Chapter 61

1628 Words
          Kami melongokkan kepala dari pintu, celingak celinguk memperhatikan sekeliling. Setelah di rasa aman, kami mengendap- endap keluar dari ruangan. Kara yang maju paling depan. Sesekali aku melihat ke atas, memeriksa apakah ada CCTV atau tidak di sana. Tapi nihil, tak nampak ada penampakan CCTV di sana. Mungkin ada ya, tidak mungkin toh fasilitas umum seperti ini punya CCTV.             “Kar, jangan lihat ke atas. nanti kebaca mukanya sama cctv!” bisik Rendra.             “Hah? Memang dimana CCTV nya?” tanyaku. Dokter Akar menaruh jari telunjuk di bibirnya dan mendelikkan matanya seperti menunjukkan sesuatu. Aku melirik ke atas. Ah benar, memang ada CCTV di sudut ruangan. Tapi CCTV ini seperti berkamusflase dengan warna cat dinding jadi tampak samar. Aku mangut- mangut.             “Jangan lihat ke atas, jalan terus aja ngendap- ngendap. Kalau bisa agak mepet aja ke dinding, biasanya agak deket sama titik butanya CCTV,” pinta dokter Akar. Kami mengangguk dan mengikuti arahan dokter Akar. Kami berjalan sedikit mepet ke tembok dan menundukkan kepala.             Akhirnya kami tiba di lift. Kami tersentak kaget saat melihat lift mati. Ini di luar dugaan. Sudah pasti ini ada apa- apa di bawah sana.             “Gimana ini? Kita turun lewat mana?” tanya Kara berbisik.             “Ada tangga darurat gak?” tanya dokter Akar. Kami semua mengangkat bahu. “Kita cari tangga darurat. Kita turun lewat sana,” pinta dokter Akar. Kami mengangguk dan kembali berpencar.             Tak tampak ada pintu yang berbeda di sini. Biasanya pintu darurat itu bentuknya berbeda bukan dari pintu yang lain? Kami memeriksa semua pintu yang ada. Semuanya terkunci dengan rapat, terkecuali pintu kamar kami. Kami kembali berkumpul di depan lift.             “Ada gak?” tanya dokter Akar. Kami mengeleng bersamaan. Dokter Akar menghela napas panjang.             “Jadi gimana ini kita mau turun. Kita terjebak di lantai ini,” gumam dokter Akar.             “Fix deh ini ada apa- apa emang di bawah. Kalau engga ya gak perlu kali matiin lift,” timpal Kara. Kami mengangguk.             “Sekarang gimana?” tanyaku.             Semua bergeming. Hening. Sepertinya mereka juga tidak tahu harus berbuat apa. Kami benar- benar terperangkap di dalam sini. Aku menjetikkan jariku.             “Oh iya! Mungkin aja begini!” gumamku. Semua mata menatapku dengan tatapan berbinar.             “Gimana? Gimana?” tanya Rendra antusias.             “Kamu punya jalan keluarnya nak?” tanya dokter Akar tak kalah antusiasnya.             “Em, aku gak yakin sih ini berhasil. Tapi kalau aku denger dari percakapan di dinding kemarin, kayaknya pintu daruratnya juga ada di balik tembok ini,” jawabku sambil memegang tembok di sampingku.             “Hem, masuk akal. Bisa jadi sih,” gumam Kara.             “Ya sudah, kita semua periksa ya setiap sudut dinding di sini. Kita raba- raba, kali aja ada yang janggal,” pinta dokter Akar. Kami mengangguk dan kembali berpencar. Kami menempelkan diri ke dinding dan merabanya, kali saja menemukan sebuah pintu rahasia di baliknya.             Pelan- pelan kami berjalan hingga ke sudut ruangan. Tapi sepertinya tak juga menemukan yang janggal. Aku menghela napas panjang. Nyari pintu darurat aja kayak nyari jarum di tengah samudera luas. Susah banget. Aku bersandar di dinding dan tanpa sadar, badanku jatuh terjungkal.             “Haduuh … Haduh …” Aku meringis sambil mengelus pantatku. Aku terbelak melihat sekitar. Hei, ini pintu darurat yang kami cari! Ada tangga naik dan turun di sini. Aku melambaikan tangan keluar.             “Hei! Hei kalian!” teriakku memanggil yang lain. Mereka menghampiriku dan berdesis.             “Ssstt! Jangan teriak Teh! Ini CCTV bisa rekam suara!” Rendra mengingatkan. Aku nyengir lebar.             “Hehehe … sori deh. Eh tapi tunggu dulu, kalian lihat deh. Aku udah ketemu pintu darurat!” ujarku memberitahu. Mereka melongo sesaat dan masuk ke dalam pintu darurat.             “Wah hebat kamu bisa temuin! Kami udah cek setiap sudut tapi gak ketemu juga,” ujar Rendra. Aku nyengir lebar.             “Yah, aku gak sengaja juga sih hehe …” balasku.             “Ya udah yuk, kita turun terus ke bawah. Tutup pintunya kayak semula,” pinta dokter Akar.             “Eh bentar,” ujar Kara. Ia mengeluarkan mr. communicator dari kantong celananya. Ia mengutak- atik entah apa.             “Ngapain sih Kar?” gerutu Rendra.             “Bentar- bentar, entaran juga kelar,” jawab Kara. Ia masih sibuk dengan mr. communicator. “Nah, beres. Ayok kita pergi,” ajak Kara. Ia merangkul Rendra.             “Lu ngapain sih tadi?” tanya Rendra.             “Sori sori, kalo mesti nunggu dulu. Gue tadi coba hack CCTV, gue hapus rekam jejak kita,” jawab Kara. Kami terkesiap mendengarnya.             “Wih gila lu. Mantap banget. Kok bisa terhubung ke mr. communicator elu?” tanya Rendra takjub.             “Gampang aja. Tapi ini sifatnya sementara, jadi kalau di cek ke trash bin ya bakal ketemu dan bisa di restore ulang,” jawab Kara. Dokter Akar mengacungkan jempol.             “Kerja bagus kalian! Kalo begini mah jadi lumayan mudah urusannya. Ayo kita buruan turun ke bawah!” ****             Kami tiba di lantai 1 dengan langkah terengah- engah. Lelah juga ternyata turun dengan tangga, apalagi tangga di sini seperti sebuah jebakan lain. Harus mencari tangga darurat lagi untuk turun, karena tangganya tidak bersambung begitu. Kami berlarian sekencang mungkin menyusuri lorong agar semakin mudah dalam penghapusan rekaman CCTV.             “Kita udah sampai …” gumam dokter Akar.             “Bentar dok … capek …” pinta Rendra. Ia jatuh terduduk di sebelah pintu darurat. Kami pun duduk lesehan di lantai, mencoba mengatur napas agar lebih stabil. Kami tak mendengar suara ribut di luar sana. Agak aneh, kami sudah tiba di lantainya tapi malah suasananya hening.             “Kok hening ya?” tanya Kara. Kami saling lirik. Kami mengintip dari sela- sela pintu darurat. Lantai 1 malah sepi tak ada orang. Bahkan robot- robot yang biasanya berseliweran pun tak ada. Aneh sekali.             “Sepi banget ya,” gumamku pelan.             “Eh itu apa?” tanya Kara sambil menunjuk sesuatu. Kami melirik ke arah yang di tunjuk. Ada Mitha di sana, sedang mendorong sebuah peti kemas besar. Hanya ada sedikit sekat di peti kemas itu yang di tutupi dengan jeruji besi. Ternyata Mitha tak sendirian, ada beberapa robot lain yang mengekor dari belakang.             Mitha berhenti di tengah ruangan. Ia menurunkan bunker itu di sana. Robot- robot yang lain mengerumuni peti kemas itu.             “Semua sudah siap tuan ..” ujar Mitha. Tiba- tiba, sebuah kursi turun dari langit- langit. Kursi itu berbalik dan tampaklah sosok yang tambun dan botak. Wajahnya penuh dengan codetan. Ia tersenyum licik pada Mitha.             “Kerja bagus Mitha, kerja bagus ..” ****             “Ih geser sedikit aku gak nampak,” gerutu Rendra. Ia mendorong Kara hingga Kara jatuh ke samping. Kara meringis kesakitan. Memang lubang ini hanya ventilasi udara kecil seukuran batu bata, jadi tidak semua bisa melihat ke sana.             Aku membelakkan mata kaget saat Mitha melirik ke arah ventilasi udara. Aku menahan napasku tanpa sadar.             “Eh eh Mitha nengok kemari,” bisikku pelan. Mitha melirik ke arah ventilasi dengan seksama. Ia berjalan menghampiri ventilasi. Kami terkesiap dan bersembunyi. Kami menutup mulut masing- masing dengan tangan. Kami menahan napas saat melihat Mitha mengintip dari sela- sela ventilasi. Kami berdoa semoga saja kami tidak ketahuan oleh Mitha.             “Mitha ..” panggil seseorang. Mitha menoleh. “Sedang apa kamu di sana?” tanyanya lagi.             “Ah, tidak apa- apa,” jawab Mitha. Kami menghela napas lega saat Mitha mulai menjauh dari ventilasi.             “Jangan ribut,” bisik dokter Akar pelan. Kami mengangguk. Kami kembali mengintip dari balik ventilasi. Mitha mendatangi sosok gendut dan besar itu.             “Buka peti kemas itu!” perintah pria gendut besar itu. Mitha mengangguk. Semua robot mengerumuni peti kemas. Mitha membuka pintu bunker yang sangat besar itu. Kami terkesiap saat melihat isi dalam peti kemas.                  Sekumpulan orang berada di sana, duduk berhimpitan dalam satu bunker sempit. Mereka semua tampak lusuh. Mereka menundukkan wajah dalam. Bau menyengat menyeruak saat peti kemas itu terbuka. Sepertinya mereka sudah di dalam bunker itu dalam waktu yang cukup lama.             “Well, well, lihatlah wajah- wajah menggemaskan ini.” Pria gendut itu turun dari singasananya. Ia mendatangi salah seorang yang duduk di depan. Ia menarik dagu orang tersebut hingga mendongak menatapnya. Orang itu menatapnya dengan tatapan takut.             “Ya ampun, tampan sekali kamu rupanya,” goda pria gendut itu. “Saya suka dengan pria tampan,” lanjutnya sambil menjilati bibirnya.             Pria itu meneteskan air mata. Dia menangis kencang dan berbicara dengan bahasa asing. Yah, penampilannya memang tak seperti orang asia pada umumnya. Matanya berwarna biru dengan hidung mancung dan kulit putih, sudah di pastikan mereka orang asing.             “Kamu saya ya yang ikut saya? Mau kan?” tanya pria gendut itu. Orang asing itu mengeleng kuat. Tapi tangannya yang di borgol di tarik paksa oleh pria itu ke sebuah ruangan. Ruangan itu terkunci rapat. Kami tidak tahu apa yang di lakukan padanya, tapi kami dapat mendengar teriakan dengan jelas dari ruangan itu. Teriakan itu tak berhenti selama beberapa menit lamanya. Kadang teriakan itu di selingi dengan desahan. Dokter Akar menutup telingaku saat desahan mulai terdengar. Aku merinding ketakutan.             Ini mengerikan. Itu teriakan penuh rasa sakit, aku yakin itu. Tak lama, pria gendut itu keluar dari ruangan. Ia menyeringai lebar dengan pipi dan jasnya yang terkena noda darah. Aku terkesiap melihatnya. Ia keluar sambil menggigit setangkai mawar di bibirnya. Ia menyinggungkan senyum lebar. Senyum penuh kepuasan.             “Wah, menyenangkan sekali di dalam sana, bukan begitu … tampan?” tanya pria gendut itu sambil menarik rantai yang di bawanya. Orang asing itu keluar dari dalam ruangan dengan langkah tertatih. Tubuhnya berlumuran darah di sana- sini. Wajahnya lebam membiru. Napasnya mulai terengah- engah. Aku tercekat melihatnya.             “Sepertinya kamu senang sekali ya … tampan ..” ujar pria gendut itu sambil mendekati orang asing yang sudah duduk lemas di lantai. Darah bercipratan mengotori lantai.             “Ya ampun, kamu lemas sekali. Kita terlalu lama bermain di dalam ya …” gumamnya. Ia mengeluarkan pecutnya.             “Ayo kita main lagi …” ****  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD