Chapter 59

2142 Words
         Aku tidak bisa tidur hingga matahari memancarkan sinarnya ke sela- sela gorden kamar. Aku terjaga semalaman sejak suara gaduh perbaikan pipa terdengar. Pikirku melayang, teringat akan percakapan di balik tembok kemarin. Entah kenapa percakapan itu terasa mencurigakan bagiku. Percakapan itu memang terkesan percakapan biasa, tapi aku yakin ada pembahasan lain sebelumnya dan itu di rahasiakan dari para tamu.             Aku juga mulai curiga dengan hotel ini setelah mendengar percakapan kemarin. Tadinya aku terlena dengan semua fasilitas di sini yang cukup menakjubkan, sampai lupa kalau ini semua gratis. Aneh bukan? Jaman sekarang di mana sih ada yang namanya gratisan? Kalau pun gratis, pasti fasilitas yang di kasih itu ya asal jadi saja tidak niat banget seperti saat ini. Ada sesuatu yang di sembunyikan oleh pihak hotel.             Pintu kamarku di ketuk oleh seseorang. Aku menggeliat dan turun dari kasur dengan malas.             “Althea, bangun nak! Sarapan udah siap,” panggil dokter Akar dari luar sana.             “Iya dokter,” jawabku. Aku  menguap lebar. Ngantuk. Aku pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan sikat gigi. Yah, kuharap dengan cuci muka, wajahku yang lusuh ini bisa sedikit lebih baik. Ternyata sama saja, itu tidak mengubah apapun.             “Ah sudahlah,” gerutuku. Aku lap wajah basah dengan handuk dan pergi keluar kamar. Sudah ada Kara dan Rendra di meja makan, menyantap sarapan yang ada. Sarapan pun tak kalah banyaknya dengan makan malam. Ada s**u dan jus jeruk untuk minumnya. Untuk makanannya, ada waffle, pancake, sereal, dan roti bakar serta telur mata sapi setengah matang. Aku menarik kursi di sebelah Rendra.             “Pagi Teh,” sapa Rendra ramah. Ia mengoleskan roti bakarnya dengan selai stroberi.             “Pagi juga Ren,” sapaku balik. Aku mengambil seporsi pancake dan menyiraminya dengan sirup maple. Tak lupa juga dengan tambahan krim kocok sedikit dan blueberry di atasnya.             “Loh kamu kenapa matanya kok agak merah gitu? Kamu gak tidur ya semalaman?” Tanya Rendra sambil memegang wajahku. Aku yang sedang mengunyah nyaris saya mengeluarkan isi dalam mulut. Aku menepis tangannya. Kebiasaan banget deh si Rendra ini.             “Kamu begadang Teh? Kenapa?” Tanya dokter Akar.             “Halah, palingan dia gak biasa tidur di tempat baru,” jawab Kara. Ini tidak sok tahu, ini benar. Memang aku susah tidur kalau bukan di kamarku sendiri. “Biasalah ya anak manja, susah di ajak pergi begini,” lanjutnya.             Aku berdecik kesal. Dih, kirain Kara memang perhatian denganku, makanya dia sadar akan kebiasaanku yang satu itu. Eh ujung- ujungnya malah jelek jelekin juga, nyebelin.             “Oh ya bener juga, kemarin juga kamu susah tidur kan waktu di rumahku,” gumam Rendra. Aku tidak menggubris pernyataan Rendra. Biarkan mereka memiliki asumsi sendiri. Aku memakan pancake dengan lahap.             “Dok gak ada kopi?” Tanya Kara pada dokter Akar.             “Mau kopi? Biar saya pesankan,” pinta dokter Akar. Kara mengangguk senang.             “Hidih, memang kamu kuat minum kopi? Masih anak- anak juga,” timpalku. Kara menatapku tajam. Ia berdecik kesal.             “Ah iya, benar juga. Kamu memang kuat minum kopi kan?” Tanya dokter Akar. Kara berdecik kesal.             “Kuat dok. Pesan aja, aman kok,” jawab Kara. Dokter Akar mengangguk. Ia bangkit dari duduk dan pergi menekan tombol di samping pintu masuk.             “Oh ya dok, sekalian English breakfast ya!” lanjut Kara.             “Kamu belum kenyang juga? Kamu udah dua kali nambah waffle loh,” Tanya dokter Akar tak yakin.             “Belum. Masih laper. Ini mah cuma jadi kotoran gigi doang dok, nempel bentaran doang,” jawab Kara. Dokter Akar geleng- geleng kepala.             “Dasar perut karet,” gumamku pelan. Kara menatapku tajam. Ia mendengus.             “Biarin! Yang penting tetep langsing,” jawab Kara sambil membusungkan dadanya. Yah, memang sih badan Kara termasuk bagus untuk anak seusianya.             “Cacingan kali lu ya, udah makan segentong badan segitu juga,” ujarku.             “Heh enak aja, ini namanya gen tau gen! The power of gen!” balas Kara. Dokter Akar kembali tak lama kemudian sambil membawa sepiring English breakfast dan secangkir kopi pesanan Kara.             “Wah, makasih dokter Akar ganteng!” goda Kara saat dokter Akar menaruh piring di tangannya ke depan Kara. Dokter Akar geleng- geleng kepala.             “Kamu ini. Jangan terlalu kenyang juga ya makannya, jangan kalap apa- apa di makan.” Dokter Akar mengingatkan. Kara hanya menjawabnya dengan anggukan. Ia sibuk menyuapkan sosis bakar yang besar ke dalam mulutnya.             “Teh kamu mau pesan apa?” Tanya dokter Akar. Aku mengeleng.             “Gak apa kok, saya mah pancake ini aja juga udah kenyang kok,” tolakku halus. Dokter Akar menuangkan segelas jus jeruk dan memberikannya padaku.             “Makasih dok,” ujarku menyinggungkan senyum tipis. Dokter Akar membalas senyumanku. Aku menegak sedikit jus jeruk itu.             Aku melirik sekitar. Ini terasa seperti pagi yang biasa saja bagi mereka. Sepertinya mereka sangat menikmati fasilitas yang ada di hotel ini, apalagi Kara yang malah kalap makan segala macam. Aku mengunyah kembali pancake secara perlahan. Mereka apa tidak merasa curiga sedikit pun dengan semua ini? Santai sekali mereka. Apa ini semua hanya perasaanku saja ya?             “Kamu kenapa Teh?” Tanya Rendra sambil menyikutku. Aku tersadar dari lamunan. “Serem banget mukanya. Ada salah ya kami? Atau kamu lagi ada masalah apa?” Tanya Rendra. Aku mengernyitkan alis.             “Hah? Emangnya kenapa deh? Aku biasa aja kok tampangnya,” jawabku.             “Enggak enggak, kamu tadi galak banget mukanya bener. Itu alis mengkerut banget kayak apaan deh gitu. Kepikiran sesuatu?” Tanya Rendra lagi. Aku terdiam sesaat. Kayaknya mimik wajahku tak bisa di kontrol deh. Aku menghela napas panjang.             “Kalian … apa gak merasa aneh dengan semua ini?” tanyaku. Oke, mungkin ini sudah saatnya mereka tahu. Kara berhenti mengunyah dan mengernyitkan alisnya.             “Aneh apanya? Ini English breakfast nya enak kok. Sarapan yang lainnya juga enak. Apanya yang kurang?” Tanya Kara lagi. Aku menepuk jidat.             “Bukan begitu maksudnya Kara …” jawab Rendra.             “Lah jadi maksudnya apa?” Tanya Kara lagi. Dih ini anak, lagi serius juga malah di becandain.             “Diem deh Kar. Kalo gak aku pukul nih,” ancamku. Kara nyengir lebar.             “Jadi, maksud kamu ngerasa aneh apa? Kamu gak nyaman di sini?” Tanya dokter Akar.             “Hem, bukan gak nyaman sih… ya jujur aja di sini mah aman- aman aja, apalagi kan fasilitasnya serba ada semua gitu. Cuma, kalian emangnya gak ngerasa aneh? Bisa ngerasain secara cuma- cuma begini?” tanyaku lagi.             “Tapi Althea, kan kayak yang saya bilang semalam, kayaknya ini bentuk promosi mereka ke kita,” jawab dokter Akar. Aku mengeleng.             “Gak, aku gak yakin dok. Pasti ada yang mereka sembunyikan. Saya yakin itu,” bantahku tegas.             “Kenapa kamu ngerasa begitu?” Tanya Rendra. Aku menghela napas panjang.             “Sebenarnya …” ****             Aku menceritakan semua yang aku dengar di balik tembok pada mereka. Mereka mendengarkan dengan seksama. Hening sesaat setelah aku menceritakan semuanya.             “Jadi begitu … makanya aku bilang kalau hotel ini terasa aneh ..” ujarku mengakhiri cerita. Dokter Akar mangut- mangut.             “Yah, kali aja sih itu percakapan biasa gak sih. Kan walaupun gratis toh kita tamu mereka juga. Pastilah kasih pelayanan yang terbaik gak sih,” komentar Kara.  Aku mengeleng kencang.             “Gak, aku yakin pasti ada yang aneh. Hello, mana mungkin di jaman sekarang ada yang gratis dengan fasilitas kayak gini? Gak ada, sebaik apapun orang gak ada yang sebegitunya banget,” bantahku.             “Yah, gak salah sih memang apa yang Althea bilang,” ujar dokter Akar. “Ini semua emang terasa janggal dari awal bagi saya, sebenarnya. Tapi saya terlalu terlena dengan segala fasilitas yang ada di sini,” lanjutnya.             “Yah, memang sih. Kayaknya kita terlalu keenakan di sini,” timpal Rendra.             “Ya kan? Bukannya ini semua terlalu mencurigakan?” tanyaku berusaha meyakinkan mereka lagi. “Aku takutnya ini malah perangkap. Maksudnya, bisa jadi kita di culik dan di jebak di dalam sini gitu,” asumsiku.             “Hem, itu bisa juga sih. Duh, mana saya pesan selama seminggu di sini,” gerutu dokter Akar.             “Gimana kalau gini aja,” ujar Rendra. “Kita cari bagian yang aneh dari hotel ini, dari kamar ini, yah untuk memastikan lebih saja. Ketemu atau tidak, besok kita akan keluar secepatnya dari sini, oke?” usul Rendra. Kami mengangguk setuju.             “Ya, begitu saja! Aku setuju!” jawabku. ****             Selesai makan malam, kami langsung berpencar. Mengecek setiap sudut ruangan, mencari sesuatu yang mungkin ganjal atau aneh. Aku mengecek lemari kamar terlebih dahulu. Bisa saja kan di lemari kamar ini ada sebuah kamera tersembunyi untuk memantau, atau malah pintu tersembunyi menuju ruangan rahasia. Aku meraba bagian dalam lemari, bisa saja ada sesuatu yang mengganjal di situ. Tapi nihil. Tak ada yang berbeda di sana.             Aku mengecek baju piyama pemberian hotel. Mungkin baju ini ada di taruh pelacak, atau apalah. Pokoknya setiap sudut di ruangan ini mencurigakan. Aku meraba piyama itu, merobeknya sedikit, tapi tetap tak menemukan apapun. Aku menghela napas panjang. Aku sudah cek ke seluruh kamar, sudah membuka setiap sudut laci hingga berantakan isinya, tapi tetap tidak menemukan keganjalan di sana.             Aku menyusun kembali semua seperti semula. Mungkin memang tidak ada apa- apa di kamar, tapi gimana kalau di luar? Tanpa pikir panjang, aku segera keluar kamar. Bisa saja ada petunjuk di luar kamar. Semua sudah berkumpul di ruang tamu. Mereka terdiam dan menompang dagu.             “Kalian ketemu yang aneh gak di kamar?” tanyaku. Mereka mengeleng.             “Semuanya kayak biasa, gak ada yang aneh,” jawab dokter Akar.             “Kamu kenapa ngerasa curiga gitu sih? Gak boleh loh suudzon,” timpal Kara.             “Kamu ada ketemu sesuatu di kamarmu?” tanya Rendra. Aku mengeleng.             “Belum juga. Gak ada apa- apa, semuanya kayak biasa aja,” jawabku.             “Mungkin memang gak ada apa- apa kali,” ujar dokter Akar. Kara mengangguk setuju.             “Iya, bisa jadi begitu kan. Emang ini anak aja yang parnoan,” timpal Kara.             “Gak! Aku yakin ini semua ada apa- apanya! Kalian mikir dong, mana ada fasilitas gratis yang kayak gini? Orang sebaik apapun juga bakal mikir kali kalo kasih fasilitas ke orang lain!” bantahku. Mereka ini, apa tidak bisa ya sedikit lebih peka dengan keadaan? Apa mereka tidak bisa merasakan hawa aneh di sini?!             “Yah, gak salah juga sih … memang hal itu agak aneh …” gumam dokter Akar.             “Ya sudah, kita coba periksa aja sekitar sini. Mungkin ada hal yang janggal,” pinta Rendra. “Kita berpencar. Kalau ada ketemu yang janggal, kita kumpul di ruang tamu lagi.”             Kami berpencar ke sekeliling ruangan. Aku memeriksa di daerah pantry. Ya, di sini memang ada pantry yang di lengkapi dengan beberapa minuman sachet dan teko air. Aku membongkar lemari di atas pantry. Kosong, hanya ada beberapa tumpukan minuman sachet. Aku mengeluarkan semua rentengan itu dan mengeceknya satu persatu. Kali saja ini minuman sudah kadaluarsa atau mungkin sudah di isi dengan yang lain. Tadinya aku ingin membuka isinya satu persatu, tapi aku terlalu malas untuk membereskannya lagi nanti. Jadi aku hanya membaca kompisisinya saja, walau yah itu bisa saja di manipulasi kan?             “Gak ada yang mencurigakan di sini Teh,” ujar Rendra menghampiriku. Aku menghela napas panjang. Aku berkacak pinggang. Mungkin memang tidak ada yang mencurigakan di sini. Apa aku yang terlalu parno?             “Hei kalian, lihat aku ketemu apa,” panggil dokter Akar sambil mengacungkan sebuah kertas. Kami berkumpul mendekati dokter Akar. Secarik kertas yang di tulis dengan pulpen yang tintanya mulai memudar. Ada sebuah tulisan dengan bahasa asing di sana.             кто бы ни читал это сообщение, пожалуйста, помогите мне. они ужасные роботы. нужно убираться отсюда быстро.             “Ini gimana bacanya deh?” tanya Kara sambil mengangkat kertas itu tinggi- tinggi. Kami semua menggelengkan kepala. Aku bahkan tidak tahu itu bahasa negara mana.             Tiba- tiba aku merasakan silau matahari dari arah balkon. Sangat silau, mungkin dari pantulan sinar matahari. Aku menutup wajahku dengan tangan dan memincingkan mata. Ah, bukan. Ini bukan pantulan kaca pintu balkon. Tapi ini ..             Aku bangkit dan berlari menuju balkon. Semoga dugaanku tidak salah. Semoga dugaanku tidak salah … aku menaiki pembatas balkon. Rendra dan dokter Akar teriak kencang melihat aksi nekatku. Aku merentangkan tanganku. Rendra dan dokter Akar teriak semakin kencang dan buru- buru menghampiriku. Mereka memeluk erat tubuhku.             “Nak! Jangan bunuh diri nak! Perjalanan hidup kamu masih panjang!” ujar dokter Akar.             “Teh, jangan gila! Kamu gak sendirian di sini, ada aku abangmu, ada dokter Akar. Udah kamu biarin aja si Kara itu, anggap aja dia gak ada! Kamu jangan bunuh diri ya, aku punya siapa lagi kalau gak ada kamu …” ujar Rendra pelan. Aku melirik mereka dan mengernyitkan alis.             “Dih siapa emang yang mau bunuh diri? Ini kalian juga ngapain peluk- peluk aku! Lepasin heh!” Aku berusaha mendorong pelukan mereka. Mereka malah memelukku makin erat.             “Gak! Kamu harus turun dulu dari sana Teh!” bantah Rendra.             “Hei kalian! Aku bukan mau bunuh diri! Hei lepas, aku ketemu tanda aneh nih!” ****    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD