Chapter 51

1170 Words
Kami tiba di depan rumah sakit.. Aku melongo melihat sekitar. Ini tak bisa di percaya. Aku baru sehari meninggalkan rumah sakit ini, tapi kenapa sekeliling sudah berubah sebegitu cepat seakan aku sudah meninggalkannya bertahun- tahun? "Ini bener rumah sakitnya?" tanya Kara. "Menurut maps, begitu," jawab Rendra. "Sepertinya kemarin gak kayak gini deh," gumam Kara. Aku mengangguk. "Kemarin masih ramai, ini sepi banget kayak udah terbengkalai," timpalku. "Kita cari parkiran dulu ya. Ini parkirnya di dalam sana ya," gumam Rendra. Ia non aktif mode autopilot dan mengambil ahli kemudi. Ia melajukan mobil ke parkiran. Parkiran kosong melompong. Hanya ada beberapa mobil yang terparkir di sana. Mobil berhenti sebentar untuk mengambil tiket parkir. Pintu penghalang terbuka dan kami masuk ke dalam parkiran. Sepi yang benar- benar sepi, dan gelap. Biasanya selalu ada lampu yang menyala di tempat parkir, tapi kali ini semuanya mati. Aku mengigit bibirku. Suasana di luar sangat mencekam. Tanpa sadar aku menahan napasku. Aku takut jikalau tiba- tiba ada yang muncul lagi menempel di jendela mobil seperti tadi. Aku menundukkan kepala dalam. Jangan, jangan sampai ada zombie lagi yang menyerang kami. "Kita parkir di sini aja ya," ujar Rendra. Rendra memberhentikan mobil di dekat pintu masuk dari parkiran. Ada 3 ambulance juga yang terparkir tak jauh di sana. Ambulance itu tampak sedikit lusuh. Kami keluar dari mobil setelah mesin mobil mati. Rendra mengunci mobil setelah memastikan kami semua sudah keluar. Aku menggengam lengan Rendra erat. Aku berjalan berdampingan dengan Rendra. Kara jalan lebih dulu di depan kami. Rendra mengelus rambutku pelan. "Gak apa, jangan takut. Pegang aja aku biar gak ilang ya kita," pinta Rendra berusaha menenangkan. Aku mengangguk dan semakin erat menggengam lengan Rendra. Kami berjalan sedikit menjijit, memastikan tidak menimbulkan suara berisik. Takut jika para zombie itu ada di sini dan menyadari keberadaan kami. Kara membuka pintu masuk pelan. Sepi. Lorong rumah sakit tampak lenggang. Ini aneh, bukannya rumah sakit selalu ramai ya? Rumah sakit ini seperti sudah di tinggalkan oleh orang- orang. Kami menyusuri lorong pelan- pelan. Masih tak ada keberadaan orang- orang di sana. "Kenapa sepi begini?" tanya Kara berbisik. "Mungkin mereka ada di ujung lorong, atau di dalam ruangan gitu," jawab Rendra. "Di sana ada pintu Kar, ayo coba kita intip," pinta Rendra. Kami berhenti sebentar di depan pintu. Kami mengintip dari jendela ruangan. Ada tirai sekat yang menutupi jendela itu. Sepi, ruangan itu juga gelap. Sepertinya tak ada orang di sana. Kami melonggokan kepala, berusaha melihat lebih dalam. "Gak ada orang ya?" gumam Rendra berbisik. Kara mengangkat bahunya. "Kita pastiin aja ke dalam ya," usul Kara. Kami mengangguk. Kara membuka pintu itu perlahan. Ia melonggokan kepalanya ke dalam dan menyalakan senter kecil dari mr. communicator. "Aman, agaknya. Ayo masuk," ajak Kara. Kami mengikuti Kara masuk ke dalam. Kara menyenteri seluruh ruangan. Ruangan ini tampak sangat berantakan, dengan kursi pasien yang berserakan dimana- mana dan kertas- kertas resep yang berceceran di lantai. Aku mengambil salah satu kertas yang berceceran. Ah, aku tak nampak jelas isi kertas itu apa. "Bentar, kayak ada denger suara deh," gumam Kara. Kami menghentikan langkah dan memperhatikan sekitar dengan awas. Kara menyinari sekeliling ruangan dengan senternya. Ia memperbesar cahaya senter hingga mampu menyinari seisi ruangan. Kami memperhatikan setiap sudut dengan seksama. Tiba- tiba terdengar sebuah suara seseorang meringis. Kami saling menatap satu sama lain. "Suaranya dari sana," gumam Rendra tanpa suara sambil menunjuk ke arah meja. Kami mengendap- endap mendekati meja dan mengintip ke bawah meja. "AAAAA!!!!" teriak seseorang di bawah sana. "AAAAA!!!" teriak kami berteriak bersamaan. Kami tersentak kaget dan tanpa sadar berjalan mundur ke belakang hingga terjengkang. "Jangan ganggu aku! Jangan tangkap aku!" pinta orang itu setengah berteriak. Ia memeluk dirinya sendiri. Sepertinya ia dokter, dapat di lihat dengan jas putih yang ia kenakan. "Kalian jangan gigit aku! Jangan makan aku! Masih ada keluargaku di rumah!" mohonnya. "Anu pak, tenang. Kami bukan zombie, kami manusia," ujar Kara. Kara menepuk pundak orang itu pelan. Ia mendongakkan kepalanya dan menatap kami lamat- lamat. Ia menghela napas lega dan menangis. "Saya pikir, kalian tadi zombie. Syukurlah, syukurlah ..." ujar orang itu lega. Kara mengelus pelan pundak orang itu. "Tenang pak, kami aman kok," ujar Kara. "Maaf pak sedikit menyela. Tapi apa bapak bisa menjelaskan apa yang terjadi di sini?" tanya Rendra. Orang itu menghela napas panjang. "Rumit nak. Saya juga gak tahu apa yang terjadi di sini," jawabnya. "Ah ya sebelumnya saya mau memperkenalkan diri. Nama saya Akar. Saya dokter di sini". Dokter Akar memperkenalkan diri. "Saya Rendra." Rendra memperkenalkan diri. "Yang perempuan ini adik saya, Althea. Dan yang di sana teman saya, Kara." Rendra mempekenalkan kami semua. Aku dan Kara sedikit membungkukkan kepala. Dokter Akar mangut- mangut. "Jadi tujuan kami kemari adalah untuk menemani adik saya ini. Dia mau bertemu dengan mama dan neneknya." Rendra menjelaskan. "Nenek dan mamamu pasien di sini? Sejak kapan?" tanya dokter Akar. "Sejak kemarin dok," jawabku. "Boleh saya tahu nama nenek dan mamamu?" tanya dokter Akar. "Ah, mama saya namanya Wildani Puti dan nenek saya ... Em ... Sulistiyawati?" Duh, bisa- bisanya aku lupa dengan nama nenek. Selama ini orang memanggil nenek 'nek Sulis'. ".. Iya deh Sulistiyawati, nama nenek saya," jawabku yakin. "Sepertinya saya tahu nenek dan mamamu. Jika mereka masuk kemarin, kemungkinan besar mereka tidak selamat," jelas dokter Akar. "Maksud dokter?" tanyaku. Aku berharap ada jawaban baik dari mulut dokter. Dokter menghela napas. "Mereka selamat, ya mereka hidup. Tapi kemungkinan mereka menjadi salah satu dari zombie itu," jelas dokter. Aku terkesiap. "Gak mungkin. Mama ... Nenek ..." *** Aku menangis tersedu- sedu di pojok ruangan. Masih shock dengan kabar yang diberikan dokter Akar tadi. Rendra dan Kara berusaha menenangkanku. "Maafkan saya, saya juga sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi saya tidak bisa menangani hal itu," ujar dokter Akar. "Saya tidak tahu itu virus apa, tapi itu menyerang dengan sangat cepat hingga hampir seluruh nakes di rumah sakit ini juga terjangkit," jelas dokter Akar. "Saya sembunyi di sini, menyelamatkan diri saya sendiri. Saya takut. Mereka semua jadi menyeramkan karena virus itu. Saya teringat dengan anak dan istri saya di rumah, saya harus pulang dengan selamat demi mereka, dan melupakan pasien yang harusnya saya sembuhkan." Dokter Akar menundukkan kepalanya. "Sepertinya saya gagal jadi dokter. Saya egois ya, jadi dokter?" gumam dokter Akar. Rendra menepuk pelan pundak dokter Akar. "Enggak dok. Dokter hebat kok. Tapi ada kalanya di kondisi seperti ini kita memilih untuk egois. Tapi, coba pikirkan. Kalau semuanya terjangkit, lantas siapa yang bisa menyembuhkan mereka?" ujar Rendra. Dokter Akar mengangguk dan tersenyum simpul. "Kau ada benarnya juga. Kalau saya tidak ada, lantas gimana mau sembuhin ya," jawab dokter Akar. "Baiklah. Saya berjanji padamu nak. Saya akan selamatin mereka yang terjangkit." Dokter Akar menepuk pundakku. "Saya mohon bantuannya dok." Aku sedikit membungkukkan kepalaku. "Ya, saya akan membantumu," ujar dokter Akar. "Agaknya kita harus keluar dari sini. Ada baiknya kita kelilingi rumah sakit ini, mungkin saja ada yang selamat di sana," usul Rendra. "Ya. Saya berani jika ramai seperti ini. Tapi kita ada baiknya juga sih mengambil beberapa obat, jaga- jaga saja untuk nanti," timpal dokter Akar. "Ayo, kita keluar. Ingat jangan sampai ada yang terpisah." ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD