Chapter 48

1075 Words
          “Apa maksudmu?” tanyaku. Kara menghela napas panjang.             “Kau cek saja dari jendela. Tapi jangan dari jendela depan, nanti ketahuan. Dari jendela sini aja.” Kara menarik tanganku menuju suatu tempat. Sudut ruangan menuju lantai 2 ternyata memiliki jendela yang cukup lebar. Jendela itu di tutup dengan tirai beludru merah marun. Kara menyibak tirai itu dan aku kaget setengah mati.             Beberapa orang berjalan dengan tatapan kosong. Wajah mereka pucat pasi, beberapa ada yang sampai tampak jelas garis urat hingga ke wajahnya. Mereka jalan berpencar tak menentu arah. Seekor kucing liar lewat melintasi mereka. Mereka menatap kucing itu lamat- lamat dan menghabisi kucing itu beramai- ramai. Kucing itu meronta, tapi tak dapat lari karena di keliling oleh banyak orang. Akhirnya kucing itu tewas di tempat, bersimbah darah. Mulut mereka penuh dengan darah.             Ini gila. Benar- benar gila. Aku jalan mundur perlahan dan tanpa sadar menabrak sesuatu di belakangku hingga menimbulkan bunyi gaduh. Aku tersentak kaget dan hendak berteriak, tapi Kara keburu membungkam mulutku dengan tangannya.             “Diam. Jangan teriak,” bisik Kara. “Nanti mereka sadar keberadaan kita,” ujar Kara. Ia menyibak kembali tirai beludru merah. Tampak mereka kebingungan, melirik kesana kemari seperti mencari sesuatu. “Kalau ada ribut mereka bakal datang kemari,” ujar Kara. Aku mengangguk pelan. Kara melepaskan bungkamannya.             “Jadi sekarang kita bagaimana? Kita mana bisa keluar kalau begini!” tanyaku panik.             “Tenang. Kita pasti bisa keluar. Mereka itu tetap manusia, pasti akan capek dengan sendirinya,” jawab Rendra berusaha menenangkan. “Nanti agak maleman, kita keluar. Kemungkinan mereka udah tidur sih kayaknya. Kita keluar lewat belakang, udah ada mobilku di sana,” saran Rendra.             “Baiklah. Sepertinya itu ide yang bagus,” ujarku setuju.             “Jadi kita sekarang ngapain?” tanya Kara.             “Sebaiknya kembali ke kamar masing- masing saja dulu. Ruangan bawah gak kedap suara, mereka bisa tahu keberadaan kita kalau ada ribut sedikit. Kalau di atas semuanya sudah kedap suara,” jawab Rendra. “Lagipula, kamu belum ada tidur kan Teh?” tanya Rendra. Aku nyengir dan mengangguk pelan.             “Ya sudah, kita ke kamar ini ya. Ingat, pelan- pelan melangkah. Jangan gaduh. Jangan ribut. Nanti mereka datang.” Rendra mengingatkan.             Kami berpisah jalan di menuju lantai 2. Kami menaiki tangga sambil berjinijit dengan pelan. Sangat pelan, pokoknya jangan sampai timbul suara gaduh. Satu per satu anak tangga kami lewati. Sesampainya di atas, kami masuk ke kamar masing- masing.             Aku mengunci pintu kamar dan bernapas lega. Aku melemparkan diriku ke kasur dan menatap langit- langit kamar. Masih sukar di percaya dengan apa yang aku lihat tadi. Mereka manusia, tapi tatapan kosong mereka membuat mereka tampak seperti zombie. Aku menghela napas panjang dan berguling di kasur.             Aman kan? Kita pasti aman kan di sini? Ya pasti amanlah ya. Ya, semoga aman. ****             Aku mengerjapkan mataku. Ah, ternyata aku ketiduran tadi. Sudah berapa lama aku tidur? Aku mengerjapkan mataku perlahan dan tampaklah sosok seseorang di depanku. Wajahnya pucat penuh dengan urat di sekeliling wajahnya dan tatapannya kosong. Aku tersentak kaget dan tanpa sadar aku berteriak meleking. Mendengar teriakanku, wanita itu meringis. Tangannya berusaha menggapai badanku. Refleks aku menghindar. Ya ampun, nyaris saja tangannya dengan kuku yang tajam itu menembus kulitku.             Aku segera bangkit dari tempat tidur dan berlari menuju pintu. Pintu kamar sudah rusak, terlepas dari engselnya. Sepertinya wanita ini mendobraknya dengan kekuatan tenaga dalam. Wanita itu mengejarku. Aku berteriak semakin meleking.             “Althea!” panggil sebuah suara. Aku menoleh ke asal suara itu. Rendra mengintip dari balik dinding dekat lemari. Sepertinya itu lift rahasia. Ia melambai- lambaikan tangannya dan dari jauh dia berbisik ‘sini’, katanya.             Aku kelimpungan. Aku merasa di sudutkan. Wanita it uterus mengejarku sambil mengeram. Aku melihat sekeliling dan melempar sebuah vas keramik yang ada di sudut ruangan ke arah wanita itu. Vas keramik itu berhasil mengenai kepala wanita itu dan pecah. Darah mengucur dari kepalanya. Ia berhenti sesaat dan menatap darah yang terus mengucur. Ini kesempatan emas. Aku langsung lari sekencang- kencangnya menuju lift.             Ternyata wanita itu hanya shock sesaat. Begitu aku mengambil langkah seribu, wanita itu langsung bangkit dan balik mengejarku. Aku lari semakin kencang. Pintu lift terbuka lebar, tampak Kara dan Rendra di dalam sana.             “Sini Teh cepet!” ajak Rendra. Ia merentangkan tangannya. Aku menggapai tangannya. Rendra menarik tanganku dan memelukku masuk ke dalam lift. Lift otomatis tertutup. Rendra memelukku erat. Ia menangis sesengukan.             “Untunglah kamu gak apa- apa Teh,” gumam Rendra. Aku membalas pelukannya erat. Rendra mengelus rambutku lembut. Aku menangis di dalam pelukannya.             “Udah gak apa Teh, gak apa,” ujar Rendra. Ia mengelus pelan pundakku. “Udah gak apa. Tenang ada aku di sini.” Rendra berusaha menenangkanku. Aku melepaskan pelukannya dan menangis sesengukan.             “Gak apa, udah kita aman,” ujar Rendra.             “Aku … aku kaget … baru bangun … malah di kejar … mana kukunya tajem …” Aku bercerita sambil sesengukkan.             “Udah udah. Kita aman, semoga. Sekarang kita pergi ke belakang, kita keluar dari sini naik mobilku,” ujar Rendra.             “Maaf Ren, aku …” gumam Kara terbata. “Kalau aku gak buat ribut di dapur tadi, mungkin kita masih aman di rumah ini. Maaf Ren …” lanjut Kara. Rendra menghela napas panjang dan menepuk pundak Kara.             “Ya sudahlah. Mau marah juga sudah gak mungkin, ya memang kamu ceroboh kali ini. Tapi gak apa, syukurlah kita gak ada yang terluka di sini,” ujar Rendra. Rendra memegang kedua lengan hingga bahuku. “Kamu gak luka kan? Gaada lecet kan?” tanya Rendra. Aku mengeleng.             Baru saja Rendra bernapas lega, darah menetes dari keningku. Aku merasakan darah segar ini mengalir memegang jidatku. Rendra dan Kara melotot kaget.             “Kamu … jidatmu … berdarah …” gumam Kara.             “Teh … kamu .. gak apa kan?” tanya Rendra khawatir. Aku melongo sesaat. Darah? Kenapa aku berdarah?             “Ah, eh .. gak apa .. mungkin ini kena sayat sama potongan vas keramik yang aku lempar ..” jawabku berusaha menenangkan. Rendra memegang keningku yang tergores. Aku meringis kesakitan.             “Maaf,” gumam Rendra. Ia memegang kembali keningku. “Sepertinya ini gak apa. Cuma tergores saja. Syukurlah bukan luka parah,” ujar Rendra.             “Ya sudah, nanti kita obati saja dengan obat di kotak P3K. Ada kan di dalam mobilmu?” tanya Kara. Rendra mengangguk.             “Semua sudah lengkap di dalam mobil. Aku udah siapin berbagai macam untuk jaga- jaga.” Rendra menjelaskan. Lift berhenti di lantai yang di tuju.             “Ayo. Kita udah sampai.” ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD