Chapter 64

1463 Words
          Kami berkumpul di ruang tamu hingga malam tiba. Adzan magrib terdengar, kami memutuskan untuk shalat ke lantai 5, sekalian mengecek apakah benar ada ruangan kosong di balik sana. Aku mengambil air wudhu dan mukena di lemari, lalu mengikuti mereka ke mushalla di lantai 5. Kami menunggu lift terbuka dan tersentak kaget saat Mitha keluar dari lift. Ia mengernyitkan alis melihat kami.             “Kalian mau kemana? Makan malam akan segera di siapkan,” tanya Mitha. Robot- robot koki melongok dari belakang Mitha.             “Ah, kami mau ke shalat ke mushalla di lantai 5,” jawab dokter Akar.             “Baik, kalau begitu kapan saya bisa antarkan makan malamnya?” tanya Mitha.             “Ah, nanti saja selesai kami shalat. Nanti akan saya panggil saja lagi, bagaimana?” tawar dokter Akar. Mitha mengangguk.             “Baiklah kalau begitu. Mari saya antarkan tuan dan nyonya sekalian ke lantai 5,” tawar Mitha.             “Hah heh, baiklah. Terima kasih Mitha,” jawab dokter Akar. Ia melambaikan tangan kepada kami. Kami masuk ke dalam lift. Mitha Pintu lift tertutup dan Mitha menekan tombol lantai 5 di sana. Suasana hening begitu kentara di dalam lift. Untung saja tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di lantai 5. Aku menghela napas lega saat pintu lift terbuka.             “Terima kasih sudah mengantar kami,” ujar dokter Akar. Kami melangkah keluar lift.             “Kembali. Silakan hubungi saya jika ada keperluan apapun,” balas Mitha. Pintu lift tertutup, aku melirik ke lift dan melihat Mitha menatap kami dengan tatapan tajam. ****             Kami telah selesai melaksanakan shalat. Aku melipat rapi mukena dan memasukkannya kembali ke dalam tas kecil. Aku pergi ke toilet mushalla untuk mengambil jam tanganku.             “Teh, mana Althea?” tanya Rendra.             “Aku di sini Ren, bentar!” jawabku. Aku memakai jam tanganku dan pergi menyusul mereka di luar mushalla.             Kami berjalan menyusuri lorong lantai 5. Sesekali kami mencoba membuka pintu ruangan lain, kali saja tidak terkunci. Tapi dugaan kami salah, semuanya terkunci. Kecuali …             “Eh, ini gak terkunci!” ujar Kara. Ia memegang gagang pintu sebuah ruangan. Kami mengerumuninya. Kara membuka pintu itu perlahan- lahan. Kami mengintip dari dalam. Ternyata ruangan ini adalah gereja kecil. Patung jesus yang pertama kali menyapa kami saat pintu terbuka. Ada beberapa kursi dan satu mimbar di depan sana.             “Oh, gereja ternyata,” gumam Kara.             “Ini boleh masuk ga sih?” tanyaku ragu.             “Masuk aja sih, kan kosong ya,” jawab Rendra. Ia masuk terlebih dahulu ke dalam. Kami mengikutinya dari belakang. Aku menggengam erat ujung baju Rendra. Rendra menyalakan sakelar dan semua lampu di dalam gereja menyala. Aku melongo takjub melihat keindahan gereja ini. Lampu gantung dimana- mana menyala, memperlihatkan Aku juga baru sadar kalau ternyata ada piano tak jauh dari mimbar.             “Cantik juga ya gerejanya,” puji Kara.             “Terus sekarang ngapain di sini?” tanyaku.             “Kita cari hal yang janggal di sini, mungkin bisa ketemu pintu rahasia ke balik dinding ini,” jawab dokter Akar.             Kami pun berpencar. Kami meraba setiap dinding juga kursi dan meja yang ada di sana. Tak ada yang aneh sih. Aku merapatkan diri ke dinding, kali saja aku bisa menguping pembicaraan seperti kemarin. Tapi tidak ada suara apa- apa di sana.             “Sedang apa kamu di sini?” tanya sebuah suara. Aku menoleh dan terkaget melihat sebuah robot kecil sudah berdiri di sebelahku. Matanya menatapku lamat- lamat. Aku nyengir lebar.             “Lihat- lihat saja. Ruangannya cantik soalnya, lihat lukisannya bagus kan,” jawabku sambil menunjuk salah satu lukisan bunda Maria di sana. Robot kecil itu menatapku tajam. Aku menelan ludah. “Ah, aku mau temui teman- temanku yang lain.” Aku balik badan dan pergi mendekati Rendra yang duduk di kursi piano. Aku mencoleknya yang menekan satu persatu tuts piano.             “Eh Teh. Kamu udah kete…” Aku membekam mulut Rendra dengan tangan dan melirik ke arah robot kecil yang masih menatapku dari kejauhan. Aku mengedipkan mata memberi kode kepada Rendra.             “Aku lapar nih Ren, kita balik yuk hehe ..” Aku menarik tangan Rendra hingga ia berdiri dari kursi. Robot kecil itu mendekati kami. Aku merangkul lengan Rendra. “Eh Ren, kita ajak yang lain juga balik ya, aku lapar.”             Rendra hanya mengangguk. Mungkin dia juga bingung dengan sikapku. Robot kecil itu menghampiri kami.             “Kalian masih melihat- lihat ruangan ini? Biar saya yang jadi pemandu kalian di sini,” tawar robot kecil itu.             “Ah terima kasih, tapi kami mau balik saja. Ini sudah waktunya makan malam,” tolak Rendra. Kami menghampiri dokter Akar dan Kara yang menatap patung jesus dengan seksama. Rendra menepuk pundak mereka.             “Eh kalian. Gimana …” Belum selesai dokter Akar bicara, Rendra membelakkan matanya dan melirik ke arah robot kecil yang mengikuti kami dari belakang. Dokter Akar melirik sesaat dan mengernyitkan alis.             “Dok, Kar, kita balik ke kamar yuk. Udah waktunya makan malam nih, aku udah lapar,” ajakku.             “Lah kok cepet banget. Kan kita …” Aku membelakkan mata menatap Kara. Rendra kembali memberikan kode sambil melirik sekilas robot kecil itu. Kara mangut- mangut.             “Oh ya udah . Yuklah. Aku juga lapar ini,” ujar Kara. Ia merangkul dokter Akar. “Ayok dok kita balik, kan gak bagus kan tunda makan. Ya kan dok?” tanya Kara.             “Ya memang bener sih. Ih kalian ini kenapa sih, lapar banget ya?” tanya dokter Akar.             “Iyalah dok! Ayo kita balik!” ajak Kara.             “Kalian mau balik? Apa sudah selesai melihat sekitar?” tanya robot kecil itu menghampiri kami.             “Iya, sudah. Kami sudah lihat hampir semuanya, bagus. Nanti kapan- kapan kami kemari lagi ya,” jawabku. “Kami pamit dulu, makasih udah temani kami sebentar di sini,” pamitku sambil melambaikan tangan.             “Baik. Hati- hati di jalan,” balas robot kecil.             Kami keluar dari gereja berdesak- desakan. Kara masih merangkul dokter Akar. Dokter Akar yang risih pun melepaskan rangkulan itu. Aku melirik ke belakang. Robot kecil itu masih berdiri di depan pintu, menatap kami lamat- lamat dengan tatapan tajam. ****             “Tadi kenapa?” tanya dokter Akar begitu kami tiba di kamar.             “Iya, kalian kenapa kok tiba- tiba ajak balik duluan? Memangnya kalian lapar ya?” tanya Kara. Aku menelan ludah.             “Ah, sebenarnya. Aku .. ngerasa gak nyaman dengan robot yang ada di gereje tadi. Dia kayak curiga banget sama kita gitu,” jawabku. Kara mangut- mangut.             “Kayaknya semua robot di sini jadi mengerikan ya,” ujar Kara.             “Yah, secara gak langsung mereka kan jadi komplotan perdagangan manusia itu,” timpal dokter Akar.             “Tapi pasti ada seseorang kan di balik robot itu. Robot itu benda, bukan sesuatu yang bernyawa. Mereka pasti di atur oleh seseorang bukan?” sanggah Rendra. Kami mangut- mangut.             “Benar juga. Mungkin, om gendut tadi yang atur mereka semua?” dugaku. Mereka mengangkat bahu.             “Bisa jadi, karena kita baru lihat dia saja kan di sana?” tanya Kara. “Kalo persoalan kayak begini, aku gak yakin cuma seorang aja yang pegang. Pasti ada orang lain juga di belakangnya, yang bantu dia,” lanjut Kara.             “Benar juga sih,” gumamku. “Bisa jadi dia kerjasama dengan organisasi besar kan? Seperti mafia atau organisasi gelap lain begitu?” Aku menduga- duga.             “Ya, aku yakin sih begitu,” jawab Kara.             “Kita mungkin bisa tahu nanti, kalau kita udah berhasil masuk ke dalam bunker itu,” timpal Rendra.             “Kalian udah bisa hack itu pintu bunker?” tanya dokter Akar. Aku menepuk jidatku. Ah, benar juga.             “Anu, aku udah coba sih. Tapi masih error juga. Mungkin emang aku salah masukin code,” jawabku. Aku mengeluarkan mr. communicator. Mungkin aku masih bisa mengutak- atiknya sedikit lagi.             “Gak apa Teh, aku udah tahu code nya. Nanti gak bisa di satu perangkat doang, harus di dua perangkat. Nanti masukin aja ke perangkat kamu juga,” timpal Kara. Aku menghela napas lega.             “Oke, sepertinya sudah beres soal itu. Ingat, nanti malam kita bergerak ya. Tengah malam, jam 12. Jangan ada yang tidur!” Dokter Akar mengingatkan. Kami semua mengangguk setuju.             Tiba- tiba suara perut bunyi memenuhi ruangan. Kami tersipu malu sambil memegang perut.             “Ah, emang udah jamnya badan kita ya,” ujar dokter Akar. Dia bangkit dari duduk. “Biar saya pesankan makanan. Kalian ada yang gak bisa minum kopi gak? Saya mau pesan kopi untuk persiapan nanti,” tanya dokter Akar.             Kami saling menatap. Sebenarnya aku tidak terlalu bisa minum kopi di malam hari, entah kenapa reaksinya berbeda kalau aku meminumnya di malam hari. Pasti jantungku akan lebih berdebar dan perutku agak sedikit berderu nantinya. Tapi untuk kali ini, aku harus mengabaikan semua itu.             “Gak dok, aman kok,” jawabku.             “Oke, saya tambah kopi 4 cangkir ya, kopi hitam gak apa kan?” tanyanya lagi. Aku mengangguk yakin.             Gak akan apa- apa kok, ya kan badanku? ****             
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD