Chapter 52

2416 Words
          Kara membuka pintu ruangan dokter Akar pelan. Ia melongok dan celingak celinguk. Setelah memastikan aman, Kara melambaikan tangannya dan keluar lebih dulu. Kami membuntuti Kara.             “Agaknya aman, sepi begini,” gumam Kara.             “Sekarang kita kemana dok?” tanya Rendra.             “Lurus saja, nanti ketemu ruang tunggu dan meja resepsionis, kita belok kiri. Terus lurus aja, nanti ketemu pertigaan, belok kanan. Udah gak jauh dari situ,” jelas dokter Akar. Kami melongo mendengarnya. “Kalian bingung ya?” tanya dokter Akar. Kami mengangguk berbarengan.             “Ya sudah, biar saya aja yang jalan di depan. Kalian ikuti saya,” perintah dokter Akar. Ia berjalan di depan Kara. “Semua berpegangan ya, harus awas. Jangan sampai lengah,” pinta dokter Akar. “Kamu sini pegangan tangan sama saya.” Dokter Akar mengulurkan tangannya pada Kara.             “Ih gak mau dok, kayak homo!” tolak Kara. Rendra menjitak Kara. Kara meringis kesakitan memegang kepalanya.             “Yang kayak gitu bukan homo,” ujar Rendra.             “Tapi menurut gue iya, cowok kalo saling pegangan tangan itu ya kayak homo!” bantah Kara.             “Sudah sudah, ya sudah kalau kamu gamau pegangan tangan Kar. Maksud saya tadi biar gak kepisah gitu loh, tapi gak apa. Kamu buntuti aja saya, tapi jangan sampek kepisah,” relai dokter Akar.             “Iya saya gitu aja dok.” Kara menyetujui.             “Atau gak lu pegang aja tuh ujung jas dokter, biar gak nyasar,” saranku.             “Ogah! Emangnya gue bocah apa?!” tolak Kara.             “Ya memang bocah, kan lu belum dapat KTP kan?” goda Rendra. Kara mendecik kesal.             “Sudah sudah. Jangan ribut, nanti malah terpancing lagi mereka. Kita jalan saja ya, jinjit jangan sampai ada suara gaduh. Kalian ikuti aja saya. Oh ya kamu, yang perempuan sendiri, kamu di tengah aja biar lebih aman,” perintah dokter Akar sambil menunjukku. “Kamu jalannya di belakang Kara aja,” saran dokter Akar.             “Lu jangan pegang- pegang gue!” ujar Kara. Aku melengos.             “Dih siapa juga yang mau,” jawabku.             “Udah Teh, kamu pegang tangan aku aja.” Rendra mengulurkan tangannya. Aku menggengam tangannya erat.             “Udah? Udah kan? Ayo. Pelan- pelan ya,” pinta dokter Akar.             Kami menyelusuri lorong yang lengang. Aku melirik sekitar. Kami melewati beberapa ruangan dan ruangan itu gelap gulita. Beberapa lampu di lorong juga tampak enggan hidup, cahayanya remang- remang tanda sudah habis waktunya ia mengabdi. Aku menegak ludah dan menggenggam tangan Rendra erat.             “Gak apa Teh, aman. Tenang aja,” bisik Rendra. Aku mengangguk. Benar, masih aman. Tidak ada apa- apa kan?             Kami terus berjalan menyusuri lorong hingga akhirnya tiba di ruang tunggu. Aku melongo melihat ruang tunggu yang begitu berantakan. Kursi- kursi ruang tunggu yang bertebaran dimana- mana, meja resepsionis yang sudah ambruk.             “Ini ulah mereka?” tanya Rendra.             “Sepertinya begitu,” jawab dokter Akar. “Beringas sekali mereka,” gumamnya. Ia mendekati meja resepsionis yang udah rusak. Dokter Akar. mengintip ke kolong meja hingga ia jatuh terjungkal.             “Dokter!” Kami mendatangi dokter Akar. Dokter Akar jatuh terduduk di lantai. Ia meringis kesakitan.             “Dokter gak apa?” tanyaku sambil mengulurkan tangan. Dokter Akar mengangguk.             “Saya gak apa kok,” jawab dokter Akar. “Gak apa dik, saya bisa bangun sendiri kok,” tolak dokter Akar halus. Ia bangkit dari duduk dan merapikan sedikit bajunya.             “Dokter kenapa kok bisa sampai terjungkal begitu?” tanya Rendra.             “Ah, saya hanya memastikan, bisa saja ada yang terjebak di sini seperti saya tadi,” jawab dokter Akar. “Ternyata gak ada, eh malah kepleset tadi sampai terjungkal,” lanjut dokter Akar. Ia nyengir lebar.             “Oh ya, ada baiknya kita periksa juga di sekitar sini. Kali aja ada yang sembunyi seperti saya tadi. Tapi kalian hati- hati ya, jangan sampai malah ketemu dengan zombie,” perintah dokter Akar. Kami mengangguk dan berpencar. Kami mengintip di setiap sudut tempat, kali aja ada seseorang yang bersembunyi.             Aku mencari di kolong kursi yang masih berdiri tegak. Beberapa kursi yang berserakan aku susun kembali dengan rapi. Tak ada siapapun di sini. Kenapa kita tidak lanjut jalan saja? Aku juga tidak yakin ada orang yang bersembunyi di sini. Bukannya terlalu beresiko untuk sembunyi di tempat yang agak terbuka seperti ini?             “Dok, sepertinya gak ada orang yang sembunyi di sini,” ujar Kara.             “Iya dok, saya sudah keliling juga gak ketemu orang,” timpal Rendra.             “Baiklah kalau begitu. Kita lanjut jalan saja,” pinta dokter Akar. “Mana adikmu? Siapa namanya tadi? Al apa tadi?” tanya dokter Akar pada Rendra.             “Althe dok,” jawab Rendra. “Sepertinya tadi masih ada di dekat kami dok. Mungkin dia ke sudut ruangan lain,” ujar Rendra. Ia celingak celinguk. “Saya coba cari dulu dok, sebentar.” Rendra pamit dan pergi dari sana.             Aku masih sibuk menata setiap kursi yang ada. Tidak tahan aku melihatnya berantakan seperti tadi.             “Oke, agaknya udah rapi,” gumamku. Aku mengusap wajahku yang berkeringat.             “Teh! Althea!” Terdengar suara seseorang memanggilku. Aku menoleh. Rendra ada di belakangku. Ia berjalan menghampiri. Aku melambaikan tangan.             “Iya Ren, aku di sini!” jawabku. Rendra berjalan semakin cepat. Rendra langsung menggengam tanganku begitu ia tiba di dekatku.             “Ya ampun kamu ini. Kamu ngapain? Gak apa kan?” tanya Rendra. Aku mengeleng.             “Aku gak apa kok Ren. Aku tadi rapiin kursi- kursi ini, berantakan banget soalnya,” jawabku sambil menunjuk ke jejeran kursi yang sudah kususun rapi.             “Rajin banget deh kamu,” puji Rendra. Aku nyengir lebar.             “Ya udah yuk, kita balik. Udah di tungguin yang lain. Kita kan mau lanjut ke apotek.” Rendra menarik tanganku. Aku jalan mengikuti Rendra. Kami kembali ke meja resepsionis. Sudah ada dokter Akar dan Kara yang menunggu di sana.             “Hei kami kembali!” Rendra melambaikan tangan menyapa mereka. Mereka membalas dengan lambaian tangan juga. Tapi seketika wajah mereka berubah menjadi kaget. Kara menunjuk ke arah kami.             “Ren, Teh, awas!” Kara memperingatkan.             “Awas?” tanya kami bingung. Kara terus menunjuk ke arah kami. Kami berdua menoleh dan tersentak kaget melihat ada sosok zombie yang mengejar di belakang kami. Kami terdiam kaku di tempat. Zombie itu semakin mendekat.             “Awas kalian!” pinta seseorang di belakang kami. Dokter Akar datang menghampiri kami sambil membawa sebuah kursi. Beliau berlari dengan kencang dan melempar kursi di tangannya. Rendra berusaha menghindar dan memelukku erat. Kursi itu tepat melayang di depan zombie itu.             “Cepet lari!” ajak dokter Akar. Ia menarik tangan Rendra. Tertatih kami bangkit dan berlari sekuat tenaga. Kursi itu ternyata hanya menghalangi sesaat saja. Zombie itu melempar kursi itu ke sembarang tempat dan berteriak mengamuk. Ia lari mengejar kami.             “Jangan lihat belakang. Lari aja terus!” perintah dokter Akar. Aku memalingkan wajah dan berlari sekencangnya. Kami berlari tunggang langgang tak tentu arah. Aku menoleh ke belakang. Zombie masih mengejar kami, tampak lebih cepat dari sebelumnya.             “Ikuti saya!” pinta dokter Akar setengah berteriak. Dokter Akar lari semakin kencang dan berbelok ke arah kanan di pertigaan. Kami mengikuti langkah dokter Akar. Aku menoleh ke belakang saat mendengar ada suara benturan. Ternyata zombie itu tidak bisa mengontrol kecepatan larinya dan berakhir dengan menabrak tiang petunjuk di tengah pertigaan. Zombie itu jatuh terbaring di sana.             “Hei, hei, zombie itu udah pingsan di sana!” ujarku memberitahu. Mereka mengurangi sedikit kecepatan lari dan menoleh ke belakang. Semua menghela napas lega.             “Tapi kita jangan lega dulu. Mungkin saja di tempat lain ada zombie- zombie lain. Kita harus tetap waspada,” ujar dokter Akar. Kami mengangguk.             “Baiknya kita jalan santai saja, kalau sudah hampir sampai di tujuan,” timpalku. “Dimana ruang obatnya dok?” tanyaku.             “Gak jauh lagi sih, ada di ujung sana.” Dokter menunjuk ke depan sana. “Itu yang pintu kaca di sana,” lanjut dokter Akar. Ya, memang ada sebuah pintu kaca di depan sana. Aku menghentikan langkahku sebentar dan lanjut jalan kembali.             “Untung sudah dekat,” gumamku. Dokter Akar mendongakkan kepalanya agar lebih jelas melihat ke belakang sana.             “Sepertinya sudah gak apa lagi. Ya sudah jalan saja, sedikit lagi sampai kok.” ***             Kami tiba di depan pintu kaca. Dokter Akar menggoyangkan gagang pintu, tapi pintu tak bisa terbuka.                “Ck, sepertinya terkunci. Apoteker yang pegang kunci ruangan ini,” ujar dokter Akar. Ia menempelkan wajahnya ke pintu dan mengintip ke dalam. “Oh, ternyata ada kunci yang nyangkut di dalam!”             “Maaf sebelumnya dok, mungkin saya bisa buka pintu ini. Tapi ada sedikit resiko, gimana?” tanya Kara.             “Resiko apa?” tanya dokter Akar. Kara tidak menjawabnya dan menatap mata dokter Akar dalam. “Tapi ya, asal terbuka saja tidak apa. Resiko yang lain biar saya tanggung,” lanjut dokter Akar.             Kara mengangguk dan menarik napas dalam. Ia mengambil posisi kuda- kuda dan menendang pintu itu hingga kacanya pecah berhamburan. Kara mendekati pintu dan memasukkan tangannya di tengah kaca yang sudah bolong. Terdengar bunyi klik di dalam sana.             “Udah kebuka,” ujar Kara. Kara menggoyangkan gagang pintu dan terbukalah pintu itu dengan lebar. Dokter Akar masuk ke dalam terlebih dahulu.             “Hati- hati, perhatikan langkah kalian. Jangan sampai terluka kena beling pecahan kaca.” Dokter Kara mengingatkan. Kami masuk ke dalam sambil berjinijit. Dokter Akar menghidupkan lampu ruang obat dan tampaklah lemari- lemari kaca yang berisikan berbagai macam obat, juga ada meja yang di atasnya ada beberapa alat untuk meracik obat.             Dokter Akar membuka salah satu lemari dan mengecek beberapa obat yang ada di sana. “Kalian, tolong bantu saya ambilkan cairan antiseptik dan kain kasa,” pinta dokter Akar. Kami berpencar mengelilingi lemari yang ada sambil mencari barang yang di perlukan. Aku memperhatikan setiap lemari dengan teliti.             “Dok, ini bukan yang di cari?” tanya Kara sambil melambaikan sebuah kotak berwarna biru. Dokter Akar menoleh dan menghampiri Kara.             “Ah iya benar, ini kain kasa,” jawab dokter Akar. Ia membongkar lemari di depan Kara dan mengambil beberapa barang. “Kita bawa saja beberapa jenis. Ini, kamu pegang.” Dokter Akar mengeluarkan beberapa kotak lain dan memberikannya pada Kara. Kara menampung semua kotak itu.             “Itu cukup, agaknya,” gumam dokter Akar. “Kamu taruh saja dulu ini di meja. Kalian kalau udah ketemu barangnya, kalian taruh saja dulu di meja ya,” pinta dokter Akar. Kami mengangguk.             “Baik dok,” jawab kami berbarengan.             “Oh ya, kalau gak salah saya, di sini ada alkohol swap. Tolong carikan itu ya, sekalian dengan termometer juga, ya dan cairan antiseptik. Saya mau cari obat- obatan yang di perlukan dulu,” perintah dokter Akar.             “Baik dok.”             Kami sibuk masing- masing mencari barang yang di perintahkan oleh dokter Akar. Akhirnya aku berhasil menemukan salah satu dari barang yang di perintahkan, yaitu termometer. Aku menaruhnya di atas meja.             “Dok ini bukan alkohol swap?” tanya Rendra sambil menunjukkan sebuah kotak kecil berwarna putih. Dokter Akar menghampiri Rendra dan mengambil kotak kecil di tangan Rendra.             “Iya bener, yang ini. Kamu taruh saja di meja,” pinta dokter Akar.             “Dok ini bukan cairan antiseptik?” tanya Kara sambil menunjukkan sebuah botol berwarna biru. Dokter Akar menghampiri Kara.             “Iya bener. Di situ ada berapa biji? Ada jenis lain gak? Kalau ada bawa aja satu botol dari setiap jenisnya,” pinta dokter Akar. Kara mengambil beberapa botol dan menaruhnya di atas meja.             Beberapa menit kemudian, kami berkumpul di dekat meja. Dokter Akar memeriksa satu persatu barang yang ada di atas meja dengan teliti, lalu mangut- mangut.             “Oke, agaknya ini udah cukuplah untuk P3K selama beberapa hari, agaknya begitu,” ujar dokter Akar.             “Dok, sebanyak ini kita taruh dimana?” tanya Rendra.             “Ah ya, kamu benar juga,” gumam dokter Akar. Ia melihat sekeliling. “Hem, saya coba cari dulu … mungkin ada yang bisa di pakai untuk tampung ini obat …” gumam dokter Akar. Ia mengelilingi ruangan obat dan kembali dengan sebuah tas berwarna merah dengan tanda plus berwarna putih di depannya.             “Syukurlah saya menemukan tas P3K yang kosong. Semua obatnya taruh di sini saja,” pinta dokter Akar. Ia memasukkan satu persatu barang yang ada di meja ke dalam tas.             “Oh ya nak, tolong carikan gunting ya. Biasanya ada gunting di dalam laci- laci ini,” perintah dokter Akar sambil menunjuk laci di meja. Aku membuka salah satu laci dan menemukan gunting di sana. Aku mengeluarkannya dan memberikan pada dokter Akar.             “Sekalian, kalau ada gunting kuku dan pinset lebih bagus,” pinta dokter Akar. Aku mengeluarkan gunting kuku dan pinset yang ada di laci ke atas meja. Dokter Akar masih sibuk memasukkan semua barang dan menyusunnya hingga rapi.             “Oh ya, saya lupa. Kalian apa ada penyakit bawaan? Penyakit yang suka kambuh tiba- tiba?” tanya dokter Akar. “Biar saya siapkan obatnya, mumpung lagi di sini,” lanjutnya.             “Saya gak ada sih dok, sehat terus untungnya,” jawabku.             “Saya juga, sama. Gak ada penyakit bawaan,” jawab Rendra. Dokter Akar mangut- mangut.             “Syukurlah kalau begitu. Nah kamu gimana nak?” tanya dokter Akar pada Kara.             “Em, sebenarnya saya ada bawaan asma dok, tapi udah lama banget gak kambuh sih,” jawab Kara. Dokter Akar mangut- mangut.             “Yah tapi gak ada salahnya kita jaga- jaga. Bentar, saya cari obatnya dulu.” Dokter Akar menelusuri beberapa lemari yang ada.             “Sudah berapa lama gak kambuhnya?” tanya dokter Akar.             “Ah, kurang lebih 3 tahun belakangan ini udah gak pernah kambuh lagi sih dok. Dulu sering banget kambuh, sering juga di opname kalau udah kambuh,” jelas Kara. Dokter Akar mangut- mangut.             “Ya sudah, ini saya resepkan beberapa obat. Ya jaga- jaga saja kalau kambuh. Saya berikan juga inhaler, sebaiknya kamu simpan saja sendiri di kantong. Dan, jangan terlalu capek, takutnya nanti malah kambuh,” pinta dokter Akar. Dokter Akar memberikan sebuah inhaler kepada Kara.             “Baik dok, terima kasih.”             Dokter Akar memasukkan kembali beberapa obat dan mengancing ta situ. Ia menenteng tas itu.             “Sudah. Ayo kita keluar dari sini,” perintah dokter Akar. Kami mengangguk. Dokter Akar memutar kunci dan melongok memperhatikan sekeliling. Dokter Akar melambaikan tangannya dan kami pun keluar mengikuti dokter Akar di belakangnya.             “Sekarang kita kemana dok?” tanya Rendra. Dokter Akar terdiam sesaat.             “Hem, mungkin sebaiknya kita ke parkiran saja dulu. Kita pergi dari sini, sambil cari cara di luar sana.” Dokter Akar merogoh kantong di jas dan kantong celananya, lalu nyengir lebar. “Kalian bawa mobil kan? Kita naik mobil kalian saja ya, kunci mobil saya sepertinya tertinggal di ruangan saya.” ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD