salma kembali melangkah dengan langkah yang besar dan berhenti tepat di hadapan Mela dan Firman. "Mas!" pekiknya dengan suara yang tertahan. "Keterlaluan kamu, Salma!" jawabnya tenang namun penuh penekanan. "Ma-maaf, Mas." "Terlambat! Aku sudah mengetahui semuanya! Bahkan, melihat sendiri apa yang terjadi! Kamu, berhasil membuatku merasa sangat bersalah pada gadis manis itu! Karena aku, ia kembali menangis histeris dan ketakutan hebat!" "A-apa?" "Ya! Manda benar-benar menangis histeris ketika melihat aku! Itu semua karena aku laki-laki! Dan kamu tahu? Lagi-lagi, aku merasa bersalah karena mentalnya kembali terguncang, Manda harus di suntik obat penenang." "Astaghfirullah …," ucap Salma lirih. Lututnya terasa sangat lemas, kepalanya mendadak sakit dan pusing, ia mulai limbung dan hampir jatuh ke belakang. "Mbak!" pekik Mela sigap langsung menahan tubuh Salma agar tidak tersungkur. Mela membantu Salma untuk duduk didekat suaminya itu. "Terkejut bukan, kamu? Aku lebih terkejut! Tak mampu aku menahan tangis melihat tubuh Manda bergetar hebat! Gadis itu benar-benar ketakutan, Salma! Dia memiliki trauma yang sangat mendalam terhadap lelaki!" "Mas," lirih Salma tak kuasa menahan lagi tangisnya. Ia menatap adik iparnya yang sudah dianggap adik sendiri itu, sorot mata Mela menunjukkan rasa lelah tapi tetap tenang agar tak membuat orang lain merasa kasihan padanya. Salma memeluk erat tubuh Mela yang lemah itu, mereka saling berpelukan dan menguatkan satu sama lainnya. Mela merasa sangat beruntung karena sangat disayang oleh semua keluarga besar suaminya. Mungkin dari sekian banyak wanita diluar sana, ia adalah salah satu wanita yang beruntung mempunyai mertua dan ipar yang sangat baik. Tak menganggapnya menantu dan ipar tapi menganggapnya anak dan adik. Tapi, ternyata ia mendapatkan perlakuan buruk dari suaminya itu. Memang ya, tidak ada pernikahan yang mulus saja, pasti akan ada aja masalah di dalamnya. Ada wanita yang mendapatkan suami dan keluarga yang baik tapi belum mempunyai keturunan dan ekonomi buruk. Ada wanita yang mendapatkan suami baik tapi keluarga suami kurang baik. Ada wanita yang mendapatkan cinta dan kasih sayang yang tulus dari keluarga besar suami tapi justru suaminya sendiri yang berlaku jahat. Dan, jalan cerita rumah tangga Gama juga Mela berada di salah satu yang tersebut, tadi. "Kamu jangan khawatir! Manda, akan baik-baik saja! Kami akan selalu ada buat kamu!" "Jujur, aku merasa tak kuat, Mbak! Tapi, aku harus kuat karena siapa lagi yang bisa menguatkan aku kalau bukan diri sendiri, ya 'kan? Terlebih lagi, Manda saat ini benar-benar butuh perhatian yang sangat ekstra dariku." "Mas Firman tadi sudah melihat semuanya, Manda begitu sangat histeris ketika melihatnya datang. Dan, hanya aku yang bisa menenangkannya selain obat penenang itu, Mbak. Sakit hatiku setiap kali suster menyuntikkan obat penenang pada Manda." "Aku berpikir, kenapa justru anak aku yang mengalami semua ini? Kenapa gak aku saja, Mbak?" "Mela, jangan bicara seperti itu!" tegur Firman. "Jika ujian ini datang padamu, itu artinya Gusti Allah ingin kamu naik tingkat! Gusti Allah yakin kalau kamu bisa menghadapi semua ini! Gusti Allah tahu kalau kamu adalah wanita kuat! Jadi, jangan bicara seakan-akan kamu adalah seorang wanita yang tak beruntung karena mendapatkan masalah seperti ini!" "Harusnya, kamu itu bersyukur, Mela! Percaya, Manda pasti bisa dan akan sembuh juga karena dukungan darimu. Tapi coba, jika posisinya ditukar seperti apa yang kamu katakan! Kamu yang ada diposisi Manda, bagaimana nanti nasib kedua gadis manis itu? Mereka akan kehilangan arah karena Mami yang selalu memberi dukungan sedang hancur." "Ma-maaf, Mas," lirihnya. "Tak apa! Aku paham, kamu saat ini sedang hancur dan hilang arah! Tapi, jangan pernah punya pikiran untuk menukar posisi! Mereka belum tentu sekuat kamu jika posisinya ditukar! Paham!" "Iya, Mas." "Mela, seorang ibu adalah lentera. Kamu itu lentera hati mereka yang menerangi setiap langkah kaki mereka. Jika, lentera tersebut padam, maka mereka akan diam ditempat karena tak ada lagi penerang untuk mereka melangkahkan kakinya. Kondisi rumah dan mental mereka pun ditentukan oleh seberapa kuatnya kamu! Jika kamu kuat, maka mereka pasti akan kuat!" ucap Salma. "Kamu itu segalanya, karena memang seorang ibu adalah segalanya. Seorang ibu bukan hanya lentera, tapi juga nyawanya sebuah rumah. Kamu adalah tempat mereka untuk pulang. Kamu adalah nyawa mereka. Jika kamu sedih, sakit dan terluka, mereka pasti akan bisa merasakan." "Mbak, benar! Sebelum kejadian ini, aku seringkali melamun, sakit, sedih dan kecewa. Sepertinya, mereka merasakan apa yang aku rasakan juga. Karena, sikap mereka mulai berubah setelah sikapku juga berubah pada Mas Gama. Aku mulai merasa masa bodo dengan rasa sakit dan mereka mulai berubah menjadi lebih pendiam. Mungkin, tak ingin memberikan aku beban pikiran." "Nah, itu sudah menjadi salah satu contoh bahwa kamu adalah nyawa dan hidup mereka! Kamu, harus kuat! Dan aku percaya kalau kamu itu kuat! Terbukti anak-anak pun hebat karena lahir dari Mami yang hebat!" "Buang semua pikiran buruk! Fokus pada kondisi Manda. Kita sama-sama berusaha untuk menyembuhkan Manda dan mengembalikkan kembali senyum indah gadis cantik kita semua," ucap Firman sungguh-sungguh. "Lalu Mas Gama bagaimana?" "Gampang! Kamu jangan memikirkan hal itu dulu! Gama akan menjadi urusanku dan Fuad!" "Mas Firman benar, Mela! Aku pun tak akan pernah tinggal diam jika Gama macam-macam! Akan kupastikan, lelaki bodoh itu pasti menyesal karena sudah banyak berulah!" "Makasih ya, Mbak, Mas. Aku gak tahu lagi kalau gak ada kalian semua bagaimana. Kemarin, Mbak Fitri dan Mas Fuad yang menguatkan dan menemani. Sekarang, kalian. Aku merasa bukan ipar bagi kalian." "Hei, kamu memang bukan ipar! Tapi, adik!" tukas Salma tersenyum hangat. Kedua wanita beda generasi dan penuh kelembutan itu kembali berpelukan. Mereka kembali menguatkan satu sama lainnya. Salma paham betul apa yang dirasakan oleh Mela, maka ia berjanji pada dirinya sendiri akan berusaha semaksimal mungkin membantu, menolong dan menguatkan Mela dalam kondisi apapun. *** Mawar berjalan terburu-buru menuju ruangan Gama sambil menggendong Raka yang sedang terlelap. Ia sebelumnya nekad datang ke rumah Gama dan Melati untuk mencari suaminya itu. Sebab, sudah hampir tiga hari tidak ada kabar. Ia cukup khawatir dengan keadaan Gama, takut kenapa-kenapa. Dan benar saja, saat ia ke rumahnya, ada salah satu tetangga yang mengatakan bahwa Gama di bawa ke salah satu rumah sakit terdekat. Tak peduli lagi dengan posisinya saat ini yang hanya simpanan. Ia cukup khawatir dengan Gama, urusan ribut dengan Mela itu akan menjadi urusan belakangan, menurutnya begitu. Sekarang yang terpenting adalah mengetahui kondisi Gama. Sesampainya di ruangan Gama yang ia ketahui saat bertanya pada bagian informasi, mendadak terdiam. Mawar merasa bingung, harus melangkah maju atau mundur tapi jika mundur pun tak mungkin, sebab sudah sampai di depan ruangan, Gama. Mengedarkan pandangannya ke sekeliling, untuk memastikan apakah Mela ada disekitar ruangan atau tidak tapi ternyata tak ada. Hatinya kembali diselimuti kebingungan, kok bisa Melati tak ada disekitar ruangan, padahal suaminya oh salah suami mereka saat ini sedang tak berdaya. Tangannya terulur untuk membuka handle pintu, perlahan namun pasti pintu mulai terbuka dan terlihat Gama yang sedang memejamkan mata. Mawar ngelongok ke dalam ruangan, memastikan ada orang atau tidak tapi ternyata tidak ada. Ia menjadi berani untuk masuk, pintu terbuka lebar dan Mawar bergegas masuk. Anaknya mulai mengulet, Mawar khawatir jika Raka akan menangis. Dan benar saja, hitungan detik anak lelakinya itu menangis histeris karena merasa tidurnya terganggu. Tangisan Raka membuat Gama yang baru saja memejamkan mata itu langsung membuka mata secara sempurna. Lelaki itu terkejut karena kedatangan istri kedua sekaligus anak lelakinya. Bukan tak ingin mereka datang, tapi Gama sangat merasa khawatir jika kedatangan mereka berdua diketahui oleh Mbak Salma dan Mas Firman, maka keadaan akan semakin sangat kacau pastinya. "Mawar!" "Mas Gama!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD