Chapter 47

1306 Words
            Aku menatap langit- langit kamar dengan tatapan kosong. Hah, lagi- lagi. Aku susah banget tidur di tempat baru memang. Aku menguap. Sepertinya aku terjaga semalam penuh. Padahal badanku capek, tapi karena tidak biasa dengan tempat asing mataku jadi enggan untuk di ajak tidur. Aku menggeliat di tempat tidur dan melihat sekeliling. Aku baru sadar kalau kamar ini tidak punya jendela. Atau punya, tapi aku tidak menyadarinya?             Aku bangkit dan memperhatikan setiap sudut kamar dengan seksama. Aku meraba- raba dinding. Siapa tahu ada jendela tersembunyi di sini. Benar saja, aku akhirnya menemukan sesuatu di dinding. Seperti sebuah pintu kecil yang di cat sama dengan cat dindingnya. Aku mencoba membuka pintu kecil itu sekuat tenaga dan akhirnya terbuka. Benar saja, ternyata itu jendela yang memiliki jeruji di sana. Cahaya matahari masuk ke dalam kamar, semakin menerangi kamar yang sudah terang dengan lampu.             Jendela di luar sana menampakkan pemandangan yang berbeda dari yang biasa kulihat. Banyak pepohonan di sana dan ada jalan setapak kecil di sana. Ah, pasti udaranya sangat segar. Sayang sekali jendelanya tidak bisa di buka, kan jadi tidak bisa menghirup udara segar. Jarang sih, biasanya juga aku di suguhi pemandangan rumah yang berjejer- jejer dan di jejal dengan asap polusi. Yah, meski di jaman sekarang asap polusi dari kendaraan sudah jauh berkurang karena banyak komunitas yang menggalakkan udara bersih untuk masa depan.             Terdengar suara pintu di ketuk. Buru- buru aku menutup kembali jendela kamar dan membuka pintu kamar. Tampak Rendra di sana, sudah berdiri dengan style yang rapi. Wangi semerbak aroma sabun tercium dari badannya.             “Baru bangun?” tanya Rendra. Aku mengangguk.             “Yah, gak bisa di bilang baru bangun juga sih. Aku belum tidur, karena aku gak biasa sih tidur di rumah orang,” aku menjelaskan. Rendra mangut- mangut.             “Maaf aku gak tau. Tapi kayaknya kamu mending mandi dulu deh, biar agak segar,” saran Rendra. Aku mengendus- endus bajuku. “Gak kok, kamu gak bau. Cuma biar agak segaran aja gitu. Ini nampak banget wajah ngantuknya,” ujar Rendra. Aku nyengir lebar.             “Ya udah oke aku mandi dulu ya,” pamitku.             “Oke. Habis itu kamu ke kamar sebelah ya. Kita sarapan bareng,” pinta Rendra. Aku mengangguk. Rendra mengelus pelan rambutku dan menutup pintu. Aku kembali mengendus bajuku. Gak bau kok. Aku menuju meja rias dan menatao diriku di depan cermin.             “Bener- bener gak seger nih muka,” ujarku. Aku mengambil handuk dari dalam lemari dan masuk ke kamar mandi. Lebih baik mandi shower saja dengan air dingin biar lebih segar. ***             Selesai mandi, aku segera pergi ke kamar Rendra yang terletak di sebelah kamarku. Sudah ada Rendra dan Kara di sana.             “Lama amat lu, udah hampir sejam di tungguin,” gerutu Kara. Aku mendengus.             “Kamu udah selesai mandinya?” tanya Rendra. Aku mengangguk. Rendra memegang rambutku yang masih basah. Tetes air dari rambut membasahi pundakku.             “Ya ampun kok gak kamu keringin dulu rambutnya. Duh sini deh sini.” Rendra menarikku ke meja rias. Dia memaksaku duduk di sana sementara dia membuka laci meja dan mengeluarkan sesuatu. Oh, hair dryer. Ia menyalakan hair dryer dan mengarahkannya ke rambutku.             “Harus di keringin biar gak masuk angin,” ujar Rendra. Ia menyentuh ujung rambutku dan mengeringkannya dengan hair dryer. Kara yang sudah menunggu di depan pintu berdecak kesal.             “Bungkus pake handuk aja deh, kan sama juga bakal kering,” ujar Kara.             “Beda Kar. Kalau begitu nanti rambutnya jadi lembab, gak bagus buat rambut,” ujar Rendra. “Nih kamu pakai ini deh coba Teh.” Rendra memberikan sebuah botol spray dan menyemprotkan isinya ke rambutku. “Ini vitamin rambut. Biar rambut kamu makin bagus terawat,” gumam Rendra. Aku mangut- mangut.             “Rambut kamu udah bagus ini Teh, pasti pinter kamu rawat rambutmu,” puji Rendra sambil terus mengeringkan rambutku. Aku tersipu malu.             “Gak kok, aku kayak biasa sih pakek shampoo aja,” ujarku. Rendra tersenyum simpul.             “Masih lama gak?” tanya Kara. Aku menatap Kara dengan tatapan tajam. Ini anak, merusak moment kakak adik saja. Rendra tidak menjawab. Dia terus mengeringkan setiap sudut dari rambutku.             “Nah, sudah,” ujar Rendra. Aku memegang rambutku. Benar, rambutku sudah kering sepenuhnya dan rambutku juga tampak makin sehat. Kayaknya vitamin yang di berikan Rendra berefek lebih cepat dari perkiraan. Atau memang aku baru sadar kalau rambutku memang bagus dari awal ya, tapi aku yang baru sadar?             “Ayo dah buru kita sarapan. Laper,” gerutu Kara. Aku berdecak kesal. Ini anak, belum juga aku selesai mengagumi keindahan rambut ini.             “Oh ya, yuk. Udah aku siapin di bawah, nanti dingin,” ajak Rendra. Aku mengangguk dan bangkit. Rendra menggandung tanganku. “Ayo dek, kita sarapan,” ujar Rendra. Aku tersenyum simpul.             “Ayo bang!” ****             “Maaf ya kalau sarapannya sederhana,” ujar Rendra sambil menghidangkan sarapan di atas meja. Aku melongo. Ini di bilang sederhana? Ini kan English breakfast, dimana porsinya sendiri sudah besar. Apalagi ada beberapa kue tradisional dan bubur sumsum dan bubur kacang ijo di sana. Ini mah sarapan super kenyang mah.             “Kamu kalau gak mau sarapan English breakfast ada itu pilihan lain. Atau kamu mau bubur ayam?” tawar Rendra. Aku mengeleng.             “Gak, ini udah lebih dari cukup kok. Banyak banget malah ini. Makasih,” tolakku halus. Aku mengambil piring berisikan English breakfast. Aku mengambil pisau dan garpu, lalu membelah sosis yang ukurannya sangat besar. Aku mencolek sedikit saus di atas sosis lalu memakannya. Enak. Sosis ini enak banget, beda dengan yang biasa aku makan. Aku bersenandung riang sambil mengunyah.                     “Enak?” tanya Rendra. Aku mengangguk riang. Aku kembali memakan potongan sosis yang sudah di berikan saus. Rendra tersenyum manis melihatku makan dengan riang.             “Makan yang banyak ya,” ujar Rendra. Aku mengangguk dan mengacungkan jari jempol. Rendra menuangkan jus jeruk ke gelas di sebelahku. “Jangan lupa minum,” pinta Rendra. Aku mengangguk.             “Pelan kunyahnya, jangan kayak anak kelaparan. Nanti keselek,” ujar Kara memberitahu. Aku mendengus dan kembali mengunyah sosis.             “Kamu juga makan Kar, jangan cuma liatin Teh makan,” pinta Rendra. Kara mendengus dan memakan sosis begitu saja tanpa di potong lebih dulu. Kara terbatuk karena menelan semua sosis itu. Buru- buru Rendra menuangkan s**u ke dalam gelas dan menyodorkannya pada Kara yang sedang menepuk dadanya.             “Minum dulu Kar minum,” pinta Rendra. Kara langsung meminum s**u itu hingga habis. Kara langsung bernapas lega.             “Makanya makan tuh jangan buru- buru,” sindirku. Kara menatapku dengan tatapan tajam dan mendengus sebal. Ia kembali melanjutkan makan dengan lebih pelan.             “Makan pelan- pelan aja ya kalian,” pinta Rendra. Aku mengangguk. Kami makan dengan khidmat tanpa berisik.             Aku telah selesai makan. Piring di depanku kosong bersih tak bersisa. Kenyang betul. Biasanya aku tidak pernah sarapan sebanyak ini, mentok palingan dengan roti selai dan s**u saja, atau sereal. Rendra mengambil piring kotor di depanku dan memasukkannya ke dalam dishwasher.             “Gimana? Kenyang?” tanya Rendra. Aku dan Kara mengangguk dan mengacungkan jempol.             “Banget. Jadi mager nih,” jawabku.             “Tapi kita gak bisa mager. Bentar lagi kita harus pergi ke rumah sakit, jenguk nenek dan ibu kamu,” ujar Rendra.             “Benar juga,” gumamku. Kara menghela napas dan bangkit dari duduknya.             “Kita pakai mobilku kan? Ya sudah, biar aku cek dulu mobilnya,” ujar Kara. Ia melangkah keluar dapur, meninggalkanku dengan Rendra yang masih sibuk membersihkan kompor. Sepertinya Rendra ini punya pekerjaan sampingan jadi house keeper kali ya, hobi banget kayaknya dia bersih- bersih. Daritadi dia tidak ada berhenti membersihkan sesuatu, padahal semua yang ada di sini juga sudah bersih mengkilap.             Tak lama, Kara kembali ke dapur dengan langkah tergopoh- gopoh. Wajahnya tampak sangat panik.             “Kenapa Kar?” tanya Rendra.             “Kita tunda sementara buat pergi ke rumah sakit,” jawab Kara.             “Loh kenapa?” tanyaku bingung.             “Rumah ini di serang sama orang- orang.” ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD