Chapter 65

1223 Words
          Oke dugaanku salah. Salah besar, malah. Makan malam kami sudah tiba tak lama kemudian. Makan malamnya seperti biasa, tetap enak. Enak banget sih malah. Makan malam kali ini nasi biryani dengan ayam rempah yang entah apa namanya. Enak, seperti biasa. Selesai makan, kami minum kopi.             Ini puncak masalahnya. Baru saja aku minum beberapa teguk dan reaksinya sudah muncul. Pertuku rasanya berderu hebat di dalam sana, bersamaan dengan jantungku yang berdebar kencang. Aku berusaha mengatur nafasku yang sedikit sesak. Sabar, ini untuk kali ini saja.             Kali ini saja Althea, kuatkan dirimu untuk minum kopi. Halo badanku, tolong bersahabat denganku kali ini ya. Tolong. Mari kita bersahabat, gumamku dalam hati.             “Nah dengan minum kopi begini kita bakalan lebih kuat begadangnya,” ujar Kara. Semuanya mengangguk, terkecuali aku. Aku menundukkan kepalaku sambil memegang perut.             “Kamu kenapa nak?” tanya dokter Akar. Aku mendongak dan mengelengkan kepala.             “Ah, gak apa kok dok gak apa,” jawabku.             “Kamu yakin?” tanya Rendra. Aku mengangguk dan mengacungkan jempolku.             “I’m good. Gak apa, serius,” jawabku bohong. Bohong banget sih, nyatanya malah perutku semakin saja sakitnya.             “Beneran? Kalau gak enak badan bilang aja Teh, ini kita ada dokter loh di sini.” Kara menunjuk dokter Akar. Aku mengangguk. Tak apa, tak apa. Aku masih bisa tahan kok.             “Hah gak apa kok, serius,” jawabku lagi. Palingan juga entar ilang kok sakitnya, pikirku begitu. “Oh ya, gula masih ada gak?” tanyaku balik. Rendra memberikanku sebuah toples kecil berisikan gula balok. Aku membuka tutupnya dan menaruh beberapa balok gula ke dalam cangkir kopi dan mengaduknya hingga larut.             “Banyak amat dah, jangan banyak- banyak.” Dokter Akar mengingatkan.             “Gak kok dok, ini dikit,” jawabku. Aku mencicipi lagi kopi itu. Hem, ini sudah lebih manis daripada yang tadi. Kopi yang tadi sangat pahit.             “Kamu butuh krimmer gak? Atau s**u?” tawar Rendra. Aku mengangguk. Rendra memberikan sekaleng s**u kental manis dan sebotol krimmer padaku. Hem, mungkin lebih baik jika di tambah s**u kental manis saja. Aku mengambil sekaleng s**u kental manis dan menuang sebanyaknya ke kopi hingga warnanya sedikit berubah menjadi lebih muda. Aku kembali menyeruput kopi. Hem, rasanya jauh lebih manis daripada yang tadi tapi lebih bisa di terima oleh lidahku.             “Apa gak terlalu manis nak?” tanya dokter Akar.             “Gak kok dok, udah pas. Saya gak suka kopi hitam,” jawabku. Yah, setidaknya berkat kopi racikan sendiri ini, perutku sedikit selamat. Tidak terlalu sakit seperti tadi. Hem, hebat juga. Apa aku buat coffee shop saja ya?             “Sekarang sudah jam berapa?” tanya dokter Akar. Rendra melirik jam tangannya.             “Jam 11 sudah dok,” jawabnya. “Sekarang aja? Apa bagaimana?” tanya Rendra balik.             “Gak. Jam 12 pas saja. Sekarang mari kita berembuk lagi menyusun rencana untuk nanti,” ajak dokter Akar.             Kami berkumpul di ruang tamu. Kara mengeluarkan mr. communicator dan menyalakan hologram peta hotel. Kali ini peta sudah dia upgrade.             “Jadi, tadi sebelum kita masuk ke gereja, aku ada coba lacak ruangan di balik dinding dengan alat ini.” Kara mengeluarkan sebuah kamera mini. “Ini tinggal di tempelin aja, bisa ngintip ke balik dinding,” jelas Kara. Kamera itu sangat mini, ukurannya sedikit lebih kecil malah dari gula balok.             “Sayangnya, kamera di alat ini sedang rusak. Ini kamera lama, pemberian paman saya. Tapi meski begitu alat ini masih bisa melacak keadaan sekitar dengan teknologi scanning. Dia bisa memperkirakan seberapa luas keadaan di balik sana.” Mr. communicator memunculkan hologram sebuah ruangan yang cukup luas. “Mungkin kurang lebih ya, seluas ini ruangannya.”             “Padahal kalau dari luar ini gedung nampaknya kecil ya,” gumam Rendra. Kami mengangguk setuju.             “Malah lusuh banget, kirain tadi gudang yang udah di tinggalin,” timpalku.             “Jadi kemungkinannya sih, mungkin di lantai lain juga ada ruangan di balik dinding. Bisa jadi, ya bisa jadi, ruangannya sama besarnya. Mungkin toh ya. Kita baru tahu ada ruangan seperti ini di lantai 5 dan lantai 2, juga lantai 1 sebagai bunker. Tapi bunker untuk ukuran segini, agaknya terlalu sempit gak sih untuk tampung orang sebanyak kemarin?” tanya Kara.             “Hem, bener sih. Tapi ya, kalau orang kayak si om gendut itu, mana perduli lagi sih,” jawabku. Kara mengangguk.             “Ya bener juga sih kata kamu,” ujar Kara setuju. “Yah pokoknya kurang lebih begitu ya. Tapi aku udah coba perbaiki dikit sih ini kameranya, pakai perkakas seadanya aja. Semoga aja bisa sih,” lanjut Kara.             “Terus gimana dengan pintu bunker? Kamu yakin kan bisa di buka pintunya?” tanya dokter Akar.             “Yah, soal itu baru bisa kita pastikan kalau udah sampai di bawah nanti. Kalau sekarang di coba, takutnya ketahuan kan,” jawab Kara.             “Ya, bener juga sih,” gumam Rendra. “Kita harus hati- hati di sana. Lawan kita kali ini robot, kadang robot ini lebih gesit dari manusia. Kita juga gabisa sembarangan pukul toh, nanti yang ada malah bengkak tangan,” komentar Rendra.             “Jadi kita harus gimana?” tanya dokter Akar. Hening sesaat. Tidak ada yang berbicara satu pun.             “Apa kita hajar aja mereka satu persatu? Kita pukul aja sampai hancur!” saran Kara.             “Yah pukul mereka mah keburu tangan kita yang retak duluan!” sanggahku.             “Hem, bener juga ..” gumam Kara. Ia menompang dagu. “Gimana kalau pukulnya pakai benda keras aja?” saran Kara lagi.             “Memangnya kamu mau tawuran?” tanya dokter Akar. Kara nyengir lebar. Kami geleng- geleng kepala. Kara menjentikkan jarinya dan membuka mr. communicator. Ia mengutak- atik sesuatu dan mangut- mangut.             “Hum, kayaknya masalah serang robot masih bisa kita atasi …” gumam Kara. “Althea, coba kamu connect ini ke mr. communicator kamu. Terus nanti di beginikan …” pinta Kara. Aku membuka mr. communicator dan mengikuti arahan Kara.             “Ya, lalu begini .. terus begini …” Kara menunjukkan satu persatu apa yang harus di lakukan. Aku mengikutinya dan mangut- mangut.             “Hem, iya ini memang bisa sih …” gumamku.             “Oke, masalah kalau robot menyerang udah selesai. Kita udah bisa gerak sekarang!” ****             Kami melongok keluar kamar dan memperhatikan sekeliling. Aman. Kosong seperti biasa. Tidak ada robot yang berseliweran di atas. Aku memberi kode pada Kara dengan mengacungkan jempol. Kara mengangguk dan menjalankan aksinya dengan memblokir seluruh CCTV yang ada.             “Sudah aman,” bisik Kara pelan. Kami mengangguk dan mengendap- endap keluar dari kamar. Kami memutuskan untuk turun ke bawah melalui tangga darurat. Kami sudah menandai pintu darurat dengan stiker kecil. Setelah menemukan pintu darurat, kami membukanya dengan perlahan dan satu persatu menuruni tangga darurat.             “Teh sambil jalan kita aktifin aja, nanti sampai bawah kalau bisa kita tinggal masuk aja,” pinta Kara.             “Loh gak apa nih? Nanti gak ketahuan?” tanyaku agak ragu.             “Gak, gak apa. Aku jamin, mereka gak akan sadar. Ayo cepet, itu ada batas waktunya!” perintah Kara lagi. Aku mengeluarkan mr. communicator dan mengaktifkan mode hack yang di ajarkan Kara semalam.             “Nanti kita tinggal masuk aja ya ke dalam, kami udah hack duluan dari sini.” Kara memberitahu. “Tapi ini ada batas waktunya,” lanjut Kara.             “Berapa lama?” tanya Rendra. Kara melirik jam tangannya.             “Waktunya cuma 10 menit,” jawab Kara.             “Kalau begitu kita harus cepat, 10 menit bukan waktu yang lama! Ayo ayo!” ****  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD