Chapter 49

1111 Words
Pintu lift terbuka otomatis. Rendra mengintip keluar. Ia memperhatikan sekitar. Lantai paling bawah sepertinya di gunakan untuk garasi. Garasi ini sangat luas dan kosong. “Mobilnya dimana?” tanyaku. Aku tak nampak ada mobil di sini. Rendra mengeluarkan kunci mobil dan menekan tombol di kuncinya. Tampak sebuah mobil di ujung sana. Aku melongo. Mobil tembus pandang! Itu masih keluaran terbaru dan masih susah untuk di cari. “Oke aman,” gumam Rendra. Ia keluar selangkah dari lift dan melambaikan tangan. Kami keluar mengikuti Rendra seperti anak itik. Kami melangkah sambil berjinjit, berusaha tidak menimbulkan suara. Rendra menggengam tanganku erat. Rendra masih mencoba memperhatikan sekeliling, masih awas. “Pelan- pelan. Jangan ribut,” ujar Rendra mengingatkan. Aku mengangguk. Terdengar sebuah suara dari luar sana. Rendra menghentikan langkahnya, membuat kami berhenti juga. Rendra menaruh jari telunjuk di depan mulut. Aku mencoba menajamkan pendengaranku. Sepertinya suara itu hanya terdengar sesaat. Setelah tak lagi terdengar suara, kami kembali berjalan ke mobil. Rendra mengeluarkan kunci mobil dan menekan tombol alaram mobil. Mobil menampakkan dirinya di depan kami. Kami masuk ke dalam sana dan menghela napas lega. Syukurlah kami selamat sampai ke mobil. “Ayo pasang seat belt,” pinta Rendra. Kami memakai seat belt. Rendra menarik napas dalam dan memutar kunci mobil. Ia menarik pedal dan mobil berjalan keluar. Pintu garasi terbuka otomatis. Ternyata beberapa orang sudah menunggu kami di luar sana. Mereka semua sama, wajahnya pucat dan tatapannya kosong. Mulut mereka cemong dengan darah. Mereka menghalangi jalan kami. Rendra tidak peduli. Rendra menekan pedal gas semakin dalam dan menabrak mereka semua hingga terpental. “Ren, Ren! Pelan- pelan Ren! Jangan di tabrakin semua itu heh orang itu semua!” Aku mengingatkan sambil menggoyangkan bahu Rendra. Rendra menepis tanganku. “Mereka bukan orang!” ujar Rendra ketus. Rendra semakin kencang membawa mobil. Aku meringkuk di kursi, berusaha menjaga diri agar tetap seimbang. Akhirnya setelah menabrak semua orang yang menghalangi, kami berhasil menjauh dari rumah Rendra. “Apa maksud kamu? Kenapa kamu tabrak semua orang itu?” protesku. Kara menepuk pundakku. “Heh b**o! Mereka bukan orang lagi! Mereka udah jadi zombie!” jelas Kara. “Hah?!” **** Mobil berhenti di sudut jalan yang cukup sepi. Kiri kanan di himpit dengan sawah. Tak ada siapa pun di sana. Rendra menghela napas berat. Ia berselonjor di kursi. “Maaf Teh kayaknya kita gak jadi ke rumah sakit,” ujar Rendra. “Kenapa?” tanyaku. Kara menjitak kepalaku dari belakang. Aku meringis kesakitan. “Kamu gila ya?! Kamu gak liat tadi kita di kejar- kejar zombie?!” tanya Kara membentak. “Mereka orang, mereka manusia bukan zombie!” jawabku ketus. Rendra mengeleng. “Gak Teh, Kara bener. Mereka bukan manusia. Mereka zombie,” gumam Rendra. Ia memukul setir mobil dengan kepalanya. “Sepertinya kita terlambat. Ah, seharusnya aku udah cegah dari awal,” guman Rendra. “Gimana maksudnya? Kenapa mereka bisa jadi zombie?” tanyaku bingung. Oke aku merasa ini semua tidak masuk di akal. Semuanya berubah begitu cepat dalam semalam saja. Tak ada jawaban dari keduanya. Rendra menyalakan radio dan terdengarlah suara pembawa berita dari sana. Ah, sudah jarang aku dengar berita dari radio. “Selamat malam para pendengar setia radio Multadua FM. Saya, Citari Raitama akan membawakan berita untuk hari ini. Hari ini sedang terjadi kerusuhan di seluruh negeri. Rumah sakit kewalahan menghadapi munculnya virus baru yang bermutasi dengan sangat cepat dan membuat mereka yang terjangkit bertingkah laku aneh layaknya zombie. Belum ada yang tahu penyebab penyakit ini. Para peneliti masih terus meneliti untuk menemukan obat penyakit ini secepatnya. Mereka yang terjangkit virus misterius ini akan berubah menjadi pucat pasi, tatapan kosong, dan berjalan tertatih- tatih. Untuk saat ini, sebaiknya jangan ada yang keluar rumah terlebih dahulu karena mereka terus mengincar korban baru untuk menjadi zombie juga...” Rendra mematikan radio. Aku terkesiap, masih tidak percaya dengan berita yang baru saja aku dengar. Zombie? Bagaimana bisa ada zombie di dunia nyata seperti yang ada di film? “Gimana? Udah percaya?” tanya Kara. Aku menjawab pertanyaan Kara dengan ekspresi kaget tak percaya. “Yah, tampangmu sudah menjawab semuanya,” ujar Kara. “Tapi gimana bisa ...?” tanyaku terbata. “Virus itu. Aku yakin ini karena virus itu,” jawab Rendra. Ia memukul setir berulang kali. “Sialan, aku kira gak bakal jadi begini!” gerutu Rendra. “Jadi kita kemana sekarang?” tanyaku bingung. Tiba- tiba, mr. Communicator di kantongku bergetar. Aku tak menyangka ternyata aku sempat membawa mr. Communicator. Aku mengambilnya. Ada telpon masuk dari ... Papa? “Ya hallo papa,” salamku. Aku menaruh jari telunjuk di bibir, meminta Kara dan Rendra untuk hening sesaat. “Althea! Kamu gak apa kan nak? Papa baru nonton berita, papa jadi khawatir. Kamu gak apa kan nak?” tanya papa khawatir. “Iya pa gak apa. Teh baik baik aja kok,” jawabku. Terdengar suara napas lega dari ujuny sana. “Syukurlah nak. Kamu gak apa. Gimana nenek dan mama? Mereka aman? Gak apa kan?” tanya papa. Aku menelan ludah. Haduh, harus jawab apa? Aku tidak tahu kabar nebek dan mama hingga detik ini! “Ah ... Nenek dan mama gak apa kok pa. Mereka udah mendingan ya, daripada tadi. Sekarang lagi pada istirahat,” jawabku bohong. “Syukurlah kalian baik- baik saja. Papa bener- bener khawatir,” ujar papa. “Kalo khawatir, kenapa papa gak nyusul kami ke rumah sakit?” tanyaku. “Maaf nak, tapi papa gak bisa. Papa ...” Belum juga papa menyelesaikan perkataannya, aku keburu memotongnya. “Apa? Karena papa sibuk kerja? Jadi papa lebih pentingin pekerjaan papa daripada keluarga papa sendiri?” tanyaku. Papa terdiam sesaat di ujung sana. “Bukan begitu nak, tapi ...” “Tapi apa pa?” tanyaku lagi. “Bahkan lagi kondisi begini papa ninggalin kami. Sepenting apa pekerjaan papa?!” bentakku. “Nak maaf nak. Bukan begitu. Tapi papa benar gak bisa sekarang ..” jawab papa. “Gak bisa apa sih pa?!” bentakku. Terdengar helaan napas di ujung sana. “Baiklah. Maaf papa gak bisa pulang. Papa ... Papa harus nencari cara untuk menyelesaikan hal ini ...” jawab papa. “Hal apa sih pa? Teh gak ngerti. Penting banget?” tanyaku lagi. “Sangat. Sangat penting. Ini demi banyak orang, demi kamu juga sayang. Teh, apapun yang papa lakukan saat ini, tolong jangan benci papa ya. Sekalipun papa adalah dalang dari semua kekacauan ini, papa harap kamu jangan benci papa. Papa tetap sayang kamu nak.” “Hah? Apa pa?” Belum juga papa menjawab pertanyaanku, telpon keburu di matikan. Aku mencova mencerna semua perkataan papa yang papa katakan dalam satu tarikan napas itu. Apa mungkin, yang Rendra katakan benar? “Ren, kumohon. Kita ke rumah sakit sekarang.” *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD