Chapter 66

1080 Words
          Kami turun tangga dengan langkah terburu- buru. Ini benar- benar hectic untukku, apalagi harus menahan sakit perut yang semakin menjadi. Ingin rasanya aku pergi ke toilet saat ini juga, tapi mana mungkin. Ah, aku nyesal tadi tidak ke toilet lebih dulu.             “Cepat, ini udah 8 menit!” perintah dokter Akar sambil melirik jam tangannya. Kami semakin mempercepat langkah. Kami sudah tiba di lantai 2.                         “Teh, buruan aktifin sekarang!” pinta Kara. Aku mengeluarkan mr. communicator dan melakukan perintah yang di suruh Kara.             “Ayo ayo cepat, dikit lagi kita udah sampai!” ujar dokter Akar menyemangati. Kami terus turun berlari ke bawah hingga akhirnya kami tiba juga di lantai 1. Kami berhenti sebentar di dekat tangga untuk mengatur nafas yang terengah- engah.             “Akhirnya … kita sampai juga …” gumam Rendra.             “Sekarang … dimana letak pintu keluarnya?” tanya dokter Akar. Ia celingak- celinguk mencari pintu keluar. Aku melakukan hal yang sama. Ajaib banget, sakit perutku sudah hilang. Mungkin karena di bawa lari- larian ya jadi hilang?             “Oh, di sebelah sana dok!” jawabku sambil menunjukkan pintu di ujung sana. Kami berjalan menuju pintu itu. Sebelum kami keluar, Kara mengecek situasi di luar melalui CCTV yang sudah di hack.             “Sepi. Sepi banget malah. Kita bisa keluar, tapi tetap harus waspada ya. Bentar, CCTV di lantai 1 aku alihkan dulu,” ujar Kara. Ia mengutak- atik mr. communicator. “Oke sudah.”             Rendra membuka pintu darurat dan kami keluar dengan mengendap- endap. Memang benar, lantai 1 sangat sepi, tak ada siapapun juga di sana. Suasana mencekam amat sangat terasa.             “Pintunya dimana?” tanya dokter Akar berbisik.             “Ujung sana, kita lewati meja resepsionis. Hati- hati, takutnya nanti ada robot di sana.” Kara memperingatkan. Meja resepsionis tampak sepi. Anehnya, lampu di sana malah tidak menyala. Kami berjalan melewati meja resepsionis sambil memperhatikan sekitar, hingga akhirnya kami tiba di depan pintu bunker yang tersembunyi di balik dinding.             “Ayo Althea,” ajak Kara. Ia mengeluarkan mr. communicator. Aku mengangguk dan mengeluarkan yang sama. Ini ide Kara, dia membuat semacam sensor pintu baru yang terhubung dengan mr. communicator. Untungnya, pintu ini termasuk mudah untuk di kelabui dengan sensor baru ini. Kami menaruh tangan di layar mr. communicator dan akhirnya pintu terbuka perlahan.             “Yes! Berhasil!” gumam Kara. Aku menghela napas lega. Takut banget kalau ini tidak berhasil dan kami terjebak di lantai 1.             “Ayo masuk!” Dokter Akar masuk terlebih dahulu. Kami menyusul di belakangnya. Lorong kecil yang gelap dan pengap menyapa kami. “Jangan hidupin senter, nanti ketahuan sama robot. Kita jalan pelan- pelan saja di dalam,” usul Kara. Jadilah kami  menyusuri lorong tanpa menghidupkan senter agar tidak ketahuan oleh robot- robot.. Sesak sekali rasanya di sini. Kami mengendap- endap menyusuri lorong. Keadaan yang gelap gulita membuat kami tak tampak apa- apa, sehingga …             “Eh eh, AWAS!” teriak dokter Akar. Tapi terlambat, kaki dokter Akar limbung karena tak ada tempat berpijak dan jatuh berguling- guling ke bawah sana. Rendra yang tadinya berpegangan dengan dokter Akar pun ikut limbung dan ikut jatuh berguling ke bawah. Rendra yang tak ingin jatuh sendirian pun tanpa sadar menarik tanganku. Aku limbung dan ikut jatuh berguling juga ke bawah sana. Kami bertiga jatuh berguling seperti sebuah bola yang jatuh.             Kami jatuh bertabrakan sampai ke bawah. Badan dokter Akar di timpa oleh Rendra dan aku menimpa badan Rendra. Kami meringis kesakitan. Terdengar suara langkah kaki terburu- buru mendatangi kami. Cahaya senter menyinari kami.             “Kalian gak apa?” tanya Kara. Ia mengulurkan tangannya padaku. Ia membantuku untuk berdiri. Aku meringis kesakitan sambil memegang pinggangku. Kara membantu kami berdiri.             “Tadi itu apa?” tanya dokter Akar. Ia meringis kesakitan.             “Tangga. Kalian jatuh dari tangga. Lumayan panjang juga tangganya,” jawab Kara. “Maaf, harusnya tadi kita pakai senter aja. Jadi gak ada yang jatuh begini,” ujar Kara.             “Gak apa Kar, bukan salahmu kok. Yah emang kitanya aja kurang tau medan, jadi gini deh,” timpal Rendra. Dokter Akar mengangguk.             “Ya sudah, biar gak terulang lagi, kita nyalain aja senternya. Tapi kalo udah denger suara mencurigakan langsung matikan saja,” usul dokter Akar. “Tadi siapa aja yang jatuh? Rendra dan Althea ya? Gimana kalian ada luka ga?” tanya dokter Akar.             Aku dan Rendra memerika seluruh badan. Aku meringis kesakitan dan menyinari bagian siku dengan senter. Ada luka baret di sana. Tidak hanya di sana, ada juga di lutut. Celanaku sampai sobek di bagian lutut karena terjatuh tadi.             “Kalau ada luka, langsung di obatin saja. Ini, kalian tap tap aja sebentar pakai kapas basah ini, terus langsung di tetesin obat merah ke lukanya. Kalau ada yang lebih parah bilang aja ya.” Dokter Akar membuka tas P3K yang di bawanya dan mengeluarkan obat merah dan kapas yang sudah di basahi. Kara membantu kami. Ia menepuk pelan lukaku dengan kapas basah dan meneteskan obat merah. Aku meringis perih.             “Udah? Ada lagi yang luka?” tanya Kara. Aku mengeleng. Ia menutup bagian yang luka dengan plester luka.             “Gimana? Udah semua? Ada lagi yang parah?” tanya dokter Akar.             “Udah dok, aku gak apa. Cuma luka gores dikit aja,” jawabku.             “Aku ada lebam sih, tapi gak apa,” jawab Rendra.             “Kalian yakin udah gak apa kan? Kalo iya, biar kita lanjutin perjalanan aja,” tanya dokter Akar kembali meyakinkan.             “Gak apa dok, aman. Lanjut jalan aja kita,” jawab Rendra.             “Oke, kali ini nyalain senter aja ya,” usul dokter Akar. Kami mengeluarkan mr. communicator dan menyalakan senter. Lorongnya masih sama besarnya dengan di atas tadi, tapi yang buat kami melongo adalah pintu jeruji besi yang tampak berjejer di sana.             Kami menyusuri lorong itu. Setiap jeruji tidak kosong, berisikan banyak orang yang tidur berhimpitan di sana, seperti ikan teri yang sedang di jemur. Mereka tidur tanpa alas apapun. Bau menyengat meruak di seluruh ruangan. Aku menutup hidungku dengan baju agar tidak mencium baunya. Lalat pun berseliweran dimana- mana.             “Gila, ini tempat apaan?” tanya Kara.             “Ini bunker,” jawab Rendra.             “Ya, ini bunker. Pasti di sini mereka sembunyiin semua orang,” timpal dokter Akar.             “Bau banget. Mereka gak ada di urus ya? Lusuh banget,” tanyaku misuh.             “Ya ampun, mana ada di urus sih. Mereka kan di culik, memang ada penculik yang urus orang di culiknya gitu?” tanya Kara.             “Yah … kali aja kan …” jawabku.             “Penculik yang seribu satu sih yang begitu,” timpal Kara. ****  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD