Chapter 50

2498 Words
          “Tapi Teh, rumah sakit bukan tempat yang aman,” ujar Kara.             “Aku tahu,” gumamku. “Tapi aku mau ke sana. Bawa aku ke sana, tolong. Aku harus tahu kondisi nenek dan mama,” lanjutku. Rendra menarik napas panjang.             “Oke. Kami temani kamu ke sana, oke?” tanya Rendra. “Aku temani aja, kalau ada apa- apa aku gak mau tahu ya,” lanjut Rendra. Aku mengangguk.             “Gak apa. Aku memang minta anterin doang kok. Makasih Ren,” jawabku.             “Ya udah, ayo kita pergi sekarang aja,” ujar Rendra. Ia menyalakan maps dan mengatur titiknya ke titik rumah sakit tempat nenek dan mama berada. “Benar kan rumah sakit ini?” tanya Rendra. Aku mengangguk.             “Maps on. Jarak ke tempat tujuan: 20 km.” Maps memberitahu jarak. Rendra pun menyalakan mobil dan mobil jalan perlahan menuju rumah sakit. ***             Kami berhasil keluar dari area persawahan yang sepi menuju daerah perkotaan yang ramai. Aku sedikit lega saat melihat beberapa mobil di jalan menuju kota, karena sedaritadi tidak ada kendaraan yang melintas. Kami menyusuri jalan menuju kota. Tampak emperan toko berjejeran di sekeliling kami. Aku melihat dari jendela mobil. Semua toko tutup. Lingkungan sekitar tampak sepi. Hanya ada 1-2 mobil yang melintas di jalanan.             “Sepi sekali,” gumamku. Rendra mengangguk.             “Mungkin mereka masih libur Nyepian,” ujar Kara.             “Atau mungkin juga karena hal lain,” gumam Rendra. Rendra memperhatikan jalanan dengan seksama. Ia membawa mobil lebih pelan. Sesekali ia melihat keluar melalui jendela mobil. Rendra tampak sangat awas di jalanan yang kosong ini.             “Kenapa Ren? Ini kan lagi sepi, kok awas banget gitu,” tanyaku heran.             “Justru karena sepi makanya aneh …” jawab Rendra sambil melirik kaca spion luar. Aku mengernyitkan alis.             “Kok aneh kan kosong gini harusnya gak ada apa- apa dong,” ujarku.             “Harusnya begitu ..” gumam Rendra sambil terus memperhatikan spion di luar.             “REN AWAS!” teriak Kara dari belakang. Ia menunjuk ke depan. Refleks, Rendra menekan rem. Kami terpental di kursi. Aku menahan napasku saat melihat ada seseorang di depan yang tak sengaja kami tabrak. Aku hendak membuka pintu untuk keluar dan memastikan keadaan orang itu, tapi Rendra menahanku.             “Jangan. Jangan Teh. Bahaya,” ujar Rendra. Aku menepis tangannya.             “Tapi dia ketabrak Ren, kita gak boleh kabur begitu a …” Belum juga aku menyelesaikan perkataanku, tiba- tiba seseorang nemplok di kaca jendela mobil. Aku tersentak kaget dan memundurkan badan. Matanya yang merah menatapku dengan tatapan yang kosong. Mulutnya celemotan darah terbuka lebar. Ia menemplokkan wajahnya ke jendela mobil sambil memukul- mukulnya. Tak hanya seorang, tapi mobil kami sudah di keliling oleh mereka. Mereka mengerumuni kami di segala sisi.             “Gawat!” Rendra mengaktifkan kaca buram. Semua kaca mobil berubah menjadi buram. Suara teriakan tak jelas dan suara memukul- mukul mobil terdengar dari segala sisi.             “Ren, gas cepat! Nanti malah mobil ini bisa di bobol mereka!” pinta Kara.             “Tak mungkin, mobil ini kan kuat, mana mungkin mereka bisa …” Perkataan Rendra terhenti saat mendengar sebuah bunyi kaca retak di belakang sana. Kami melirik ke belakang mobil. Benar saja, kaca bagasi mobil sudah retak.             PRANG!             Lagi, kami mendengar sebuah suara gaduh. Rendra mencoba mengintip dari kaca mobil yang buram. Kaca spion di luar sana sudah di hancurkan oleh mereka.             “REN. GAS!” Pinta Kara sekali lagi. Tanpa pikir panjang, Rendra langsung tancap gas. Menabrak mereka semua yang mengerumuni mobil. Rendra membawa mobil sekencang mungkin, menjauhi kerumuman zombie itu secepatnya. ***             Kami berhenti di sebuah lorong kecil yang sepi. Kami menghela napas lega. Sepanjang jalan tadi kami sangat tegang. Rendra tidak sedikit pun mengurangi kecepatan mobil. Ia terus menerobos beberapa zombie yang lewat di depan kami. Bercak darah bekas zombie itu sepertinya sudah memenuhi luar mobil kami.             Rendra mencoba mengatur napasnya. Sepanjang jalan ia yang sedari tadi paling tegang. Ia mengantukkan kepalanya ke setir mobil. Kara melepas seat belt dan membaringkan dirinya di kursi belakang.             “Gila, ngeri banget,” gumam Kara. Ia menutup wajahnya dengan lengannya.             “Kukira kita gak bakal selamat,” gumamku. Aku melirik ke belakang. Kaca bagasi di belakang sudah retak, nyaris pecah jika sekali lagi di pukul dengan benda keras. Rendra mengangkat kepalanya dan duduk tegap.             “The, kamu yakin kita tetap ke rumah sakit?” tanya Rendra. Aku terdiam sesaat. Ini baru setengah jalan ke rumah sakit, tapi sudah banyak sekali zombie berkeliaran. Apalagi kalau kami jalan lagi ke rumah sakit, kemungkinan zombie yang berkeliaran semakin banyak.             “Bisa jadi kita makin banyak hadapi zombie kayak tadi,” ujar Rendra.             “Wih, makin gila aku kalau hadapi zombie lagi. Ini aja udah capek, beringas banget mereka,” gerutu Kara. Benar memang kata Rendra, tapi …             “Lanjut saja. Kita lanjut ke rumah sakit,” jawabku. Kara bangkit dan menepuk pundakku kencang.             “Kau gila?! Tadi aja kita hampir aja jadi santapan zombie itu!” gerutu Kara. Aku menepis tangannya dari pundakku.             “Tapi kita udah gak mungkin untuk mundur, kan? Kalau mundur sama saja, kita bakal ketemu mereka juga,” ujarku. “Lebih baik maju terus saja, toh kita gak tahu kan di depan sana ada apa. Kali aja zombie itu udah gak ada di sana, dan kita bisa pulang dengan aman,” lanjutku.             “Ya tapi …” Aku menundukkan kepalaku.             “Maaf kalau aku memaksa. Tapi … aku … benar- benar khawatir dengan nenek dan mama …” ujarku. Aku berusaha menahan tangis. Aku kangen dengan senyum ramah nenek. Aku kangen dengan mama, segala teguran mama dan bentakan halus mama ketika aku melakukan kesalahan. Aku kangen mereka. Aku rindu. Rindu kumpul bersama mereka seperti dulu lagi.             Rendra menghela napas panjang. Ia mengelus pelan rambutku. Tangisku pecah. Aku kangen dengan papa juga. Papa biasa mengelus rambutku dengan lembut. Aku … aku kangen dengan keluargaku.             “Ya, tak apa. Kita ke rumah sakit saja sekarang,” ujar Rendra.             “Tapi Ren …” Belum juga Kara selesai bicara, Rendra menaruh jari telunjuk di depan bibir Kara.             “Kar, udahlah. Benar kata Teh, kepalang nanggung juga toh. Yah semoga aja gak apa selama di jalan. Aku bakal aktifin mode invisible, semua pintu akan di kunci rapat dan jendela mode blur tetap akan menyala. Untuk sementara, itu saja yang bisa kita lakukan.” Rendra menjelaskan. Ia kembali memakai seat belt nya.             “Kalian pakai lagi seat belt. Kita bakal lanjutin perjalanan kita,” pinta Rendra. Kara akhirnya mengalah dan kembali berselonjor di kursi belakang. Ia menggunakan seat belt-nya. Rendra kembali menyalakan maps. Untung saja titik tujuan belum berubah. Ia juga mengaktifkan mode yang lainnya di mobil.             “Invisible mode on, blur mode on, autopilot on,” gumam robot mobil.             “Aku aktifin autopilot sebentar. Aku mau istirahat dulu,” ujar Rendra. Ia berselonjor di kursinya. Mobil melaju meninggalkan lorong sempit itu. ***             Sepanjang jalan, kami melihat zombie- zombie itu berjalan dengan langkah tertatih. Tatapan mereka kosong. Mata mereka merah, ya sepenuhnya merah. Kulit mereka pucat pasi dan tampak seluruh urat mereka. Aku mengintip dari jendela, memperhatikan sekitar meski masih takut jikalau mereka menyadari kami dan nemplok lagi di kaca mobil.             Kami masih menyusuri setiap toko- toko. Semua toko tutup. Sepertinya mereka takut untuk membuka toko mereka, takut malah zombie itu menyerang mereka. Sebuah jendela di lantai dua sebuah ruko terbuka, dan tampak seseorang melambaikan tangannya. Ia tampak sangat panik seperti di kejar oleh sesuatu. Aku tersentak kaget saat melihat ada seorang zombie di belakangnya. Zombie itu menangkapnya dan menggigit leher orang itu. Aku menahan napas saat zombie itu tetap menggigitnya meski ia sudah jatuh.             Aku memalingkan wajahku dari jendela. Aku menundukkan kepala. Mengerikan. Itu adalah hal yang paling brutal yang pernah aku lihat. Lantas bagaimana nasib orang itu? Apakah menjadi zombie juga, atau akan menjadi mayat yang hanya tersisa beberapa orang tubuhnya? Aku menutup mulutku. Ah, membayangkannya saja aku sudah mual.             “Waw, mereka ada di sepanjang jalan,” gumam Kara. Ia melirik keluar jendela. “Tapi tak ada satu pun yang sadar ya kalau kita lewat,” lanjut Kara.             “Ya, tentu saja. Karena aku udah aktifin mode invisible,” ujar Rendra. “Dan juga mode silent, jadi mesin mobil gak akan bunyi. Menurutku, mereka ini sensitive dengan suara, mereka bakal datangi tempat yang ada sumber suaranya,” jelas Rendra.             “Gimana jadinya kalau mereka dengar kita ngomong di mobil?” tanya Kara berbisik. Rendra tertawa kecil.             “Tenang aja, mereka gak akan denger kita di mobil. Sudah kubilang kan, aku aktifin mode silent. Suara mesin mobil, suara kita di dalam mobil, mau kamu teriak gimana pun juga gak akan kedengeran keluar,” jawab Rendra. Kara menghela napas lega.             “Kenapa daritadi gak kamu aktifin aja mode ini dari awal sih? Kan kita gak perlu di kerumuni sama sekumpulan zombie itu tadi!” gerutu Kara.             “Yah, aku mana tahu kalau bakal ada zombie kerumuni kita. Sori deh,” ujar Rendra.             “Seengaknya sekarang udah lumayan amanlah daripada yang tadi,” timpalku. Rendra mengangguk. “Oh ya, bagian yang retak di belakang itu, apa gak apa? Gak bikin segala mode itu error kan?” tanyaku.             “Sepertinya engga,” jawab Rendra. Ia melirik ke belakang. “Yah, sepertinya selama belum pecah, gak masalah deh,” lanjut Rendra.             “Ah, kalau begini kan enak. Sambil tidur pun gak apa, bakal aman,” gumam Kara. Ia berselonjor di kursi belakang.             “Oh ya Teh, kamu lanjut tidur aja. Tadi cuma tidur sebentar kan? Kamu masih ngantuk gak?” tanya Rendra. Ah iya, benar juga. Aku baru tidur sejam saja tadi. Semalam juga aku tidak tidur. Sepertinya karena terlalu tegang di kejar oleh segerombolan zombie tadi, aku sampai lupa rasa kantukku. Aku menguap lebar. Yah, tapi badanku tidak bisa bohong sih. Seluruh badanku sangat lelah. Aku menggeliat.             “Agaknya kamu ngantuk ya,” gumam Rendra. “Tidur saja, kita masih agak lama sih sampainya. Nanti kalau sudah sampai tujuan aku bangunkan,” pinta Rendra. Aku mengangguk.             “Kursinya aku turunkan sedikit ya, biar enak kamu tidurnya,” ujar Rendra. Ia menekan sebuah tombol dan kursiku perlahan turun secara otomatis. Ah, ini lebih baik daripada harus tidur terduduk. Rendra membuka dashboard dan mengambil sebuah tas kecil. Ia membuka tas itu dan keluar sebuah selimut yang cukup besar. Ia menyelimutku dengan selimut itu.             “Tidur ya, yang nyenyak. Gak apa, semuanya aman,” bisik Rendra lembut.             “Ren, Althea doang nih? Aku kan juga mau selimut,” gerutu Kara. Rendra berdecak kesal.             “Dih, dasar lu ganggu waktu kakak adik aja,” gerutu Rendra. Rendra membuka dashboard dan mengeluarkan sebuah tas. Ia melemparkan tas itu ke Kara. Kara menangkapnya.             “Sialan, giliran ama gue di lempar begini,” ujar Kara. Ia membuka tas dan mengeluarkan selimut di dalamnya. “Lu hak mau selimutin gue sekalian Ren?” tanya Kara.             “Kagak! Pake sendiri, lu bukan bocah lagi!” jawab Rendra. Kara berdecak kesal.             “Cih, pilih kasih!” ***             Aku memperhatikan sekelilingku. Ini dimana? Sekelilingku sepi, tak ada orang. Semuanya berwarna putih terang.             “Althea …” panggil seseorang. Aku menoleh, mencari asal suara. Siapa yang memanggilku? Suara itu tampak tak asing bagiku. Aku berkeliling mencari asal suara. Tetap aku tak menemukan seorang pun di sana.             “Althea …” Terdengar lagi suara itu. Aku memperhatikan sekitar. Masih juga tak ada orang di sana.             “Siapa itu?” tanyaku setengah berteriak. “Hei siapa itu yang panggil! Keluar!” pintaku. Hening. Aku merinding. Siapa itu yang memanggilku? Tiba- tiba pundakku di tepuk. Aku menepisnya dan menoleh ke belakang.             “Mau apa kamu …?!” Aku langsung membungkam protesku saat melihat sosok di belakangku. Itu nenek dan mama.             “Kamu kenapa Teh? Ini nenek dan mama,” ujar nenek. Aku terdiam sesaat, lalu memeluk mereka erat. Aku menangis di dalam pelukan. Menangis sekencangnya.             “Loh, loh kamu kenapa Teh?” tanya mama panik.             “Teh sakit? Teh luka ya? Ada yang jahatin Teh? Kamu kenapa Teh?” tanya nenek beruntun. Aku mengeleng pelan. Aku melepas pelukan dan menyeka air mata di pipi.             “Teh gak apa kok ma, nek. Teh .. Teh cuma kangen kalian aja,” jawabku. Nenek dan mama tersenyum simpul. Nenek mengelus rambutku pelan. Mereka kembali memelukku.             “Ya ampun Teh. Nenek kirain kamu kenapa. Nenek udah takut loh,” ujar nenek. Aku nyengir lebar.             “Udah Teh, kamu jangan khawatir lagi ya. Mama dan nenek bakal ada di sini kok buat kamu,” ujar mama. Mama memelukku erat.             “Udah ya, jangan takut lagi ya? Kami di sini buatmu kok,” ujar nenek. Aku mengangguk pelan.             “Ya ampun pada pelukan. Ikutan dong,” ujar sebuah suara di dekat kami. Kami menoleh.             “Oh papa. Sini pa sini, kita pelukan Althea bareng,” ajak mama. Papa mendatangi kami. Papa nyengir lebar. Kedatangan papa membuat suasana berubah. Tadinya semuanya putih cerah, tapi tiba- tiba semuanya berubah menjadi gelap. Hanya ada sedikit cahaya merah yang menyinari sekeliling papa. Wajah papa berubah menjadi menyeramkan, tatapannya tajam dan taring keluar dari mulut papa. Tanduk kecil di kepala papa perlahan semakin membesar.             “Pa … papa …” gumamku pelan. Aku memperhatikan sekeliling. Mama dan nenek sudah tak ada di sana. Papa perlahan melangkah mendekatiku.             “Ayo sini Teh, papa peluk …” ujar papa parau. Semakin lama badan papa semakin besar dan besar. Aku meringkuk dalam- dalam. Papa tampak mengerikan, semakin mengerikan saat papa menyodorkan jarum suntik yang sangat besar.             “Ayo sini anak papa …” panggil papa dengan suara parau. Aku menggeleng. Aku mencoba untuk lari, tapi kakiku tak mau bergerak. Aku jatuh terduduk dan menyeret badanku pelan- pelan.             “Teh kangen juga kan dengan papa …” Papa menyodorkan jarum suntik itu padaku. Jarun suntik itu nyaris saja menusuk mataku.             “Pa, berhenti pa. Papa …!” ***             “Teh! Teh! Althea!”             Aku tersentak terbangun. Rendra mengguncang badanku. Wajahnya sedikit cemas melihatku. Ia langsung memelukku begitu aku terbangun. Aku melepaskan pelukannya.             “Kenapa ini peluk- peluk?!” tanyaku sedikit risih.             “Teh kamu gak apa kan? Kamu tadi ngigau waktu tidur, sampai nangis. Aku khawatir. Kamu juga tadi manggil- manggil papa. Kamu gak apa kan? Kamu mimpi apa tadi?” tanya Rendra bertubi- tubi. Aku menghela napas lega. Ah syukurlah tadi cuma mimpi.             “Kamu mimpi buruk Teh?” tanya Rendra. Aku mengangguk pelan. “Kamu mimpi apa?” tanyanya lagi.             “Mimpi papa, berubah jadi monster ..” jawabku. “Tinggi besar, bertaring, punya tanduk …” Aku menjelaskan. Rendra mangut- mangut.             “Aku gak ngerti, jujur aja. Tapi lihat kamu sampai berkeringat gini, kayaknya memang mimpinya seburuk itu,” ujar Rendra.             “Minum dulu Teh, biar tenang sedikit.” Kara menyodorkan sebotol air putih padaku. Aku mengambil botol itu dari tangannya.             “Thanks Kar,” ujarku. Kara mengangguk. Aku menengak air putih di botol itu hingga habis. Aku menghela napas panjang.                         “Gimana? Udah sedikit lega sekarang?” tanya Rendra. Aku mengangguk.             “Sekarang kita udah sampai dimana Ren?” tanyaku.             “Oh ya sebentar, aku lupa cek lokasi,” jawab Rendra. Ia mengecek maps dengan seksama. “Kalau menurut maps, kita udah sampai di tujuan.” ****  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD