Chapter 5

2508 Words
                Aku telponan dengan Sheila hingga larut malam. Kami ngobrol ngalor ngidul. Tentu kami tidak melewatkan ghibah. Kurang seru rasanya kalau nggak ghibah.                 “Kalau dunia ini di penuhi zombie gimana ya?”Tanyaku berandai.                 “Kayaknya gak mungkin sih, emangnya kamu mau?”Tanya Sheila balik. Aku mengeleng.                 “Ya enggak sih, serem gak sih kan di kejar ama zombie. Aku cuma terpikir, gimana ya buat survive? “ Aku kembali bertanya. Mungkin ini efek darii aku nonton film zombie yang baru rilis minggu lalu. Harus kuakui, aku penakut. Tapi tetap nekat untuk nonton film horror. Bahkan aku nonton film horror 4D, biar terasa lebih nyata. Walau ujung- ujungnya kalau udah kaget aku bakal reflek melepas kacamata 4D, tak jarang sampai kulempar dan pecah. Tapi tetap saja aku tidak kapok untuk nonton film horror.                 “Kayaknya aku bakalan berdiam diri di rumah, cari aman aja,”jawab Sheila.                 “Nanti kalau misalnya zombie masuk ke rumahmu gimana? Kali aja zombienya menggila dia, terus dobrak pintu rumah orang gitu.” Aku kembali memberikan pertanyaan. Sheila diam berpikir.                 “Hem. Mungkin aku bakalan siapin jebakan, pokoknya sebisa mungkin deh aku gak jadi zombie!”Jawab Sheila.                 “Kalau misalnya kamu jadi zombie gimana?”Tanyaku lagi.                 “Yah gimana, kan udah jadi zombie. Mau gimana lagi?” Sheila menjawabnya bingung. “Tapi sih, kalau aku memang jadi zombie, kayaknya aku milih gak makan otak deh.”                 “Lah kok gitu Shei?” Aku bingung dengan jawaban Sheila.                 “Ya, biar gak ada korban lagi aja sih,”jelas Sheila.                 “Tapi kalau kamu gak makan otak, kamu mati Shei. Nanti ada zombie lain maksa kamu makan gimana?”Tanyaku lagi.                 “Kalau kayak gitu, mungkin aku terpaksa makan ya. Tapi aku gak akan makan kamu dan keluargaku. Seengaknya, aku jadi zombie yang gak ada otak, bukan gak ada hati,”jawab Sheila mendalam.                 “Lagian ya, kalau emang semua zombie saling makan manusia, kalau manusianya udah gak ada lagi, mereka makan apa dong? Ya jadi kanibal kan mau gak mau?”  Pernyataan Sheila agaknya ada benarnya juga. Ya memang, kadang sahabatnya yang satu ini suka berpikir jauh dan agak out of the box.                 “Tapi agaknya seru ya kalau ada zombie beneran. Kalau berhasil bertahan diri itu wah keren banget!” Aku berandai jika di dunia ada zombie. Semua zombie terus mencari mangsa dan aku berhasil selamat, serasa memenangkan piala ya mungkin.                 “Heh! Ngaco kamu. Mana enak ada zombie, hidup lu hidup dan mati itu tau! Jangan ngomong sembarangan ah, nanti kalau kejadian beneran nyaho deh!”ujar Sheila.                 “Hehehe, becanda kali ah Shei.” *****                 Aku bangun kesiangan hari ini. Entah kenapa, alaram hari ini malah tidak menyala. Aku baru bangun jam 9 pagi tadi. Aku bangkit dari duduk dan langsung mandi. Kalau mama tahu aku bangun telambat, pasti mama mengomel. Selesai mandi, mr. communicator menampilkan sebuah pesan, dari Sheila. Ternyata Shei mengirim sebuah poster, yang isinya …                 “…. Blabla… festival makanan mahkota … di balai kota … wah!” Aku bersorak girang. Sebuah pesan video masuk. Aku menyalakan pesan video itu dan muncullah hologram wajah Sheila.                 “Teh! Udah baca belom tuh poster yang aku kirim? Yuk pergi yuk! Nanti aku jemput kamu ya jam 10. Jangan ngaret loh!”                   PIP. Pesan video itu berhenti. Aku melirik jam dinding di kamarku. Astaga! Lima menit lagi jam 10! Sheila ini kan, anaknya on time. Pasti dia udah sampai di rumahku tepat jam 10. Aku asal mengambil baju yang ada di lemari. Sudah tak terpikirkan lagi mix and match, yang penting gak aneh banget aja deh. Aku duduk di meja rias, mengenakan  rangkaian skincare pagi. Aku kembali melirik jam di dinding. Ya ampun, udah tepat jam 10. Pasti Sheila udah di depan rumah! Aku mengintip keluar jendela, sepi. Tak ada orang. Tak ada tampak terparkir sepeda listrik Sheila di sana. Hem, tampaknya Sheila agak telat kali ini. Yah, itu bisa saja terjadi walaupun hanya kemungkinan kecil saja.                 Karena tampaknya Sheila akan datang terlambat, akhirnya aku tidak jadi buru- buru. Aku kembali mengeluarkan beberapa baju dari lemari setelah kuintip di cermin kalau bajuku kali ini nggak banget pokoknya. Aku memilih baju dan pasangannya. Apa pakai dress ya? Atau pakai rok? Wah, karena festival kayaknya pilih yang biasa aja deh. Pakai celana juga kayaknya bagus, di paduin sama jaket ini … nah! Bagus.                 “Teh! Udah siap belum?” Sheila mendobrak pintu kamarku. Aku terkaget. Lah kok?  “Nah kan! Belum siap juga!” Sheila mengomel.                 “Lah Shei? Kapan sampainya? Tadi kayaknya aku gak ada liat kamu di luar deh…”Tanyaku bingung.                   “Aku udah sampai di rumahmu beberapa menit tuh sebelum jam 10. Tapi kelamaan ngobrol sama nenekmu di bawah, di ajak sarapan sama beliau,”jawab Sheila. “Udah buruan cepet siap- siap! Sepuluh menit udah harus selesai semua ya, udah make up juga!”perintah Sheila.                 “Siap bos!”                 Aku langsung bergerak cepat. Akhirnya kuganti baju dengan baju pilihan terakhir. Kusisir rambut dengan cepat. Aku ambil tas yang agak lebih besar untuk menyimpan lebih banyak make up. Gak akan sempat kalau make up 10 menit, Sheila pasti gak akan mau nungguin.                 “Udah Shei, yuk!”ujarku. Sheila mengangguk.                 Kami keluar dari kamar. Tak lupa aku mengunci kamar, biar mama tidak bisa masuk. Mama pasti bakalan ngomel panjang lebar lihat tumpukan baju yang kubiarkan saja di tempat tidur. Kami turun ke bawah berbarengan. Di bawah, sudah ada nenek dan mama yang sedang menikmati waktu minum teh.                 “Kalian mau pergi sekarang?”Tanya nenek. Kami mengangguk.                 “Iya nek, kami pamit dulu ya.” Aku mencium tangan nenek. Nenek mencium kedua pipiku dan Sheila.                 “Hati- hati nak ya. Have fun di sana!”ujar nenek.                 “Ma, mama gak pergi ke festival?”Tanyaku pada mama.                 “Bentar lagi deh, mama nyusul aja.” Aku mencium tangan mama. “Hati- hati ya. Kalau uangnya kurang bilang aja, nanti mama transfer lagi.” Aku mengangguk mantap.                 “Kami pergi dulu ya.”                 Kami berdua menuju garasi. Sepeda listrik Sheila sudah terparkir di sana. Sheila melirikku dan melihat ke belakang punggungku.                 “Eh, sepeda listrik kamu mana? Kamu pergi naik apa jadinya? Sepedaku gabisa bonceng loh,”tanya Sheila. Aku nyengir lebar dan mengeluarkan sebuah kunci.                 “Kita pergi naik ini …” Aku menekan kunci itu dan terbukalah pintu garasi lain yang menampakkan sebuah mobil tesla berwarna hitam. Sheila melongo sesaat.                 “Ini serius Teh?”Tanya Sheila. Sheila menghampiri Tesla. Aku mengangguk yakin.                 “Kata papa, aku boleh kendarain tesla. Lagian ini juga tesla model lama kok.” Aku menekan lagi kunci dan terbukalah pintu mobil. “Yuklah masuk Shei.”                 Sheila masuk ke dalam mobil. Aku menutup pintu mobil dan menghidupkan mesinnya. Kali ini aku sengaja memakai mobil Tesla, mengingat aku tidak sempat dandan tadi. Kan kalau naik mobil masih bisa dandan kan di dalam mobil. Kalau naik sepeda mah, keburu rusak deh tatanan rambutnya.                 Aku mengatur maps tujuan dan menghidupkan auto pilot. Mobil berjalan sendiri. Aku mengeluarkan pouch make up dan mulai berdandan. Sheila yang melihatku seperti itu hanya bisa geleng- geleng.                 “Oalah, pantes deh ya kita naik mobil,”ujarnya. Aku nyengir lebar. “Btw Teh, bawa lipstik ga? Bagi dong, sepi amat bibirku ini gak ada lipstick!” Sheila menunjukkan bibirnya yang tetap berwarna pink meski tidak memakai lipstick.                 “Kayaknya di dalam itu ada deh lipstick. Kamu cari aja.” Aku memberikan pouch make up kepada Sheila. Sheila mengambil lipstick dan memakainya dengan rapi tanpa perlu bercermin. Aku melirik Sheila.                 “Cuma pakai lipstick aja Shei? Gak yang lain?”Tanyaku.                 “Engga, cuma pakai foundation sama bedak aja sih tadi. Cukuplah,”jawab Sheila sambil menaruh kembali lipstik ke dalam pouch make up. Aku melirik Sheila. Sheila masih tetap terlihat cantik tanpa harus dandan berlebih. Yah, begitulah dia. Sheila sangat jarang dandan, tapi dia tetap terlihat cantik. Dia selalu menolak untuk di pakaikan make up.                 “Belum cukup umur. Kita kan masih 15 tahun. Ntah deh kalau udah umur 20 gitu baru deh aku belajar make up.” Begitu katanya setiap kali dia ingin kujadikan sasaran make up.                 “Kenapa Teh?”Tanya Sheila. Aku mengeleng. Ah, ada ya orang kayak Sheila di dunia ini.                 Tak lama, kami sudah tiba di tujuan. Gerbang festival sangat ramai dengan orang- orang, begitu pula parkiran. Untung saja aku mengaktifkan mode auto pilot, jadi aku tidak perlu repot memikirkan bagaimana caranya agar kebagian parkir. Setelah menemukan parkir yang pas, kami pun keluar dari mobil.                 “Rame banget ya,”ujar Sheila. “Kira- kira makanan yang kamu ceritain itu ada gak ya di sini?”Tanya Sheila penasaran.                 “Oh, Korean garlic bread itu? Mungkin ada sih,”jawabku. Kami bergandengan tangan dan masuk ke dalam gerbang festival. Di sana, sudah ada berbagai macam stand makanan yang menciumkan aroma- aroma wangi dan manis.                 “Kita coba yang mana dulu nih?”Tanya Shei antusias. Aku melihat sekeiling, siapa tahu ada makanan yang cocok untuk menemani kami menyusuri festival ini.                 “Kayaknya itu enak deh! Kita beli minum itu aja dulu!” Aku menunjukkan sebuah stand yang terpampang besar maskot minumannya, segelas minuman dengan bulat- bulat hitam di dalamnya. Kami menghampiri stand itu.                 “Adik mau pesan apa?”Tanya abang penjual.                 “Bentar ya bang liat menu dulu,”jawabku. Aku memperhatikan menu dengan seksama. Hem, aku tidak tahu ini minuman apa. Di sini tertulis, minuman boba. Tapi apa itu boba?                 “Rekomendasi di sini apa ya?”Tanya Sheila.                 “Yang best seller di sini boba brown sugar kak,”jawab abang penjual sambil menunjukan minuman yang di sebut. Hem, tampaknya menggiurkan.                 “Yaudah bang, boba brown sugarnya dua ya bang!” Aku memesan.                 “Oke dek. Di tunggu ya.” Abang penjual mengutak- atik tabletnya. Tak lama, minuman kami datang. “Totalnya Rp150.000 ya dik, silakan di scan saja di sini.” Abang penjual menunjuk ke barcode yang ada di sebelahnya. “Kalau mau bayar tunai juga boleh kok,”lanjutnya.                 “Loh ada yang bayar tunai?”Tanyaku heran. Sudah jarang sekali ada sistem bayar tunai. Kini semuanya sudah membayar dengan sistem digital.                 “Iya dik, semua stand di sini biaya bayar tunai,”jawab abang penjual. Aku melongo takjub. Sudah jaman begini, tapi masih ada sistem seperti itu. Hebat. Aku segera scan barcode di sebelah.                 “Oke baik. Terima kasih sudah berbelanja.” Abang penjual membungkuk hormat. Kami membalasnya dengan bungkukan juga dan pergi dari sana.                 “Wah aku gak nyangka bisa sistem bayar tunai,”ujarku kagum.                 “Kalau di kampung biasa sih Teh. Tapi kalau di sini keren banget ya,”jawab Sheila. Ia menancapkan sedotan ke dalam gelas minuman dan menyeruputnya. Sheila mengunyah dan melotot takjub.                 “Teh, buruan di minum! Ini enak banget deh, sumpah!”Pinta Sheila. Aku mengernyitkan alis.                 “Ah masa sih?” AKu menancapkan sedotan dan menyeruputnya. Aku sedikit kaget karena ada bulat- bulatan yang ikut tersedot. Otomatis aku mengunyah bulatan itu dan surprise dengan teksturnya yang kenyal- kenyal dan manis. Air si minuman ini juga manis, dengan sedikit ada rasa keju. Aku mangut- mangut, sungguh ini rasa yang nikmat.                 “Wah enak ternyata! Tapi ini agak bikin bingung sih, kayak minum tapi kita harus ngunyah juga. Kayak makan tapi kita minum,”teoriku asal.                 “Yah, selagi bisa sekaligus, kenapa tidak toh?”balas Sheila. Aku kembali menyeruput dan mengunyah bulatan itu. Mungkin bulat- bulatan ini ya yang di maksud dengan boba?                 “Eh gimana kalau kita jajan dulu semau kita, baru nanti kita makan bareng? Mau gak?”tawarku.                 “Loh, kok gitu?”Tanya Sheila bingung.                 “Iya, biar bisa nyicip banyak makan gitu loh. Kan stand di sini banyak. Kalau habis beli langsung kita cicip kan keburu kenyang duluan, ga sempat nyicip yang lain,”jelasku. Sheila mangut- mangut.                 “Hem, boleh juga sih. Lumayan ya, kan bisa eksperimen rasa..”Gumam Sheila.                 “Yaudah gitu ya jadinya? Yuk kita jajan dulu. Sekarang kita jajan kemana?”Tanyaku. Sheila memperhatikan sekeliling, lalu menunjuk ke sebuah stand di pinggir sana.                 “Kayaknya itu enak. Kita ke sana dulu yuk!”Ajak Sheila.                 “Ayo!” ****                 Kami akhirnya mendapatkan tempat duduk setelah tadi asik berkeliling untuk jajan. Kini masing- masing dari kami membawa 4 kantong. Untung saja, festival ini diadakan tidak jauh dari taman. Kami memilih istirahat di bangku taman yang mengarah langsung ke air mancur.                 “Borong banget ya kita,”gumam Sheila sambil menghitung kantungan.                 “Kalap banget sih ini namanya Shei,”jawabku.                 “Yaudah deh, yuk kita cicip satu- satu. Mulai dari bungkus pertama nih …” Sheila mengambil salah satu bungkusan. “Ini … corndog … Hem, gini bentuknya …” Sheila mengeluarkannya dari kantong. Tampaklah gumpalan roti yang terlilit dengan sumpit. Sheila memberikan satu corndog padaku.                 “Yuk makan yuk!”                 Kami memakan satu gigitan corndog itu. Aku agak sedikit surprise karena rasanya tidak ada jagung sama sekali. Kukira karena namanya ‘corn’, makanya bakalan ada jagung di dalamnya. Nyatanya yang ada di dalam hanyalah keju mozzarella dan sosis. Tapi untuk rasa ini lumayan sih, dan agak sedikti stasyifing melihat lumeran mozzarella yang bisa di tarik panjang.                  "Kukira bakalan ada jagung di dalamnya, karena namanya corndog,"timpal Sheila. Ternyata Sheila berpikiran sama denganku. "Kenapa namanya corndog ya?"Tanya Sheila. Aku mengangkat bahu.                  "Yuk kita coba yang selanjutnya!" Aku mengambil sebuah bungkusan. "Oh, ini yang kayak kita minum tadi loh Shei. Tapi dalam bentuk roti!" Aku mengeluarkan isinya, yaitu roti panggang topping boba.                  "Lah, unik juga. Rasanya gimana ini ya?" Sheila mengambil sepotong roti panggan boba dan memakannya. Ia mengunyahnya dan sedikit mengernyitkan dahi. Melihat ekspresi Sheila, aku jadi penasaran dan langsung mencobanya. Rasanya ...                  "Kok kayaknya manis banget ya?"Gumamku. Sheila mengangguk setuju. Sebagai orang yang tidak terlalu suka dengan makanan manis, jelas roti ini bukan seleraku. Akhirnya aku hanya memakannya dua gigitan dan memasukkannya kembali ke dalam kantung bungkusan.                  "Bukan seleraku ini. Aku kasih aja nanti ke nenek,"ujarku. Sheila mengangguk setuju.                  "Aku juga. Kayaknya bakal aku kasih ke adikku saja." Sheila memasukkan juga ke dalam kantung bungkusan. "Nah daritadi aku mau coba yang ini nih!" Sheila mengangkat sebuah kantungan. "Korean Garlic Bread, kayak yang kamu ceritain Teh!" Sheila mengeluarkan satu potong Korean Garlic Bread dan memberikannya padaku.                  "Loh ada yang jual ya ternyata,"gumamku. Penampakan roti ini sama persis dengan yang nenek buat. Apakah rasanya sama?                 "Wah, iya enak nih! Kayak yang kamu bilang!"Gumam Sheila. Aku mencicipi roti tersebut. Iya, roti ini memang enak. Tapi sayang, rasanya tidak terlalu mirip dengan buatan nenek. Tetap lebih enak buatan nenek.                      "Tapi lebih enak buatan nenek si Shei. Nanti kita pulang aku bungkusin deh buatmu,"ujarku.                  "Lah iyakah? Wah, akhirnya aku bisa mencicipi masakan nenek lagi..."Gumam Sheila senang. Kami memakan Korean Garlic Bread hingga habis. Ternyata Korean Garlic Bread ini membuat kami kenyang. Kami menatap bungkusan kantung yang masih banyak.                  "Kayaknya kita jajan kebanyakan deh ..."gumamku.                  "Agaknya sih. Yaudah, kita bawa pulang aja. Bagi dua ini jajannya, terus kita makannya nanti di rumah,"usul Sheila.                  "Iya deh, mending gitu." Aku melirik jam tanganku. "Udah bisa balik nih Shei. Balik yuk?"                 "Yuk!" ****                  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD