Chapter 63

1200 Words
          Kami berkumpul di ruang makan sambil menikmati makan siang yang di sajikan. Makan siang kali ini memang enak. Sepanci coto Makassar, bakwan jagung, beberapa ketupat sebagai pengganti nasi, sambal hati ampela, telur asin rebus, dan ikan gurame goreng yang super crispy. Ya, semua makanan yang tersedia memang menggugah selera, harusnya sih begitu. Tapi aku tidak selera makan. Kejadian tadi masih terngiang di kepalaku. Suara teriakan kesakitan itu masih terngiang di kepalaku. Aku menundukkan kepala dan menutup telingaku dengan kedua tangan.             “Kamu gak apa Teh?” tanya Rendra. Aku mendongak menatapnya, lalu mengeleng.             “Gak apa .. hanya saja … aku masih teringat dengan kejadian tadi. Suara teriakan itu masih terbayang di kepalaku …” jawabku. Aku menundukkan kepala dalam. Suasana hening. Semua bergeming. Kara menghela napas.             “Bagaimana kalau …” Dokter Akar menaruh sendoknya di meja makan. “.. kita keluar lagi malam ini? Kita coba periksa bagian dalam bunker itu,” usul dokter Akar. Kami menatap dokter Akar.             “Bagus sih, tapi memangnya bisa?” tanya Rendra tak yakin.             “Ya kita coba dulu dong, kan belum di coba juga,” jawab dokter Akar. “Kamu bisa gak coba hack itu sensor pintu bunker? Hasilnya bisa nampak nanti malam gak?” tanya dokter Akar pada Kara. Kara mengangkat bahunya.             “Entahlah ya dok. Saya akan coba dulu. Mungkin Althea bisa bantu saya sedikit,” jawab Kara sambil melirikku. Aku menghela napas panjang. Ah, aku harus membuang semua ego untuk sementara. Sebenarnya aku masih kesal dengan Kara, tapi ini demi kebaikan bersama juga.             “Ya, aku bakal coba bantu kamu,” timpalku. Rendra tersenyum tipis. Ia mengelus pelan rambutku.             “Adikku ini ternyata pintar juga ya!” puji Rendra. Aku tersipu. Senang ada yang memujiku, apalagi kali ini yang memuji adalah saudara kandung sendiri.             “Ya sudah, setelah makan ini kita susun lagi rencananya. Habis makan, kalian berdua udah bisa coba deh utak- atik buat CCTV dan hack pintu bunker itu, oke?” perintah dokter Akar. Kami mengangguk. “Sekarang, mari kita santai dulu sambil menikmati makan siang yang enak ini,”ajaknya.             “Yah tanpa dokter suruh mah aku suka rela banget makannya,” gumam Kara. Ia mengambil semangkuk coto Makassar, beberapa potong ketupat hingga piringnya bertumpuk penuh di piringnya, juga mencomot lauk pauk yang lainnya ke dalam piring. Kini piringnya penuh dengan semua lauk pauk, kecuali ikan gurame goreng.             “Kamu kenapa gak ambil ikan gurame?” tanya dokter Akar.             “Udah penuh dok piringnya,” jawab Kara ngeles. Rendra menatapnya dengan tatapan mengejek.             “Hem, gak suka ikan kamu ya?” tebak Rendra. Kara mendecik kesal.             “Ih kenapa sih memangnya? Tanpa makan ikan aku juga udah pinter kok!” jawab Kara sambil membusungkan dadanya.             “Iya deh terserah deh.” ****             Selesai makan siang, kami berkumpul di ruang tamu. Mr. communicator milik Kara di taruh di tengah meja. Mr. communicatornya menampilkan hologram peta hotel secara 3D. Peta ini hasil rancangan Kara sendiri, setelah menyusuri setiap lantai seorang diri karena terlalu gabut.             “Jadi begini. Kurang lebih deh ya, yang selama ini aku jelajahi ini hotel, begini bentukannya. Aku udah masuk hampir ke setiap ruangan dan setiap sudut yang ada,” jelas Kara sambil menunjuk hologram.             “Bisa- bisanya lu masuk kamar lain ya Kar,” ujar Rendra. Kara mengangkat bahunya.             “Yah, kebetulan aja sih. Aku juga baru sadar, ternyata di lantai 2 dan 3 ada satu kamar kosong yang gak terkunci. Ya udah aku coba masuk aja, kepo doang sih. Kamarnya kecil, gak kayak kamar ini,” jawab Kara.             “Bukannya harusnya kamarnya di kunci ya? Kok ini terbuka?” tanya dokter Akar. Kara kembali mengangkat bahunya.             “Entah deh. Aku gak tahu. Mungkin aja kamarnya baru siap di bersihin kali, tapi lupa di tutup pintunya,” jawab Kara. Kami mangut- mangut.             “Hem ya, bisa jadi ya…” ujarku. “Oke lanjut. Terus Kar?” tanyaku lagi. Kara berdehem.             “Nah jadi begini. Kalau menurut analisaku ya, denger cerita dari Althea tadi, kayaknya hampir di setiap lantai di gedung ini punya ruang rahasianya. Sepertinya ya, ini hanya asumsiku saja. Mungkin saja, di lantai 5 tempat kita shalat kemarin, di balik dindingnya ada tempat mereka berkumpul. Seperti yah, apa deh, ruang istirahat karyawan mungkin. Lalu aku sempat di lantai 2 tadi, aku bersender di dinding dan iseng mengetuk dindingnya pelan, aku denger juga ada suara berisik di sana. Seperti suara berisik barang gitu deh ya. Kalau asumsiku ini, mungkin saja ini dapur atau apa ya, ruang cuci piring? Begitu dah pokoknya,” jelas Kara panjang. “Nah, kalau di sini …” Kara menunjukkan ke peta hologram. Ia menunjukkan ke lantai 1, tepat di dinding menuju bunker.             “Ini bunker. Jalan menuju bunker. Menurutku, kemungkinan besar bunker itu kedap suara. Yah, biasanya juga begitu bukan sih? Nah ini yang menjadi sumber masalah. Aku gak sempet perhatikan gedung ini dari luar, tapi ya, kemungkinan bunker ini cukup besar untuk menampung mereka semua,” lanjut Kara.             “Tapi kita baru bisa mengetahui sesungguhnya kalau kita bisa masuk ke dalam itu sih. Kan ini hanya  opini pribadiku saja,” lanjutnya. Ia melipat kedua tangannya di d**a.             “Oke, ini sudah bagus sih untuk permulaan. Jadi gimana kabar CCTV? Juga pintu bunker itu?” tanya dokter Akar.             “Kalau CCTV, yah selama ini aman sih, agaknya belum ada yang curiga kalau ada sedikit potongan yang terekam hilang. Belum ada masuk notif ke mr. communicator,” jawab Kara. Dokter Akar mangut- mangut.             “Yah, untuk CCTV juga aman sih. Aku udah hack semua CCTV yang ada, tapi sepertinya di tempat yang di curigakan Kara gak ada CCTV sih,” timpalku. “Sepertinya di lantai 5 itu ruangan khusus si om gendut tadi. Ya, suaranya sama kayak yang aku denger di sana,” lanjutku. Dokter Akar tertawa kecil.             “Kamu bilang dia om? Om gendut?” tanya dokter Akar. Aku mengernyitkan alis dan mengangguk.             “Lah memang kan? Aku yakin dia sebaya kamu dok, lebih malah kayaknya. Dan dia gendut. Cocoklah, itu udah panggilan paling sopan untuk orang sepertinya,” jawabku. Dokter Akar tertawa kecil dan geleng- geleng kepala.             “Iya iya, memang cocok kok dengan dia. Kamu bener Althea, gak salah memang,” ujar dokter.             “Oke. Berarti kita udah dapat info soal di balik dinding lantai 5. Sisanya masih opini saja ya, tapi kita akan tahu kebenarannya,” ujar Kara.             “Hei, kalau memang ada ruang di hampir setiap lantai, apa di lantai ini juga ada?” tanya Rendra. Hening. Benar juga.             “Ya, benar juga. Gimana kalau mereka ternyata menguping pembicaraan kita?” tanyaku lagi.             “Sepertinya gak mungkin sih,” jawab dokter Akar. “Toh ruangan ini juga kedap suara kan? Suara di luar aja gak kedenger, gimana mereka mau denger kita di dalam?” tanya dokter Akar. Kami mangut- mangut.             “Yah, benar juga sih,” jawabku. Semoga saja memang begitu.             “Oke. Baiklah. Althea, ayo kita coba lagi hack pintu bunker itu. Kita akan keluar nanti malam jam berapa dok?” tanya Kara.             “Jam 12 malam, saya yakin jam segitu udah sepi. Jam 12 malam, kita semua kumpul di sini. Bawa peralatan yang penting, kalau memang hotel ini berbahaya kita keluar dari sini malam itu juga.”             "Siap! Baik dokter!" ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD