Bunuh Diri

2057 Words
Ibu dan Lea berlari menaiki tangga dengan terburu-buru bahkan keduanya hampir tersungkur bersamaan karena berlari sambil pegangan tangan. Ibu merasa sangat amat khawatir mendengar teriakan dari mereka semua. Sesampainya di depan kamar, nenek dan cucu itu terbelalak melihat Papinya tersungkur dengan posisi Manda yang berada di perutnya, siap untuk meninju kembali. "Amanda!" teriak Nenek membuat tangan gadis itu terhenti. Ia menoleh ke belakang, melihat Nenek dan adiknya yang sudah menatapnya dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. "Diam disitu, Nek! Jangan maju!" perintahnya. "Baik! Nenek akan tetap diam disini, tapi tolong jangan bersikap seperti ini, Kak. Nenek mohon!" "Gak bisa, Nek! Kakak marah sama Papi! Kakak kecewa sama Papi! Kakak benci karena Papi menyakiti Mami! Kakak benci!" tegas Manda dengan suara mengerikan. Gama mencoba melepaskan diri dari anak sulungnya itu. Tapi, rasanya sulit sekali sebab pergerakan lelaki benar-benar dikunci oleh Manda, gadis itu pandai sekali membuat lawan tidak berdaya. Tak peduli siapa yang menjadi lawannya saat ini, hatinya tidak akan pernah terima jika malaikat tak bersayapnya itu di sakiti. Gama tak berdaya, kepalanya sakit dan berdenyut kencang, ia ingin meloloskan diri namun sulit sekali bergerak. "Kak! Minggir! Kepala Papi sakit!" "Tidak akan! Kakak tidak akan melepaskan, Papi! Papi itu jahat! Tukang selingkuh!" sentaknya membuat hati Mela dan Gama tersentak. "Amanda! Jangan bicara omong kosong! Siapa yang mengajarkan kamu bicara seperti itu pada Papi! Hah? Pasti Mami, 'kan?" "Cukup, Pi! Cukup! Jangan menyalahkan Mami atas semua kesalahan yang Papi buat!" bentaknya. "Manda sudah mengetahui semuanya! Manda bahkan melihat Papi dengan kepala mata sendiri sedang jalan dengan seorang wanita yang pakaiannya kekurangan bahan dan menggendong anak bayi!" "A-apa? Kamu salah paham, Manda!" "Salah paham? Padahal, Manda jelas mendengar Papi memanggil wanita itu dengan panggilan Bunda!" teriaknya. "Kak, lepaskan!" perintah Nenek. Manda hanya memandang sang Nenek dengan sorot mata marah, emosi dan kesal. Tapi, ia tak bisa marah pada wanita paruh baya itu karena Nenek tak bersalah. Tatapannya beralih pada Maminya, tatapannya berubah menjadi sendu, sakit dan terluka. Tatapan mereka berdua, Manda seakan merasakan apa yang dirasakan juga oleh Maminya. Rasa sakit, kecewa dan sedih bercampur jadi satu dan tertanam di dalam hatinya. Mela menggeleng lemah memberi isyarat pada anak gadisnya untuk menghentikan aksi bar-bar itu. Namun, Manda seakan tak peduli dengan permintaan itu. Bukan, bukan karena ia tak mengerti tapi lebih tepatnya ia belum puas memberikan pelajaran pada sang Papi. Sekarang, tatapan itu beralih pada Papinya yang meringis kesakitan, tatapan anak dan ayah itu bertemu. Manda memandang nyalang dengan penuh emosi. Nafasnya naik turun menandakan bahwa gadis itu benar-benar sangat emosi sekali. "Argh!" teriak Manda tak tertahankan. Bugh. Bugh. Dua tonjokan mendarat mulus di pipi Papi Gama. Bulir kristal jatuh membasahi pipinya, ini adalah pertama kalinya ia merasa marah, kesal, emosi dan kecewa pada sang Papi. Padahal, biasanya ia selalu peduli, menyayangi bahkan mencintai Papinya itu. Tapi, kali ini hatinya benar-benar terluka, ia patah hati dengan sikap Papinya. "Kakak!" teriak Mela, Nenek dan Lea. "Argh! Papi jahat!" teriak Manda menjambak rambut Papi Gama lalu menghantamnya ke lantai dan lelaki itu langsung tidak sadarkan diri. "Kakak!" teriak mereka lagi bersamaan. Lea sudah menangis sesenggukan melihat Kakak dan Papinya bertengkar. Tapi, ia lebih menangis histeris saat melihat keadaan Maminya yang kacau. Nenek bergegas menarik tubuh mungil Manda, tubuh mungil itu berontak sekuat tenaga. Nenek dan Lea berusaha untuk menjauhkan Manda. Mereka berdua membawa Manda yang sudah berteriak dan menangis histeris sedangkan Mela bingung harus melakukan apa. Nenek mengamankan lebih dulu Manda agar tidak kembali emosi, lalu meminta pada bungsu untuk menjaga kakaknya sebentar. Keduanya saling berpelukan erat sekali, Lea ikut menangis histeris di pelukan sang kakak. Keduanya merasakan sakit yang dirasakan oleh Mela. Nenek kembali masuk ke dalam kamar utama, ia yakin anaknya itu akan panik dan tidak tahu harus berbuat apa. "Mela! Mela! Tenangkan dirimu, Nak!" ucap Nenek mengguncang tubuh rapuh itu. "Bu … Ma-manda membunuh Mas Gama," ucapnya dengan suara bergetar. "Tidak, Nak! Tidak! Gama masih hidup, ia hanya pingsan saja!" jawab Ibu menenangkan. "Ayo, bantu Ibu! Kita bawa tubuh Gama ke atas ranjang!" "Ta-tapi, Bu--" "Ayo, Mela! Jangan terlalu banyak berpikir, lalu kamu telepon ambulans untuk datang." "Ti-tidak, Bu! Kita langsung saja bawa ke rumah sakit!" "Tidak, Mela! Kamu tidak mungkin menyetir dalam keadaan panik dan kacau seperti ini!" tolak Ibu. "Ayo, Nak! Bantu, Ibu!" Mela mengangguk dan membantu Ibu membawa tubuh Gama ke atas ranjang, setelah itu ia langsung menelepon ambulans dan Mbak Fitri-kakak iparnya- yang rumahnya tak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Ia tak mungkin menghadapi semua ini sendirian. "Assalammualaikum, Mbak." "Waalaikumsalam, Mel. Ada apa, Say?" "Mbak, boleh minta tolong ke rumah?" "Hei, ada apa? Kenapa suaramu seperti panik." "Mbak, kesini dulu ya. Tolong, aku butuh bantuan Mbak Fitri dan Mas Fuad, sekarang." "Baik. Tunggu ya, kami kesana sekarang." "Makasih, Mbak. Hati-hati dijalan, wassalamualaikum." "Iya, Mel. Waalaikumsalam." Telepon di tutup, Mela mondar-mandir dan bingung harus melakukan apa. Ibu memintanya untuk duduk namun ia sama sekali tak bisa duduk dengan tenang. Ia merasa khawatir dengan keadaan Gama dan Manda. Manda? Ia sama sekali tak ingat pada gadis itu, tapi saat ini ia harus lebih dulu mengurus Gama, setelah lelaki itu dibawa ke rumah sakit dan ditunggu oleh kedua kakaknya baru ia akan melihat keadaan anak sulungnya. Ambulans dan Mbak Fitri juga Mas Fuad datang bersamaan, mereka terkejut melihat ada ambulans yang datang dan bergegas masuk ke dalam rumah untuk mencari Mela dan anak-anak. "Mela, ada apa, ini? Kenapa ada ambulans?" tanya Fitri bingung. "Mbak, nanti aku ceritakan! Sekarang, yang penting Mas Gama ditangani dulu ke rumah sakit." "Rumah sakit? Gama sakit apa?" "Berantem sama Manda!" "Apa? Bagaimana bisa? Maksud aku, bagaimana bisa anak kecil seperti Manda membuat Gama tak berdaya?" tanya Fuad shock. "Nanti aku ceritakan semuanya!" Petugas ambulans masuk ke dalam rumah dan langsung membawa ke rumah sakit sedangkan Fitri dan Fuad berniat nyusul setelah mendengar cerita dari Mela. Karena harus ada yang menunggu Gama untuk segala proses di rumah sakit, Ibu memilih untuk pergi ikut di dalam ambulans. Setelah mobil ambulans berlalu pergi, mereka berdua kembali masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang keluarga. Mela membanting tubuhnya diatas sofa dan menyandarkan punggungnya. Lalu, memejamkan mata dan tanpa terasa ia menangis, Fitri menyadari ada yang tidak beres disini. Ia mendekati Mela dan langsung memeluk tubuh rapuh itu. Mela menangis histeris di dalam dekapan Fitri, sedangkan Fuad menunggu sesaat sampai Mela tenang dan bisa menceritakan semuanya. "Jadi, apa yang terjadi?" tanya Fuad ketika melihat Mela sudah lebih tenang. "Mas Gama selingkuh!" "A-apa?" ucap pasangan suami istri itu terkejut. Mereka terkejut dengan apa yang diucapkan oleh Mela. Gama? Selingkuh? Kenapa rasanya tidak mungkin? Sebab, mereka berdua paham betul jika lelaki itu sangat menyayangi dan mencintai anak juga istrinya. "Bagaimana mungkin bisa, Mela? Apa kamu sudah yakin bahwa dia selingkuh?" "Iya, Mas! Sudah banyak buktinya, bahkan Manda melihatnya dengan kepala mata sendiri. Ia melihat Papinya jalan bersama seorang wanita di mall dan menggendong anak bayi." "Astaghfirullah … Gama!" geram Fuad penuh emosi, terdengar dari suara giginya yang gemeretuk. "Bahkan, mereka sudah menikah siri, Mas, Mbak!" Brakkk. "Kurang ajar, Gama!" teriak Fuad lepas kendali menggebrak meja dan itu membuat Fitri serta Mela terkejut. Mereka baru kali ini melihat Fuad dengan penuh emosi seperti itu. "Mas Gama memilih poligami dengan alasan seorang lelaki boleh mempunyai istri lebih dari satu!" "b*****h! Dia menikah lagi dengan sembunyi dibalik kata poligami! Bodoh! t***l!" maki Fuad. "Mas Gama ingin memiliki anak laki-laki dan wanita itu mewujudkan dengan hamil dan melahirkan anak laki-laki." "Astaghfirullah … astaghfirullah … astaghfirullah … Gama …. Mbak gak nyangka, bagaimana bisa pikirannya itu sungguh dangkal! Menginginkan anak lelaki sebagai alibi untuk selingkuh! Benar-benar keterlaluan, padahal banyak cara untuk mendapatkan anak laki-laki daripada selingkuh! Lagi pula, anak laki-laki dan perempuan itu sama saja," tukas Fitri. "Mas, gimana ini? Adik kamu gak punya otak!" sindir Fitri pada suaminya. "Dia memang lelaki bodoh dan t***l! Bisa-bisanya mengkhianati seorang istri yang selama ini sudah berjuang dengannya. Ini gak bisa didiamkan, Mas akan membicarakan semuanya pada Mbak Salma!" "Maaf, Mas. Karena keributan ini justru membuat kalian jadi tahu bobroknya rumah tangga kami," ucap Mela lirih. "Masalah ini bukan lagi hanya kalian yang menyelesaikan! Tapi, harus keluarga besar Mela!" "Tapi, Mas--" "Sudah! Kamu tenang saja! Kami semua ada di pihak kamu!" "Makasih Mas, Mbak." Pasangan suami isteri itu mengangguk dan tersenyum hangat. "Lalu, apa hubungannya dengan Manda, Mela?" "Manda, mendengar semua pertengkaran kami. Ia sudah curiga dari awal, 'kan? Dan kecurigaannya terbukti saat ini juga. Gadis itu sangat amat marah, Mbak, Mas." "Ma-manda, menendang Mas Gama." "Kamu serius?" tanya Fitri takjub. "Iya, Mbak. Sungguh, itu memang yang terjadi. Tubuh Mas Gama yang besar itu diterjang oleh Manda. Gadis itu menghantam Papinya berkali-kali sampai puas. Pergerakan Papinya dikunci, mungkin Mas Gama lupa bahwa anaknya itu pandai bela diri. Dan, sepertinya Mas Gama adalah lawan pertama yang tidak sebanding dengan tubuh kecilnya itu." "Pokoknya, tadi benar-benar kacau, Mbak. Aku sendiri gak tahu harus berbuat apa, tadi." "Bagus! Manda anak yang hebat! Dia benar-benar membela Maminya. Mas juga pasti akan melakukan hal yang sama jika Mama di sakiti, Mel," jawab Mas Fuad bangga dengan sikap Manda. "Tapi, menurut Mas dan Mbak, Manda keterlaluan gak sih? Dia melawan Papinya sendiri loh? Bahkan sampai Mas Gama tidak berdaya." "Tidak! Itu adalah hal yang wajar. Itu sikap reflek dari dalam dirinya. Hatinya tidak terima dengan sikap sang Papi yang menurutnya sangat keterlaluan. Apalagi Manda sampai melihat Papinya sendiri berselingkuh. Itu adalah bentuk protes dan kekecewaannya." Mereka bertiga masih terlibat obrolan panjang. Mela menceritakan dari awal memang kedua anak itu sudah mulai berubah sikapnya, kedua gadis kecil itu mendadak lebih banyak diam dan lebih memilih untuk tidak punya urusan dengan Papinya. Keduanya merasa sangat kecewa karena selama ini, tak pernah sedikitpun Papinya bersikap kasar, tapi belakangan ini justru sikapnya sangat kasar. Suka membentak, marah dan berteriak. Perlakukan Gama pada kedua gadisnya itu membuat mereka berdua kecewa mendalam. Ketika Mela dan kedua saudara Gama masih terlibat obrolan. Di dalam kamar, kakak dan adik itu masih menangis sambil berpelukan. Kakaknya menumpahkan segala rasa sakit, kecewa dan tangisnya sambil memeluk Lea. Lea yang saat ini masih belum terlalu paham dengan apa yang terjadi justru ikut menangis melihat kakaknya seperti itu. "Papi jahat, Dik! Papi sudah gak sayang sama kita! Papi jahat!" ucap Manda yang secara tidak langsung dan tanpa sadar mendoktrin adiknya itu. "Papi sudah membuat Mami menangis, Dik! Papi sudah membuat hati Mami sakit! Papi bukan lagi seorang Papi yang baik, hu hu hu." "Kakak benci Papi, Dik! Benci!" sentaknya melepaskan pelukan adiknya itu. "Kenapa Papi jahat, Kak? Apa salah Mami? Kenapa tadi Mami, menangis?" "Ya, Mami itu menangis karena Papi! Papi yang sudah membuat hati Mami sakit, kasihan Mami, Dik, hu hu hu!" "Jadi, tadi kakak pukul-pukul Papi bukan karena Kakak yang salah? Tapi, Papi yang salah? Iya?" tanyanya memberondong. "Ya! Kakak memberikan Papi sebuah pelajaran agar tidak seenaknya menyakiti hati, Mami," jawab Manda disela-sela tangisnya. "Dik, kita berjanji ya, akan selalu menjaga Mami dengan baik!" "Adik janji, Kak." Tatapan mereka bertemu, di dalam manik mata Manda menunjukkan rasa kecewa dan benci yang sangat mendalam. Mereka berdua mendengar ada suara ambulans masuk ke pekarangan rumah, setelah beberapa saat kembali pergi. Lea mendekat ke arah jendela dan melihat Papinya dibawa oleh petugas ambulans. "Papi, dibawa sama ambulans, Kak." "Biar! Kakak sudah tidak peduli! Biarkan saja, Papi jahat itu mati!" teriaknya lantang. "Kak, jangan begitu! Itu Papi kita. Kalau Papi mati, nanti kita gimana? Gak punya Papi lagi dong?" ucap Lea polos. "Lalu buat apa kita punya Papi kalau jahat, Lea? Papi itu sudah jahat sama Mami! Kakak, lebih baik tak punya Papi daripada melihat Mami nangis, sakit, kecewa dan terluka." "Kak! Jangan begitu!" teriak Lea tak terima jika Papinya mati. "Argh! Diam kamu, Lea!" balas Manda teriak lebih lantang. Pranggg. Manda mengambil vas bunga dan memecahkan tepat di depan dirinya. Pecahan vas bunga mengenai kakinya, darah segar mulai keluar dari kakinya yang terluka. "Kakak!" teriak Lea tak tertahankan. "Da-darah!" pekiknya. "Kak, darah! Kakak! Hu hu jangan mati, Kak! Lea mohon!" "Kamu pilih Lea, lebih baik Papi atau Kakak yang mati!" "Gak, Kak! Lea gak bisa pilih! Lea sayang Kakak dan Papi! Hu hu hu, jangan, Kak! Jangan!" cegah Lea merasa takut karena melihat sang kakak mengambil satu pecahan vas bunga tersebut dan mengarahkannya pada tangan tepat di nadinya. "Kakak! Jangan, Kak! Jangan!" teriak Lea sesegukan. "Kakak!" teriaknya semakin histeris saat Manda menyayat tangannya dan darah segar muncrat begitu saja. "Mami!!" teriak Lea langsung berlari keluar. "Mami! Tolong! Nenek! Tolong!" "Mami, tolong! Kakak bunuh diri!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD