2 : Kecelakaan

1170 Words
Reyna tergagap saat mendengar suara salah seorang bodyguardnya. Dengan sangat perlahan, gadis duabelas tahun itu menoleh ke belakang. Revano tidak menampilkan reaksi apa pun, juga tidak menoleh ke belakang. "Ka-kami, anu ..." Reyna menggaruk kepalanya bingung. "Jika ingin keluar, biar saya yang antarkan, Nona Muda. Tuan Muda tidak diperbolehkan keluar oleh Tuan Besar," ucap bodyguard itu. "A-aku ..." "Siapa kau berani memerintahku?" Suara dingin Revano terdengar. "Tuan Besar--" "Aku meminta Reyna menemaniku ke Apartemen. Aku melarang tegas, tidak boleh ada yang ikut atau masuk ke wilayah apartemenku! Kau faham?!" "Tuan Besar melarang Anda keluar, Tuan Muda," ucap Bodyguard itu tidak kalah tegas. "Aku ingin menginap di apartemen Abang. Abang butuh privasi, kau faham?" tanya Reyna dengan nada lembut dan jangan lupakan purple eyes-nya. Saat bodyguard itu ingin membuka mulut, Reyna kembali bersuara, "Kau jangan cemas. Abang hanya butuh teman curhat. Lagian Papa sudah mengizinkannya. Jadi, buka gerbangnya sekarang." Dengan sedikit ragu, bodyguard itu menuruti keinginan Nonanya. Saat tangannya merogoh saku bajunya, mukanya berubah pucat. Kenapa? Karena kuncinya hilang. "Kenapa?" tanya Reyna mengetahui perubahan wajah bodyguardnya itu. "Mmm ... k-kuncinya ... hilang," suara bodyguard itu mengecil kala mengatakan kata hilang. "Apa!" Wajah Reyna berubah pucat. Sedangkan Revano terlihat menatap datar bodyguardnya itu. "Cari!" ucap Revano dengan nada tegas, namun datar. "B-baik, Tuan Muda." Dengan wajah yang masih pucat, bodyguard itu melangkah pergi meninggalkan Revano dan Reyna. "Bang, gimana? Pengawal bodoh itu sudah menghilangkan kuncinya," ucap Reyna sambil memegang tangan Revano kemudian mendongak. Revano jalan menuju pintu utama dengan santai. Merogoh puluhan kunci yang dijadikan satu dalam saku celananya. Reyna yang melihat itu menyilakan matanya. "Bang--" "Ayo!" Revano berjalan lebih dulu tanpa menghiraukan kebingungan adiknya. Saat Revano membuka gerbang utama, Reyna juga masih dilanda bingung. Namun ia memilih diam. Jika menanyakan penjaganya ke mana, jawabannya pergi. Pergi ke mana? Biasanya pengawal di sana akan begadang dengan ditemani segelas kopi dengan beberapa cemilan gorengan. Dan sekarang bodyguard-bodyguard itu tengah mencari yang mereka butuhkan. Cctv? Itu urusan Reyna nanti. Yang jelas, Reyna harus bisa membawa Revano keluar saat itu juga. Saat ini Revano dan Reyna berhasil keluar dari mansion megah milik keluarga Pratama itu. Dengan langkah kaki yang cepat mereka menyusuri malam yang terlihat remang. Revano berhenti tepat di ujung jalan raya. Reyna ikut berhenti dan memilih bungkam untuk tidak bertanya masalah kunci itu. "Terimakasih sudah membantu Abang. Kamu memang adik abang yang terbaik," ucap Revano sambil memeluk adiknya erat. "Setelah ini Abang mau ke mana?" "Pergi jauh. Abang akan kembali setelah bisa membuktikan pada Papa kalau Abang sanggup mendirikan perusahaan besar di sini. Yang jelas, hasil jerih payah Abang sendiri dan halal." Revano melepaskan pelukannya. "Kamu berani pulang sendiri?" tanya Revano kemudian. "Abang meragukanku?" tanya Reyna dengan nada pura-pura kesal. "Abang tahu kamu gadis hebat." Revano mengelus pucuk kepala Reyna. "Carilah alasan terbaik untuk ini. Abang mohon, jangan ada yang tahu selain kamu. Jangan beritahu Bang Reno dan Bang Rifki." Reyna mengangguk, mengiyakan ucapan Revano. "Abang harus pergi sekarang. Jaga diri kamu. Abang akan sesekali menghubungi kamu, tapi dengan nomor baru," ucap Revano sambil menatap jalanan yang cukup ramai. "Abang bakal ingat nomorku?" tanya Reyna dengan tatapan polos. "Kamu meragukan ingatan Abang?" canda Revano sambil menoel hidung mancung Reyna. Reyna tertawa pelan. "Abang harus pergi sekarang, 'kan? Kalau gitu aku akan pulang. Aku punya kejutan hebat untuk orang di rumah. Aku tidak sabar memberitahu Abang untuk kejutan ini," ucap Reyna dengan girang. "Abang akan segera menghubungi kamu. Segeralah pulang. Mata-mata Papa ada di mana-mana. Kita harus hati-hati," ucap Revano sambil memakai kupluk hoodienya. "Abang hati-hati. Aku sayang Abang." Reyna berjinjit di depan Revano. Revano yang mengerti adiknya akan menciumnya itu segera mensejajarkan tubuhnya dengan Reyna. Wajar saja. Tubuh Reyna sejengkal di bawah d**a Revano. Itu membuatnya sangat, sangat kesulitan. "Abang, hati-hati!" teriak Reyna sambil berlari menuju ke mansionnya. Revano memasukkan tangannya di dalam saku hoodie. Berjalan perlahan menyusuri malam. Dia berhenti di pinggir jalan dan menatap jalanan yang super super padat. Padahal jam sudah menunjukkan hampir tengah malam. Kakinya perlahan melangkah ingin menyeberangi jalan itu. Tidak lupa menoleh ke kiri dan kanan. Namun, baru beberapa langkah kakinya menginjak aspal jalan besar, lampu mobil menyoroti dirinya dengan kecepatan yang sangat kencang. Alhasil ... Bruk! Kecelakaan itu terjadi. Mobil menabrak pohon besar di pinggir jalan. Revano dalam keadaan selamat. Kok bisa? Iya, karena mobil itu membanting stirnya menghindari Revano dan memilih menabrakkan mobilnya di pohon besar pinggir jalan. Asap mengepul dari kap mobil. Revano memilih acuh. Ia kembali melangkahkan kakinya menjauhi kerumunan di sekitar mobil yang bertambah banyak. "Woi! Itu dia penyebabnya! Mbak ini tertabrak karena menghindar dari Mas nya itu, tuh!" teriak salah satu orang yang melihat mobil yang menabrakkan dirinya ke pohon tadi. "Woi, Mas! Tanggung jawab! Jangan kabur kau, Mas!" Teriakan-teriakan yang jelas ditujukan untuk Revano itu membuat langkah sang empu berhenti. Dia menghela nafas kesal. Bukan dia penyebabnya. Tapi pengendara itu sendiri yang main kebut-kebutan di tengah jalan raya. Revano sempat berfikir. Jika dia tidak salah dengar, salah seorang warga tadi meneriaki kata 'Mbak'? Jadi korban itu perempuan? Revano mendekati mobil itu. "Tanggung jawab, Mas. Mbaknya pingsan ini. Bawa rumah sakit sana!" Ucapan-ucapan yang memojokkan Revano terus terdengar. Revano memilih acuh. Dia membuka pintu di samping kemudi. Dan benar. Korbannya perempuan. Tanpa berfikir panjang, Revano langsung mengangkat tubuh perempuan itu. Namun, gerakannya terhenti oleh sesuatu. Boneka? Ya. Di dalam mobil itu dipenuhi boneka panda besar dan satu koper yang memiliki warna mencolok dari warna bonekanya. Sempat terbesit dalam benak Revano. Perempuan ini kabur? Atau tengah dalam perjalanan kemping? Bawa boneka? Pertanyaan itu sementara waktu Revano simpan dalam benak. Cepat-cepat ia membawa tubuh ramping itu keluar dari dalam mobil. "Bawa pakek taxi ini, Mas!" Seseorang berteriak pada Revano sambil menunjuk taxi yang diberhentikannya. Revano membawa perempuan itu ke sana dan meletakkannya di dalam jok belakang, kemudian menutup pintunya. "Saya sudah tanggung jawab, jadi biarkan saya pergi," ucap Revano dengan nada datar. "Heh, Mas! Seenak hidup kau bilang selesai tanggung jawab! Bawa Mbaknya ke rumah sakit, baru tanggung jawabmu selesai!" teriak orang di sana. Dengan malas Revano kembali masuk ke dalam taxi itu. Memangku kepala perempuan yang menjadi korbannya. Korbannya? Bukannya korban sebenarnya adalah dia? Perempuan itu tersangka, bukan? "Mau jalan ke mana, Tuan?" Pertanyaan supir taxi membuat fokus Revano teralihkan. "Jalan dulu, Pak." Sementara mobil terus berjalan, Revano mencoba mencari informasi dari perempuan di pengakuannya ini. Tas selempangan yang masih melekat di leher perempuan itu menjadi tujuan Revano. Bukannya tidak sopan, tapi dia terdesak. Dengan cepat Revano membuka tas serampangan itu dan mencari alamat perempuan itu. Kartu nama. Itulah yang Revano dapat. Trisya Arsyila Anatasya. Ada alamat juga di dalam kartu nama itu. "Bawa ke alamat ini, Pak." Revano menyodorkan kartu nama itu kepada Pak supir. Kemudian menyandarkan kepalanya di sandaran kursi penumpang. Bagaimana dia nanti? Kabur ke mana dia sekarang? Apakah adiknya berhasil mengelabuhi orang rumah? Pertanyaan itu berebut masuk dalam fikiran Revano. Tapi tunggu! Alamat perempuan di pangkuannya ini sangat jauh dari tempat tinggalnya ini. Sekarang ia ada di Jakarta Pusat, sedangkan perempuan ini Surabaya. Perjalanannya jelas sangat jauh, apalagi digunakan dengan mobil. Sendirian! "Perempuan ini benar kabur," gumam Revano.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD