Chapter 4

2087 Words
Aku meneguk segelas air putih hingga habis. Aku menghabiskan dua potong Korean garlic bread, dan aku masih amaze dengan rasanya yang sama sekali tidak rasa bawang. Malah lebih terasa lembut mentega. Daripada manis, roti ini lebih ke asin. Tapi kalau terlalu banyak memakannya akan ada sedikit rasa enek dari cream cheese. Menurutku begitu. "Wah, puas banget mama makannya." Mama mengelus perutnya. Mama sudah menghabiskan 4 potong Korean Garlic Bread seorang diri. "Mama gak enek ma?"Tanyaku sambil memberikan segelas air kepada beliau. Mama meminum air putih dan mengeleng. "Buatan nenekmu malah lebih enak daripada buatan mama. Mama harus nanya nanti cara buatnya ke nenek, biar nanti bisa mama kirim ke rumah tantemu." Mama keluar dari dapur dan menghampiri nenek. Aku mencuci gelas dan menaruhnya kembali ke dalam rak. Aku masih terpikir tentang pandemi. Semengerikan apa pandemi itu? Katanya ada banyak orang yang mengalami kesulitan finansial? Kesulitan yang seperti apa? Seperti apa rasanya harus terkurung dalam waktu yang lama? Apa hasil panen saat itu tidak ada, mengingat orang semuanya berada di dalam rumah? Banyak pertanyaan seliweran di kepalaku, tapi aku enggan untuk bertanya ke orang lain. Aku takut, nanti malah akan ada luka lama yang terbuka. Mungkin, nanti aku akan tahu jawabannya tanpa perlu merasakannya. **** "Pa, waktu pandemi itu kondisinya gimana sih?"Tanyaku saat makan malam bersama. Papa mengernyitkan alis mendengar pertanyaanku. "Ada apa nih? Kok tumben kamu pengen tau?"Tanya papa penasaran. "Yah, pengen tau aja sih pa. Soalnya tadi mama cerita masa- masa susah mama selama pandemi ini,"jawabku. "Jadi, gimana pa? Papa selama pandemi ngapain aja?" "Papa selama pandemi ya ..." Belum selesai papa menjawab, nenek sudah memotong duluan. "... rebahan, nonton tektok sampai lupa waktu, joget- joget tektok gak jelas, atau engga ya tidur." Nenek memotong jawaban papa. "Kok santai banget pa?" Aku agak takjub mendengar hal itu. Itu lagi pandemi bukan sih? Kok kayak nggak ada paniknya? Chill banget malah. "Kan, mamak. Gak gitu mak, kan Dion ada sekolah juga ..." Papa membela diri. "Tapi gak salah juga kan?" Nenek meyakinkan jawabannya. Papa terdiam sesaat. "Kan Dion rajin sekolahnya mak waktu itu ..." Papa mencoba membela diri, tidak ingin dirinya tercoreng di depan anak sendiri. "Iya, rajin absen. Kamu mah cuma bilang 'hadir pak', terus tidur lagi." Nenek kembali mengelak pembelaan papa. Wajah papa sedikit memerah. "Jangan kau kira mamak gak tau ya." Papa menghela napas. "Yah, yang di bilang nenekmu memang gak salah sih, tapi gak semuanya benar. Waktu itu pertama kalinya sekolah online. Kadang tugas online ini tugasnya suka gak ngotak, banyak banget. Makanya papa sering cuma numpang absen aja terus lanjut tidur. Yah, selama gak harus on cam sih,"cerita papa. "Apa papa ada jualan juga kayak mama? Mama bilang, mama pernah jualan itu garlic bread bareng tante Lila"Tanyaku penasaran. "Dih, papamu mah kagak jualan Teh. Selama karantina tuh papamu tiap hari bikin dalgona coffee, sampai habis stok kopi di rumah. Sering banget dulu nih papamu rebutan kopi dengan kakekmu,"cerita nenek. Papa tertawa kecil. "Iya ya mak, hype banget tuh dulu dalgona. Mulanya Dion kepo kok bisa kayak gitu, akhirnya cobain. Gagal, coba lagi. Sampek mamak omelin karena stok kopi sebulan malah udah habis seminggu cuma buat percobaan dalgona doang. Begitu bisa buatnya, buat terus tiap hari sampek tangan kerasa kekar kayak nge gym." Papa bercerita panjang lebar. "Wah berhasil kamu mas buat dalgona? Aku sama kak Laila buat itu gagal terus, akhirnya males deh coba lagi!"puji mama. Papa mengelus hidungnya tanda bangga. "Bisa dong, nanti ya mas ajarin caranya!" "Anu ... dalgona itu apa ya? Bentuknya gimana ya?"Tanyaku bingung. "Ah iya, itu kan minuman hits jaman dulu. Kalau sekarang mah udah gak ada lagi yang buat ya ..."Jawab papa. "Ya sudah, nanti selesai makan papa coba buat ya kalau ada bahan,"janji papa. Aku mengangguk senang. **** Kami sudah selesai makan. Sesuai janji, papa bakalan buatin dalgona coffee. Papa bangkit lebih dulu dan menuju dapur. Aku yang penasaran, akhirnya mengekori papa. Aku melihat papa membuka lemari. "Eh, Teh. Kok kamu di sini?"Tanya papa begitu melihatku berdiri di sampingnya. "Pengen liat aja cara buatnya,"jawabku. "Pakai kopi kan pa? Kenapa gak pakai kopi itu aja?" Aku menunjukkan toples yang berisikan kopi instan. "Gabisa Teh. Itu bukan kopi hitam. Harus pakai kopi hitam, itu juga terlalu halus. Nanti gagal." Papa mengambil beberapa bungkus kopi yang selama ini beliau simpan. Papa adalah pecinta kopi di rumah. Papa sering mengumpulkan berbagai macam kopi dari beberapa daerah. Beberapa dari kopi itu papa beli sendiri, ada pula oleh- oleh dari rekan kerjanya. Agaknya nanti semisal papa pensiun, papa udah bisa sulap rumahku ini jadi café. Papa membuka satu persatu bungkusan kopi dan mencium aromanya. Lalu papa memanggil sendok kecil dan memeriksa tekstur kopi. Aku yang tak mengerti sama sekali hanya ikut mangut- mangut mengikuti papa. "Kayaknya ini cocok,"ujar papa. Papa mengambil gelas, menuangkan dua sendok kopi dan dua sendok gula, lalu di tambah dengan 4 sendok makan air panas. Semua tampak seperti biasa, terkecuali airnya yang terlalu sedikit. "Teh mau coba buat?" Papa menawari. Aku mengangguk. Papa memberikan gelas padaku. "Ikutin ya kayak yang papa buat tadi,"perintah papa. Aku mengangguk dan mengambil bahan sesuai takaran papa. "Pa ini airnya ga dikit banget?"Tanyaku khawatir. Papa tertawa kecil mendengar pertanyaanku. "Justru itu kuncinya. Kalau kebanyakan nanti gajadi,"jawab papa. Aku mengernyitkan alis bingung. "Nih liat nih ya papa buat." Papa mengaduk kopi itu hingga semua larut. Ah tidak, meski sudah larut, papa terus mengaduknya. Bukan mengaduk lagi sih ini, ini mengocok namanya. Sama seperti membuat whip cream dari s**u. Mulanya seperti tak ada yang berubah. Tapi sedikit demi sedikit, kopi tadi mengembang menjadi foam. "Nah, selesai. Sekarang sentuhan terakhir." Papa menuangkan s**u ke dalam gelas hingga hampir penuh. "Nih, cobain." Papa memberikan gelas itu padaku. Aku mengambil dan meminumnya. Hem, rasanya seperti kopi s**u, tapi lebih kentara rasa s**u ketimbang kopi. Hanya sedikit terasa kopinya. "Gimana?"Tanya papa. "Yah lumayan, kayak kopi s**u yang lainnya sih. Cuma ini lebih terasa s**u aja, mungkin karena kopinya sikit,"jelasku. "Kamu gamau bilang hebat gitu ke papamu? Buat kocok kopinya sampai ngembang begitu butuh effort gede loh,"ujar papa sedikit memaksa. "Ih, emang apa susahnya sih? Kan tinggal kocok aja toh. Gampanglah ..."jawabku remeh. Gampang aja kan? Cuma sampai berbusa begitu. "Ya sudah. Kamu coba saja dulu kalau begitu,"tantang papa. "Oke!" Aku mengambil gelas kopi yang belum sempat kuaduk tadi. Kutambahkan sedikit air untuk mempercepat prosesnya, itu pikirku. Kuambil sendok dan mengocoknya seperti mengocok telur dadar. Semenit berlalu. Kopi baru terlarut, belum menghasilkan busa seperti punya papa. Baru sebentar, nanti pasti jadi. Aku kembali mengocoknya lebih kencang, sesekali pelan. Entah sudah berapa lama aku mengocoknya, tapi masih belum tampak perubahan. Hanya muncul gelembung- gelembung kecil saja. Papa melirikku dengan tatapan meledek. "Gimana? Udah jadi belum? Kan katanya mudah ..." Papa menggodaku. Aku mendengus kesal dan memilih untuk berhenti. Aneh, seharusnya ini sudah berhasil. Aku sudah ikuti sesuai yang papa buat tadi, tapi kenapa gagal? Apa papa punya trik tertentu yang tak sempat kulihat? Aku kembali mengingat cara ayah membuatnya tadi. Kopi dan gula di tambah air sedikit, kan? Lalu di aduk saja kan? Terus berbusa, dan di tambah s**u kan? Kok aku malah jadinya kayak coffee shoot begini? Kok aku ... "Kenapa? Kok diam? Gak bisa ya?" Papa meledekku. Aku menatap papa sedikit kesal. "Papa punya trik nih, makanya punya papa bisa jadi berbusa gitu. Ya kan pa? Ngaku deh,"tanyaku paksa. Aku yakin banget nih, papa ada pakai trik curang biar busanya jadi ngembang begitu. Mungkin papa pakai baking soda? Yang diam diam beliau tambahkan saat memasukkan gula? Papa malah tertawa mendengar pertanyaanku. Beliau mengelus pelan rambutku sambil terus tertawa. "Bilang aja ih ini gak gampang, gengsi banget sih kamu,"jawab papa. "Gak ada trik khusus, hanya butuh latihan saja. Caramu sudah benar, tapi sepertinya airnya kebanyakan jadi gagal. Semana kamu tuang kopinya, sebegitu pula kamu tambahin air." Papa menjelaskan. Beliau membuang kopi yang gagal tadi ke wastafel. "Sekarang coba lagi kayak yang papa bilang. Aduknya agak kencang, nanti kalau udah muncul busanya agak di pelanin sikit." Papa mengambil gelas lain dan memberikannya padaku. "Nah, coba lagi. Sesuai yang papa bilang tadi,"perintah papa. Aku mengambil gelas itu dan memasukkan kopi. Sesuai instruksi papa, airnya harus di masukkan setara dengan seberapa banyak si kopi. Oke. Baik. Aku menuang sedikit saja air, lalu mengocoknya dengan kencang. Akhirnya, kopi ini mulai berbusa. Aku sedikit menurunkan kecepatan dalam mengocoknya, hingga menjadi foam dalgona yang sempurna. "Eh, udah. Stop eh. Udah bisa itu,"perintah papa. Aku berhenti dan melihat dalgona yang sudah selesai kubuat. Waw. Aku berhasil membuatnya. Kuambil dalgona itu dengan sendok dan mencicipinya. "Pahit!"keluhku. Kenapa bisa pahit begini? "Kamu lupa masukin gula ya?"Tanya papa. Aku mencoba mengingat. Sepertinya aku... Tambahin gula deh... Eh... "Ah! Iya... Aku lupa gula..."gumamku. Papa mengelengkan kepalanya. "Udah deh gak apa, agaknya tertolong sama s**u. Coba kamu tambahin s**u aja,"saran papa. Aku menuang s**u setengah gelas, lalu coba meminumnya seteguk. "Masih agak pahit pa..."Ujarku. "Ya elah. Yaudahlah, kalau kamu gamau, biar papa aja yang minum." Aku memberikan segelas dalgona pahit itu pada papa. "Atau kamu mau coba buat ulang dalgona nya?"Tawar papa. Aku mengeleng kencang. "Enggak. Capek tangan,"tolakku. "Baru bentar. Kalo sering kamu buat, nanti mah biasa aja. Lumayan loh ini olahraga tangan, jadi agak berotot walau cuma sebelah,"ujar papa. "Kalian kenapa lama banget di dapur?"Tanya mama yang mengintip dari pintu dapur. "Sini ma, papa lagi ajarin Teh buat dalgona coffe." Papa mengajak mama sambil menyodorkan dalgona buatanku. "Waw, udah lama banget ya." Mama meminum dalgona buatanku. "Kok agak pahit dari biasanya ya?"Tanya mama. "Anu... Aku lupa taruh gula ma ..."Jawabku. "Bisa gitu." Mama kembali menyeruput dalgona. "Tapi ini enak kok, buat mama yang kurang suka manis." Mama meminum dalgona itu hingga habis. "Eh udah, yuk beresin lagi dapurnya." Mama langsung mencuci gelas bekas dalgona. Mama menyikatnya sedikit lebih keras agar bau kopinya hilang. Setelah itu mama mengelapnya dan menaruhnya di lemari. Aku membereskan meja dapur. Menaruh kembali kopi dan gula pada tempatnya. "Mah tanganku pegal banget." Aku mengadu pada mama. "Nanti kita olesin cream otot ya. Emang habis ngapain kok pegel?"Tanya mama. "Kocok dalgona ma" **** "Wah kayaknya seru! Aku jadi pengen coba deh buatnya"ujar Sheila dalam versi hologram. Ini adalah gaya baru dalam melakukan video call. Barusan, aku menceritakan kejadian hari ini pada Sheila. "Asli eh, kamu harus coba buat! Apalagi buat dalgona Shei, jamin dah tuh pegel tangan!" Aku memegang pergelangan tangan kanan yang masih agak sakit. "Terus masa mama bilang, aku capekin diri tuh aduknya pakai sendok. Dahal pakai whiks bisa, lebih cepat!" Ya, tadi setelah membereskan dapur, mama bertanya bagaimana caranya aku membuat dalgona. Setelah aku menjelaskan caranya, mama terkejut. "Yaelah capekin diri aja pakek sendok." Itu kata mama. "Gak apalah sesekali olahraga dikitlah,"goda Shei. "Tapi aku masih penasaran sama rasa apa itu tadi, roti bawang..?" Shei mencoba mengingat. "Oh, itu Korean Garlic Bread. Enak banget itu Shei! Bener deh. Tapi kalo makan kebanyakan bakalan agak enek sih." Aku menjelaskan sedikit antusias. "Nah, itu. Emang sama sekali gaada rasa bawang putihnya ya?" Aku mengeleng. "Engga. Sama sekali engga. Bawangnya jadi kayak gurih gitu loh. Enak pokoknya." Aku kembali terbayang rasa Korean Garlic Bread tadi. "Masih ada sisa itu, nanti aku bagi ke kamu ya." "Thanks! Aku gak sabar pengen cicipin! Mungkin bisa aku remake resepnya." Sheila memang hobi memasak sedari dulu. Masakan Sheila hampir jarang gagal. Sepertinya tangan Sheila memang di ciptakan biar pro dalam memasak. "Sekalian besok aku coba nanya resep ya ke nenek. Eh tapi kalau kita searching di gluglu ada gak ya ..." Aku membuka browser gluglu. "Resep... Korean... Garlic... Bread..." Aku mengetik sambil bergumam. "Kayaknya agak susah deh cari resepnya. Kan itu punya lama,"ujar Sheila. Aku mangut-mangut. "Agaknya sih begitu..."Gumamku sambil terus memantengin browser. Mungkin saja ada yang memposting resep itu. Ah, tidak ada. Tapi ada satu artikel yang menarik perhatianku, yaitu artikel yang membahas soal makanan dan minuman yang sempat hype di masa pandemi. Aku membuka artikel tersebut. "Wah ada banyak ya makanan viral.."Gumamku. "Apa itu Teh?"tanya Sheila. Aku membagikan artikel itu ke kontaknya. "Itu Shei, makanan viral di masa pandemi. Banyak juga ternyata selain dalgona dan korean garlic bread,"jawabku. Shei membuka artikel tersebut dan mangut-mangut. "Agaknya orang-orang ini banyak gabut saat pandemi. Jadi daripada bosan, mereka eksperimen aja di dapur." Aku mengangguk. Setuju dengan pendapat Sheila. "Pandemi itu gimana ya Shei rasanya?"Tanyaku. Sungguh, aku sangat penasaran. Sheila mengangkat bahu. "Mungkin feels nya kayak lagi nyepian mahkota, cuma listrik boleh hidup. Tapi kita gaboleh keluar rumah." "Kurang lebih gitu ya kayaknya. Nyepiannya lebih lama juga,"lanjutku. "Tapi semoga nggak ada lagi pandemi begitu. Ih aku gak sanggup bayangin deh." "Aaamiinn. Jangan sampai deh. Aku gak akan bisa diam diri dalam rumah aja, yang ada stress nanti!" Sheila mangut-mangut. "Iya, aku setuju!" ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD