Chapter 62

1929 Words
          Suara pecutan terdengar. Pria gendut itu memukuli orang asing dengan pecutan dengan kerasnya. Ia yang sedari awal sudah lemas kini semakin tidak berdaya. Aku tidak tahan melihat hal itu. Aku meringkuk, menahan tangis. Aku tak tahan melihatnya. Teriakan kesakitan terus terdengar. Pria gendut itu tidak memperdulikan meski si orang asing sudah terbatuk dan bilang “stop … stop …”             Ia tak kenal belas kasih. Ia terus memecut pria asing itu hingga pria asing itu jatuh pingsan. Ia menyeringai dan menyimpan kembali pecutan ke dalam kantongnya. Ia menendang orang asing itu hingga terpental tepat di bawah kaki Mitha.             “Mitha, kamu bereskan dia. Jika dia masih hidup, obati dia hingga sembuh. Jika tidak, kuburkan dia. Dia masih berguna untuk kita,” perintah pria gendut itu. Mitha mengangguk dan sedikit membungkukkan badannya. Ia menjetikkan jarinya dan datanglah beberapa robot mini berbentuk kapsul yang berpakaian perawat. Mereka mengeluarkan tandu, menaikkan orang itu ke atas tandu dan membawanya entah kemana.             “Tuan, yang lainnya apa di biarkan di sini saja?” tanya Mitha pada pria gendut itu.             “Ah ya. Keluarkan mereka semua!” pinta pria gendut itu. Mitha mengangguk dan mengeluarkan cambuk dari balik bajunya. Ia melayangkan pecutan ke arah mereka di dalam peti kemas.             “Get out!” pinta Mitha galak. Berbondong- bondong mereka keluar. Mereka terikat rantai di kaki dan tangannya di borgol. Mereka berjalan tertatih keluar peti kemas, seperti anak kecil yang baru belajar jalan. Sepertinya itu karena mereka terlalu lama duduk meringkuk di dalam sana hingga kaki mereka menjadi kaku.             Sebuah robot kecil datang menghampiri sambil membawa light stick. Ia menuntun orang- orang asing itu untuk keluar dari sana. Bau menusuk meruak keluar dari mereka. Entah sudah berapa lama mereka di dalam situ sampai bau seperti itu. Mereka berkumpul di depan pria gendut yang sedang duduk di singgasananya. Ia menikmati sebuah roti yang langsung habis dalam dua gigitan. Orang- orang asing menatapnya sambil menahan liur. Tampak mereka semua sangat kelaparan.             “Kalian mau?” tanya pria gendut itu. Mereka semua mengangguk sambil menjulurkan lidahnya seperti anjing. Pria gendut itu menyeringai. “Yah, karena saya pria yang baik hati, maka saya akan membagikan sedikit makanan saya kepada kalian,” ujarnya. Ia menjetikkan jarinya. Salah satu robot pelayan datang sambil membawa nampan yang berisi setumpuk roti.             Pria itu mengambil selembar roti dan melemparnya ke depan mereka. Mereka yang kelaparan dengan beringas memperebutkan selembar roti itu. Mereka saling dorong, saling pukul, hanya demi selembar roti. Pria gendut itu tertawa melihatnya seakan menonton sebuah pertunjukan sirkus.             “Ya ampun, bodoh sekali kalian. Itu hanya selembar roti, mana bisa di bagi dengan kalian berpuluh orang begitu,” ujarnya. Tawanya semakin kencang melihat mereka saling pukul untuk memperebutkan roti itu.             “Lihatlah mereka, tak jauh beda dengan kucing- kucing liar yang berebutan makanan!” ujarnya lagi. Aku menggertakkan bibir melihat tingkah laku pria gendut itu. Kurang ajar sekali dia! Memperlakukan manusia seperti binatang!             “Orang sialan … sini gue hajar!” gerutu Kara. Ia sudah bersiap maju dengan kepalan tinju, tapi Rendra dan dokter Akar menahannya.             “Sstt, jangan. Jangan emosi dulu,” ujar dokter Akar berusaha menenangkan. Rendra mengangguk.             “Iya Kar, diem aja dulu. Gawat ini kalo kita ketahuan,” lanjut Rendra. Kara menarik napas dalam dan akhirnya menurunkan kembali kepalan tinjunya.             “Dasar gendut sialan! Gak punya hati! Gue mampusin lu! Gue doain lu sengsara seumur hidup anjir!” Sumpah serapah keluar dari mulut Kara.             “Tenang aja Kar, orang begitu mah bakal ada hukumannya sendiri. Entah di dunia atau di alam akhir nanti,” balas dokter Akar. Kara menghela napas panjang.             “Tapi … mereka semua itu siapa?” tanyaku.             “Entahlah. Kalau menurut asumsi saya, mungkin saja mereka adalah orang- orang yang di perjualbelikan. Yah kalian tahulah maksudnya …” jawab dokter Akar. Rendra terkesiap mendengarnya.             “Ini … perdagangan manusia? Mereka yang mau di jual jadi b***k?” tanya Rendra memastikan. Dokter Akar mengangguk.             “Kurang lebih, begitu. Menurut saya ya, kalau saya lihat mereka di perlakukan seperti itu, kemungkinan besar itu benar,” jawab dokter Akar lagi.             “Mereka … di jual untuk apa?” tanyaku agak bingung. Seketika aku menyesal telah melontarkan pertanyaan seperti itu. Tentu saja jawabannya tidak akan mengenakkan. Dokter Akar mengangkat bahunya.               “Yah, untuk banyak hal sih. Bagaimana ya bilangnya … mereka bisa menjadi b***k, yah kau tahulah … bisa jadi organ mereka di jual, atau yang lebih baik, menjadi buruh tanpa upah. Itu yang lebih baik daripada semuanya,” jawab dokter Akar. Yah, aku sudah menduga jawabannya tak ada yang baik.             “Sekarang kita harus apa?” tanya Kara. “Membiarkan mereka begitu saja? Mereka bakal hilang harapan di masa depannya!” ujar Kara.             “Entahlah, saya juga gak tahu kita harus buat apa. Agaknya terlalu berat jika membebaskan mereka semua, sudah pasti ketahuan. Bisa- bisa kita yang di tangkap oleh mereka,” jawab dokter Akar.             “Terus gimana? Aku kasihan lihat mereka di lakuin kayak gitu,” tanyaku lagi. Mereka sangat tidak pantas di perlakukan seperti itu. Dokter Akar menompang dagu.             “Hem, untuk saat ini belum ada yang bisa kita lakukan. Terlalu beresiko, sepertinya. Saat ini kita hanya bisa memantau mereka dulu. Kita harus tahu kemana mereka di bawa,” jawab dokter Akar. “Karena itu, kita harus hati- hati. Jangan sampai ketahuan. Kita ikuti mereka diam- diam,” usul dokter Akar. Kami mengangguk.             Masih terdengar gelak tawa pria gendut itu. Suaranya malah semakin kencang daripada yang tadi. Kami kembali mengintip. Aku terkesiap kaget saat melihat mereka merayap sambil menjilat- jilat lantai yang sudah basah.             “Lihatlah, mereka minum seperti kucing! Mereka minum jus jeruk itu seperti seekor kucing jalanan!” ujar pria gendut itu di sela- sela tawanya. Aku mengepalkan tanganku. Jahat. Kejam. Pria gendut itu kembali melempar selembar roti dan salah seorang di antara mereka berhasil menangkapnya dengan mulutnya.             “Good boy, good boy. Anjing baik memang,” pujinya. Ia tersenyum lebar dan tampaklah gigi emas berkilau di sana.             “Mitha,” panggil pria gendut itu. Mitha mendongak dan mendekati pria gendut itu. Ia sedikit membungkukkan badannya.             “Iya tuan,” sahut Mitha.             “Kau bawa mereka semua ke dalam bunker, berikan mereka makan yang sudah saja sediakan dan ganti pakaian mereka,” perintah pria gendut itu. Mitha mengangguk.             “Baik tuan,” ujar Mitha.             “Saya kembali dulu. Saya akan menemui mereka di bunker nanti. Jangan ada yang lepas satupun, mereka tangkapan yang bagus untuk kita. Atau kamu yang saya kasih hukuman. Ingat itu!” ancam pria gendut. Mitha kembali mengangguk.             “Baik tuan, saya pastikan tidak akan ada yang terlewat,” jawab Mitha. Pria gendut itu mangut- mangut.             “Bagus. Saya kembali dulu ke ruangan saya. Kau, tolong sediakan makan malam saya. Saya lapar lagi melihat manusia- manusia menjijikkan itu,” perintah pria gendut itu pada robot yang berdiri di sampingnya. Robot itu hanya mengangguk. Ia pun menarik tuas yang ada di singgasananya dan kursi itu pun melayang sendiri, pergi meninggalkan ruangan itu.             Mitha kembali mengeluarkan cambuknya. Ia mengayunkan cambuk itu ke lantai hingga mengeluarkan suara pecutan yang kencang. Mereka memandang Mitha dengan tatapan takut. Mitha menjentikkan jarinya dan datanglah robot- robot berpakaian polisi menghampirinya.             “Kalian, bawa mereka ke dalam bunker. Sekarang juga. Jangan sampai ada yang lolos!” perintah Mitha. Robot- robot polisi itu memberi hormat kepada Mitha dan mengeluarkan pentungan. Mereka memandu kumpulan orang asing itu sambil sesekali memukul mereka dengan pentungan.             “Ayo kita ikuti mereka,” usul dokter Akar. ****             Kami berusaha mengikuti mereka sambil terus mengintip dari ventilasi udara yang kecil. Mereka di bawa entah kemana oleh robot- robot polisi itu. Mereka menyusuri sepanjang lantai 1 sedari tadi dan berhentilah mereka di jalan buntu.             “Eh buntu nih, gimana?” tanyaku.             Dokter Akar berdesis dan menaruh jari telunjuk di bibirnya. Ia menunjuk keluar sana. Terlihat di sana salah seorang robot polisi maju dan mengetuk dinding itu. Tiba- tiba sebuah hologram muncul untuk scan robot itu dan terbukalah sebuah pintu rahasia. Aku melongo melihatnya.             “Mungkin itu bunkernya,” ujar Rendra berbisik. Kami semua mengangguk. Mereka semua masuk ke pintu rahasia itu satu persatu. Setelah semua masuk, pintu itu kembali tertutup dengan otomatis.             “Ini gimana kita mau susul mereka?” tanyaku.             “Hem,” gumam Rendra. Ia memperhatikan sekeliling. “Sepertinya tangga darurat ini gak ada terhubung dengan bunker ya,” gumamnya.             Kara mendekati dinding di sebelahnya dan menempelkan dirinya ke dinding. Ia memukul dinding itu di bagian yang berbeda, lalu mangut- mangut mengerti.             “Hem, iya. Bunker ini ada di sebelah sini memang. Mereka hanya terpisahkan dengan tembok saja. Kalau misalnya kita hancurkan tembok ini sih bisa aja kita terhubung ke bunker itu,” ujar Kara sambil mengetuk dinding.             “Ya, kita lubangi pake apa dindingnya? Pake bom?” tanyaku. Kara menjentikkan jarinya.             “Bingo! Itu bisa aja sih,” jawab Kara.             “Heh b**o! Kalo gitu mah seluruh gedung jadi hancur gilak!” timpal Rendra.             “Hem, ya udah pasti sih,” gumam Kara. Aku menepuk jidat. Hadeh, ada aja emang si Kara ini.             “Sepertinya jalan satu- satunya hanya lewat pintu rahasia itu, tapi kita gak bisa ke sana sekarang,” ujar dokter Akar.             “Agaknya sih gak bisa masuk juga dok, kan itu di scan. Mana ada data kita di sini,” bantah Rendra.             “Kamu bisa hack gak jaringan di situ Kar?” tanya dokter Akar pada Kara. Ia mengeluarkan mr. communicator dan mengecek sesuatu di sana. Ia mangut- mangut.             “Entahlah, mungkin bisa. Saya coba dulu dok …” jawab Kara. Ia mengutak- atik mr. communicator di tangannya. Tak lama, mr. communicator Kara bergetar. Kara mengecek kembali dan membelakkan mata.             “Ini gawat!” ujar Kara panik.             “Hah? Gawat kenapa? Kenapa?” tanya Rendra tak kalah panik.             “Mitha lagi jalan ke kamar kita!” jawab Kara sambil menunjukkan mr. communicatornya. Mr. communicator ini sudah terhubung dengan CCTV di hotel. Kami melihat Mitha sedang berjalan menuju lift.             “Ayo ayo cepat kita balik!” ****             Kami menaiki anak tangga secepatnya. Kami lari sekencang mungkin begitu tiba di lantai 4. Kami membuka pintu tangga darurat dan berlari sekencangnya menuju kamar. Kami tiba dengan nafas terengah- engah. Syukurlah, kami bisa tiba terlebih dahulu sebelum Mitha.             Kami jatuh terduduk di sofa ruang tamu. Kami mencoba mengatur nafas. Kami tercekat saat mendengar suara bel dari pintu depan. Serempak kami mendorong dokter Akar ke pintu. Dokter Akar berdecak dan membuka pintunya. Tampak Mitha sudah berdiri di depan sana.             “Selamat siang dokter Akar,” sapa Mitha. Dokter Akar mengangguk.             “Ya, selamat siang juga Mitha,” balas dokter Akar. “Ada apa ya Mit kemari? Saya kan gak panggil kamu?” tanya dokter Akar.             “Saya hanya ingin bilang kalau kalian sudah bisa turun ke lantai bawah. Perbaikan pipanya sudah selesai. Kami minta maaf jika hal itu sudah membuat kalian tidak nyaman,” jelas Mitha. Ia membungkukkan badannya.             “Hah, gak apa kok. Syukurlah kalau bisa selesai lebih cepat,” ujar dokter Akar. Ia nyengir lebar. Mitha mendonggakkan kepalanya.             “Anda baik- baik saja dokter? Sepertinya anda cukup berkeringat. Apa AC di ruangan ini tidak berfungsi?” tanya Mitha. Dokter Akar mengeleng.             “Oh tidak. Saya baik- baik saja kok. Saya … tadi habis berjemur sambil senam dengan anak- anak. Ya kan?” tanya dokter Akar kepada kami. Ia mengedipkan matanya sebagai kode. Kami mengangguk bersama dan mengacungkan jempol.             “Iya Mith, senam biar sehat hehe …” jawab Kara. Mitha mengangguk.             “Baiklah. Jika anda perlu bantuan, silakan panggil saya. Saya pamit dulu. Permisi.” Mitha sedikit membungkukkan badannya dan pergi meninggalkan ruangan. Dokter Akar langsung menutup pintu dan jatuh terduduk di depan pintu. Ia menghela napas lega.             “Hah syukurlah masih sempat.” ****  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD