Wasiat Ibu

1013 Words
Alya menjerit histeris saat melihat ibunya tiba-tiba terlempar hampir satu meter di depannya. Tubuh Miranda tergeletak dengan bersimbah darah. Semua orang langsung berkerumun melihat wanita paruh baya yang masih tergeletak di tengah jalan itu. Alya kembali berteriak meminta tolong pada semua orang yang berkerumun mendekati ibunya, agar mereka segera membawa sang ibu ke rumah sakit. Namun, tidak ada seorang pun yang berani mendekati Miranda yang berlumuran darah. Alya dengan panik ingin mengangkat tubuh Miranda. Baru saja kedua tangannya memegang sang ibu, tiba-tiba seorang pria datang, kemudian langsung menggendong tubuh Miranda dan membawanya masuk ke dalam sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari tempat kejadian. Pria itu kemudian menyuruh Alya masuk ke dalam mobil. Setelah Alya duduk di kursi penumpang, dia membaringkan tubuh perempuan paruh baya yang bersimbah darah itu kepangkuan Alya. Tubuh Alya bergetar saat melihat wajah ibunya penuh darah. Darah itu sepertinya keluar dari kepala sang ibu yang terluka. Alya menangis ketakutan melihat kondisi Miranda. Ingatannya kembali pada kejadian tiga tahun yang lalu, saat dia melihat dengan mata kepala sendiri kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya. Saat itu ayahnya sedang menjemput Alya pulang sekolah, tetapi saat mobilnya baru saja terparkir di depan gerbang sekolahnya, tiba-tiba ada truk besar yang hilang kendali dari arah depan dan langsung menabrak mobil ayahnya. Alya yang berdiri dengan jarak sekitar tiga meter di depan ayahnya, dengan jelas melihat bagaimana truk besar itu menghantam tubuh sang ayah yang baru saja keluar dari mobil. Alya bahkan dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan bagaimana tubuh ayahnya terlindas truk dan terseret ke jalanan beraspal. Tubuh pria paruh baya itu terkapar di jalanan dengan darah yang mengalir di seluruh bagian tubuhnya. Rudi, sang ayah tercinta meninggal dunia di lokasi kejadian, karena menderita luka yang cukup parah di sekujur tubuhnya. Pria paruh baya yang menjadi cinta pertamanya itu tidak bisa diselamatkan. "Bertahanlah, Bu. Jangan tinggalkan aku, aku mohon ...." Alya menangis ketakutan. Gadis cantik itu menggenggam tangan ibunya yang mulai melemah. "Tenanglah, Nak, sebentar lagi kita sampai ke rumah sakit," ucap perempuan paruh baya yang kira-kira seumuran dengan ibunya. Alya bahkan baru menyadari kalau ada orang lain selain pria yang baru saja menolong ibunya tadi. *** "Alya ...." Suara Miranda terdengar lirih. Saat ini Alya sudah berada di ruang ICU. Setelah mendapat izin dari dokter, akhirnya Alya dan kedua orang itu bisa masuk ke dalam ruangan tersebut. Kedua orang itu, orang yang tadi menolongnya sekaligus orang yang telah menabrak Miranda, ibunya. Fakta itu baru Alya ketahui saat mereka tiba di rumah sakit. "Maafkan kami, kami tidak sengaja menabrak Ibu," ucap perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik itu sambil menangis penuh sesal. Perempuan itu adalah ibu dari pria yang menolong Miranda setelah kejadian kecelakaan tadi. Alya menoleh ke arah pria di sampingnya yang tak berkedip menatap ke arah Miranda. Raut wajahnya terlihat ketakutan dan merasa bersalah. "Kami sungguh tidak sengaja, Bu." Perempuan itu masih terus menangis dan meminta maaf. Sementara Miranda menatap Martha, kemudian tatapannya beralih pada pria yang berdiri di sebelah Alya. Miranda menggerakkan tangannya, meraih tangan Martha. "Apa dia putramu?" Bibir ibu bergetar. Perempuan itu mengangguk pelan. "To-tolong jaga putriku." Miranda menatap perempuan itu dengan kedua mata berkaca-kaca. Sementara Alya terus menangis, saat mendengar ucapan ibunya. "Ibu ...." "Ma-maukah ... kau menikahkan putramu dengan A-Alya?" Alya tersentak kaget begitu pun dengan Rega. Pria itu menatap Alya sekilas, kemudian pandangannya kembali beralih ke arah Miranda. "Ibu ...." Alya menatap sang ibu dengan air mata yang terus mengalir di pipinya. "A-aku akan ... me-maafkanmu asal kau ... mau me-nikah dengan Alya," ucap ibu dengan susah payah. Kemudian meraih tangan Alya dan menyatukan tangannya dengan tangan Rega. "Tolong-jaga Alya ...." Rega mengangguk. "Aku akan menikahinya." Alya menoleh ke arah pria itu. Wajah tampannya tersenyum melihat Alya. Sementara Alya menatapnya dengan tatapan tak percaya. Bagaimana mungkin dia menikah dengannya? Pria itu bahkan baru beberapa jam ini dikenalnya. "Alya ...." Suara Miranda semakin lirih. Alya menatap ibunya yang saat ini tersenyum melihatnya. Namun, sedetik kemudian kedua mata sang ibu menutup dan pegangan tangannya terlepas dari tangan Alya. "Ibu!" Alya berteriak panik, saat melihat ibunya sudah tak lagi bergerak. Rega segera berlari keluar memanggil dokter yang kebetulan baru saja datang dan berdiri di depan pintu ruangan, ditemani beberapa orang perawat. Alya dan Martha langsung keluar dari ruangan saat dokter dan perawat datang dan dengan sigap langsung memeriksa keadaan Miranda. Tubuh Alya bergetar karena panik dan ketakutan. Gadis cantik itu menangis sambil terus berdoa dalam hati. 'Semoga ibu baik-baik saja.' Air mata Alya terus mengalir membasahi wajah cantiknya. Tak jauh berbeda dengan Alya, Martha juga terus menangis sambil memeluk anaknya. Beberapa saat kemudian, pintu ruangan terbuka. Dua orang dokter keluar dari ruangan itu dan dengan berat hati mengabarkan kalau Miranda tidak bisa diselamatkan. Alya menggelengkan kepalanya, merasa tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh dokter. Tubuh perempuan itu bergetar, pandangannya mengabur, Alya pun akhirnya limbung dan tak sadarkan diri. "Alya!" *** Alya masih bersimpuh di depan pusara Miranda. Rasanya masih belum percaya dengan kepergian ibunya yang begitu cepat. Semalam sang ibu masih terlihat baik-baik saja. Mereka berdua saling bercanda tawa. Namun, tadi pagi .... Kejadian tadi pagi kembali berputar di kepalanya, membuat tangisan Alya kembali pecah. "Ibu, sekarang aku tidak punya siapa-siapa lagi, bagaimana caranya aku bisa melanjutkan hidup?" Alya terus menangis, membuat siapa saja yang mendengarnya pun ikut menangis. Alya menoleh saat Martha meraih tubuhnya, kemudian memeluknya. Tangis Alya kembali pecah di dalam pelukan perempuan itu. "Masih ada Tante di sini, Sayang. Kamu boleh menganggap Tante sebagai pengganti ibumu." Martha memeluk gadis itu. Rasa bersalah karena telah menyebabkan Miranda meninggal dunia, membuat perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik itu menangis, ikut merasakan kesedihan Alya. Seandainya saja Rega tidak ceroboh, dia pasti tidak akan mungkin kehilangan kendali. Rega, putranya dalam keadaan tidak baik-baik saja saat mengemudikan mobilnya. Martha sungguh menyesal, karena dia justru meminta Rega untuk mengantarkannya pagi ini. Niat hati ingin menghibur Rega yang sedang patah hati, ternyata justru berujung petaka. "Kamu harus kuat, kamu pasti masih ingat pesan terakhir ibumu, bukan?" Alya terdiam, gadis itu teringat ucapan ibunya, sesaat sebelum sang ibu menghembuskan napas terakhirnya. "Kamu harus menikah dengan Rega, anak Tante." "Itu adalah wasiat dari ibumu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD