4 : Hari Pertama

1220 Words
"Papa ini apa-apaan! Bukannya marah karena anak gadisnya dibawa pulang sama cowok asing, dalam keadan pingsan lagi! Tapi Papa malah minta cowok itu jadi bodyguard aku?!" Revano baru saja selangkah memasuki bangunan yang beberapa jam lalu ia tinggali. Niatnya ingin mengatakan kalau ia sudah siap bekerja sekarang, dan ingin memulainya dengan beradaptasi dengan calon Nonanya. Tapi apa yang dia dapat? Penolakan dari gadis yang rencananya akan menjadi Nonanya ini. "Hey, Revano. Masuk sini!" Putra mengabaikan wajah ditekuk putrinya, dan memilih menyapa Revano yang baru ia sadari kehadirannya. Revano mendekati Putra dan Risya. Berdiri tegap di sebelah sofa yang di mana sofa itu tengah diduduki Putra, majikan barunya. "Risya, berhubung Revano sudah datang sekarang, dan Papa juga sudah selesai memberitahu tentang tugas Revano nanti, sekarang kamu baru boleh berangkat kuliah. Ingat! Kamu berangkat dengan Revano," ucap Putra sambil tersenyum terhadap Risya. "Heh, orang baru. Kamu itu udah lancang gagalin rencana aku buat kabur. Dan sekarang kamu lebih lancang lagi mau buat aku lebih dikekang sama Papa? Kamu kira dikekang itu enak?" Risya bersungut-sungut sambil menunjuk Revano. "Papa ..." Risya menggelayut manja di lengan Putra. "Papa nggak--" "Berangkat sekarang, Risya!" Suara Putra sudah terdengar lebih tegas. "Papa, dia udah buat Risya kehilangan Bubu. Gara-gara dia bawa Risya pulang malam tadi, Risya jadi ninggalin Bubu di dalam mobil yang kapnya kebakar. Gimana kalau Bubu--" "Revano, bawa Risya berangkat sekarang. Saya bisa kena serangan jantung kalau menghadapi anak satu ini," ucap Putra sambil mengibaskan tangannya pada Revano. Revano mendekat, dan berniat ingin menggeret lengan Risya. Namun, tepisan kasar dari Risya membuatnya kembali berdiri tegak. "Aku bawa motor sendiri aja!" Risya menghentakkan kakinya kesal. "Motor kamu Papa sita." "Huaaa! Semuanya nyebeliiin ...!" Risya menghentakkan kakinya kesal dan berlari keluar dari rumahnya. "Ingat tugas kamu, Revano?" tanya Putra mengabaikan kekesalan Risya. "Mengubah sifat Nona," jawab Revano singkat. "Risya. Kamu panggil dia Risya. Bukan Non, Nona, atau apalah itu. Terlalu ribet." Putra mengibaskan tangannya. "Kamu berangkat sekarang. Satu lagi peringatan untuk kamu." Wajah Putra terlihat serius. "Jangan biarkan Risya dekat apalagi berduaan dengan laki-laki, terutama yang bernama Alex. Kamu ingat? Alex! Namanya Alex." Revano mengangguk. Dia sudah dengar, kenapa harus di ulang tiga kali coba? Revano mengundurkan diri untuk segera mengantar Risya ke kampusnya. Sesampai di halaman depan, Revano melihat Risya tengah duduk manis di dalam mobil, tepatnya di kursi depan. Kepalanya dikeluarkan dari jendela, seperti menunggu kedatangan Revano. "Cepetan sini! Jangan lelet jadi orang!" ketus Risya sambil melambaikan tangannya pada Revano. Tanpa menjawab Revano langsung berjalan menuju kursi kemudi. Setelah duduk rapi di dalamnya, bukannya menjalankan mobilnya, Revano masih saja mematung. "Kamu mau buat aku telat? Kalau aku pribadi itu udah biasa, tapi kalau ingat Papa bakal stop uang jajan aku setahun kalau sampai dapat surat panggilan dari Dekan lagi, itu udah nggak wajar, ya. Secara--" "Majikan dan bawahannya tidak pantas duduk berdampingan," ucap Revano dengan nada datar --memotong ucapan Risya. Risya melongo. Entahlah apa yang dia kejutkan ini. Yang jelas, lelaki yang mengatakan bodyguardnya ini sangat lancang. Berani menegurnya? "Aku maunya duduk di sini. Kalau kamu mau dipecat, silahkan kamu yang duduk di belakang, biar aku yang setir," ucap Risya setelah sekian lama melongo. Tanpa menjawab, Revano langsung menjalankan mobilnya. 'Ini bukan mauku. Bukan aku yang lancang dengannya, tapi dia yang menginginkannya,' batin Revano fokus dengan jalannya. "Heh. Siapa nama kamu tadi? Revano? Nama kamu lebih cocok Epan tahu nggak?" Risya tergelak dengan ucapannya sendiri. Diliriknya Revano yang diam mematung, tidak terpengaruh dengan leluconnya yang garing itu. Risya mencoba bersikap biasa, walau pun rasanya kesal juga dicuekin sama bodyguardnya ini. Dia mengeluarkan handphonenya dan mengangkat kakinya ke atas dashboard mobil. "Sebenernya jadi aku itu enak. Cuma aku nggak suka diatur," ucap Risya yang tidak diberi tanggapan oleh Revano. "Punya uang banyak, rumah besar, pacar pengertian." Mata Risya melirik Revano. Masih bergeming di tempatnya. "Apalagi punya bodyguard yang sebenernya nggak ganteng-ganteng banget sih, tapi lumayanlah. Tapi sayangnya ... pendiam." Revano menoleh sekilas. Dia sedikit tersinggung dengan kata 'pendiam'. Secara tidak langsung, Risya mengatakan dia pemalu, karena pendiam. "Ya ... bodyguard yang nggak bisa diajak ngobrol buat apa?" tanya Risya lagi. Seperti bermonolog, karena Revano merasa Risya tidak berbicara padanya. "Heh!" Risya menurunkan kakinya dari dashboard mobil dengan kesal. "Kamu punya mulut nggak bisa digunakan, ya! Bisu apa gimana? Kalau diajak ngobrol yang nyaut kek! Diem terus kek patung bergerak. Mau jadiin aku orang gila karena ngomong sendiri?!" Risya memasukkan handphonenya dalam tas kecil yang dia letakkan di atas dashboard mobilnya. "Diajak ngobrol nggak mau nyaut! Sekalinya nyaut cuma noleh sekilas! Situ beneran patung hidup yang nyasar ke sini?!" Ciit! Duuk! "Epan g****k!" Risya reflek memukul lengan Revano kala Revano mengerem mendadak yang menyebabkan keningnya terantuk dashboard lumayan kencang. Belum hilang sakit karena tadi malam, sekarang sudah bertambah lagi dengan ini. "Kalau mau berhenti ngomong kenapa? Kamu bayar kalau mau ngomong? Nggak, 'kan!" Risya bersungut-sungut dengan tangan memegangi kepalanya. "Sudah sampai." "Epan sial*n! Ngeluarin dua kata aja pakek ngerem mendadak!" Risya membawa tasnya ke punggung. "Nanti nggak usah dijemput! Aku pulang sama pacarku!" Revano tidak menjawab. Dia memilih turun saat Risya juga turun. Mengikuti langkah Risya menyusuri koridor kampus. "Ngapain ikut, sih?! Buat pusing aja, tahu nggak! Nih kepala udah puyeng!" Nada suara Risya masih sama. Ketus dengan dibumbui kekesalan. "Cuit, cuit ... Risya dapat gebetan baru, nih. Bukannya masih sama Alex, Ris?" tanya Mahasiswi yang kebetulan lewat. "Enak aja kalau ngomong! Dia ini bodyguard aku! Alex ya tetep nomor satu!" ketus Risya menatap sengit mahasiswi itu. Mahasiswi itu hanya cengengesan kemudian berlalu. "Balik sana! Ngapain ngikut ke sini!" ketus Risya sambil mengibaskan tangannya pada Revano. Revano menarik tangan Risya yang dikibaskan di depannya. Reflek saja Risya langsung memukul lengan lelaki itu. "Mau kamu apaan, sih?! Udah diajak ngomong diem terus! Tanpa aba-aba langsung narik tangan orang sembarangan!" Revano tidak menjawab. Ia terus membawa Risya dengan langkah lebarnya. Dan baru berhenti ketika mereka sampai di taman kampus. "Duduk!" titah Revano. "Kenapa jadi kamu yang galak? Di sini yang atasannya siapa, hah?" Revano memegang pundak Risya dan membawanya duduk. Dia langsung pergi dari sana tanpa sepatah kata. Risya kembali bersungut-sungut. "Nggak waras!" Revano kembali dengan tangan membawa sebotol air mineral. Dia duduk di sebelah Risya yang sedang mengangkat kakinya ke atas bangku kemudian menumpu kepalanya di lutut. Tangan Revano sengaja menyenggol kaki Risya yang di atas kursi, sehingga membuat sang empu hampir terjungkal karena tanpa aba-aba tumpuan kepalanya terjatuh. "Gilak! Beneran bisu kamu, ya! Pakek suara kek!" Revano seperti biasa. Tidak menjawab, tetapi dengan tangan sedang sibuk dengan sapu tangan yang tengah ia basahi dengan air mineral tadi. Sapu tangan itu Revano letakkan di kening Risya yang terlihat sedikit membengkak. Risya meringis pelan dengan tangan memegang tangan Revano. "Dingin tahu nggak sapu tangannya. Kaget aku tuh." Risya mengambil paksa sapu tangan milik Revano dari tangan Revano, kemudian menempelkan di keningnya sendiri. "Sebenernya kamu tuh kenapa mau-maunya disuruh Papa jadi bodyguard aku? Masih muda, kerjaan banyak di luar sana. Keluar aja deh sebaiknya," ucap Risya. "Hanya Papa anda yang bisa mengeluarkan saya." "Mau aku bantu keluar nggak? Mudah kok caranya," ucap Risya sedikit antusias. Revano tidak menanggapi. Hamparan rumput luas di hadapannya lebih menarik dari pada pertanyaan Risya. "Bawa aku kabur dari sini dan kamu bisa bebas. Mudah, 'kan?" ucap Risya kembali. "Sayang!" Suara seseorang yang terdengar emosi membuat kedua manusia itu menoleh ke belakang, ke sumber suara. "Alex?" gumam Risya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD