Chapter 60

1120 Words
          “Hah?!” ujar dokter Akar dan Rendra serempak. Mereka semua melongo sesaat. Aku turun pelan- pelan dari pembatas balkon itu.             “Kalian lihat di sana.” Aku menunjuk ke pagar balkon. Rendra dan dokter Akar melirik ke arah yang di tunjuk.  “Kalian tidak melihat ada hal yang aneh di sana?” tanyaku.             “Apanya yang aneh?” tanya dokter Akar bingung. Kara menghampiri kami dan melirik ke arah yang aku tunjuk.             “Apaan sih? Kamu nunjuk apaan? Gedung di ujung sana?” tanya Kara. Aku berdecak sebal dan menghentakkan kakiku.             “Ih bukan itu! Dih! Sini!” Aku menarik paksa tangan Kara. Aku membawanya ke pembatas balkon dan melayangkan tangannya ke depan. “Gimana? Kamu merasa ada yang janggal gak?” tanyaku.             Kara terdiam, tak menjawab. Ia melongo. Ia menatapku dengan wajah kaget tak percayanya.             “Ini apa?” tanyanya padaku. Aku mengangkat bahu.             “Aku juga gak tahu ini apa,” jawabku. “Aneh kan?” tanyaku balik. Kara mengangguk pelan dan menatap tangannya. Rendra dan dokter Akar datang menghampiri kami.             “Memang apa sih yang aneh?” tanya Rendra.             “Ren! Ren! Gilak! Ini hotel kayak ada barrier tau!” jawab Kara setengah berteriak.             “Hah? Barrier?” tanya Rendra bingung. Kara menarik tangan Rendra dan dokter Akar.             “Nih kalian pegang deh biar ngerti!” pinta Kara.             “Heh apaan sih Kar ..” gerutu Rendra. Kara tidak menggubrisnya. Ia menarik Rendra dan dokter Akar ke pinggir balkon dan melayangkan kedua tangan mereka ke udara. Mereka terkesiap dan melongo sesaat.             “Ini apa?” tanya mereka berbarengan.             “Sudah kubilang, itu barrier!” jawab Kara penuh yakin. Mereka menatapku. Aku mengangkat bahuku.             “Aku juga gak tahu ini apa, kan aku baru temuin juga,” jawabku.             “Tapi agaknya gak salah juga yang Kara bilang. Ini kayak barrier pelindung gitu ga sih, tapi gak kasat mata,” lanjutku. Aku kembali melayangkan tanganku. Ya, aku bisa merasakan ada sebuah dinding transparan di sana. Rasanya seperti menyentuh gelembung, namun tak keset.             “Gimana kamu bisa sadar akan hal ini?” tanya dokter Akar.             “Karena silau cahaya matahari,” jawabku. “Lihat! Seharusnya silau cahaya matahari di pantulin dari kaca pintu ini kan. Tapi malah di pantulin dari sini!” Aku menunjukkan ke pintu kaca. Aku membuka pintu kaca itu dan masuk ke dalam. Silau matahari langsung masuk ke dalam, tapi terpantul dari barrier pelindung itu, bukan dari kaca pintu.             “Ini beneran barrier atau apa deh? Kasat mata begini,” tanya Rendra lagi.             “Gimana kalau kita coba saja?” tanya Kara. Kami mengernyitkan alis. “Kalau memang ini barrier pelindung, harusnya anti pecah kan?” tanyanya lagi. Ia memegang erat kursi santai di balkon.             “Heh, jangan …!!”             Terlambat. Kara melempar kursi itu sekuat tenaga keluar sana. Kursi itu tidak terlempar jauh, malah terpantul dan jatuh ke bawah sana dan hancur berkeping- keeping. Kami terkesiap melihat hal itu.             “Yup, ini barrier,” ujar Kara. “Udah gak salah lagi ini mah.”             “Tapi kenapa mereka butuh barrier seperti ini?” tanya Rendra.             “Bukannya barrier itu gak bisa di masukin oleh siapa pun ya? Kecuali orang dalam itu sendiri,” prediksi dokter Akar.             “Ah iya, bener juga ya,” gumamku.             “Biasanya barrier ini di gunain sama orang- orang jas hitam bukan sih? Mereka kan anggota organisasi hitam yang biasanya seludupin barang- barang berbahaya,” timpal Kara. Kami melirik Kara.             “Eh masa sih … jangan jangan …” gumamku.             Terdengar suara bel berbunyi dari pintu masuk. Kami tersentak kaget. Kami buru- buru masuk ke dalam dan duduk manis di ruang tamu. Dokter Akar berjalan menuju pintu masuk dan membukanya.             “Selamat pagi tuan dan nona sekalian,” salam Mitha. Ia sedikit menundukkan badannya. Dokter Akar ikut menundukkan badannya.             “Ah ya, selamat pagi juga Mit,” balas dokter Akar. “Ada apa ya Mit? Kami kan gak panggil kamu?” tanya dokter Akar.             “Tidak. Saya hanya ingin bertanya, apakah semalam kalian bisa tidur dengan nyenyak? Apakah suara berisik di sana masih bisa terdengar?” tanya Mitha.             “Oh enggak kok Mit. Semua aman terkendali. Semuanya pada tidur nyenyak, yak an guys?” tanya dokter Akar pada kami. Kami mengangguk dan mengacungkan jempol.             “Aman Mit, tidur sampai mimpi pokoknya,” celetuk Kara. Mitha tersenyum tipis dan mengangguk.             “Baguslah jika begitu. Baiklah, saya pamit dulu. Silakan panggil saja kalau ada apa- apa,” pinta Mitha. Kami mengangguk.             “Baik Mit. Terima kasih banyak ya,” balas dokter Akar. Mitha sedikit membungkukkan badannya dan melangkah keluar ruangan. Baru saja keluar beberapa langkah, Mitha berhenti. Ia membalikkan badannya.             “Sedikit pemberitahuan, saat ini sedang ada perbaikan pipa di lantai bawah. Jadi kalian tidak bisa ke lantai bawah untuk sementara waktu hingga perbaikan selesai,” ujar Mitha memberitahu. Dokter Akar mangut- mangut.             “Oh, baiklah. Terima kasih atas infonya,” balas dokter Akar. Ia sedikit membungkukkan badannya. Mitha balas membungkukkan badan dan kembali menyusuri lorong. Setelah Mitha agak jauh, dokter Akar menutup pintu. Kami menghela napas lega.             “Tadi Mitha ada bilang apalagi dok?” tanya Rendra. Dokter Akar duduk di sebelah Rendra.             “Oh, dia kasih tau kalau kita gak bisa turun ke bawah, karena lagi ada perbaikan pipa. Untuk sementara waktu aja sih, sampai itu selesai,” jawab dokter Akar.             “Itu beneran emang ada perbaikan pipa?” tanyaku curiga. Dokter Akar mengangkat kedua bahunya.             “Saya juga tidak tahu. Tapi itu yang di katakan oleh Mitha,” ujar dokter Akar.             “Kalau memang ada perbaikan, harusnya kedengeran suara bising gak sih?” tanyaku lagi.             “Ih b**o, kan udah di setel kedap suara semalam! Gimana sih,” jawab Kara ketus. Aku nyengir lebar. Ah iya juga ya.             “Eh iya ya, aku lupa hehe …” ujarku.             “Tapi yah emang agak curiga juga sih. Memang bener apa ada perbaikan pipa di bawah?” tanya Rendra penuh selidik.             “Mau coba pastikan?” tawar Kara. Kami menatap Kara dan mengernyitkan alis. “Yah, kita diam- diam aja turun ke bawah. Jangan sampai tahu Mitha gitu,” lanjutnya.             “Sebenarnya itu bisa aja sih ya,” gumam dokter Akar.             “Iya, itu bagus sih. Kali aja kita bisa temuin hal lain kan di luar sana, bisa jadi bukti lain,” timpal Rendra. Kara bangkit dari duduknya.             “Ya sudah, ayo kita semua pergi cek ke lantai bawah,” ajaknya.             “Gak apa nih? Saya kok malah takut ya ..” gumam dokter Akar. Kara berdecik.             “Belum juga di coba udah takut. Yaudah dokter di sini aja, jaga kamar,” ujar Kara. Aku dan Rendra berdiri. Dokter Akar mengeleng.             “Gak, saya ikut!” ujarnya.             “Ya sudah. Ayo semuanya, kita cek ada apa di lantai bawah.” ****               
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD