Chapter 32

1207 Words
Mama menutup pintu rumah. Aku mendaratkan badanku ke sofa ruang tamu dan menatap kosong langit- langit. Hening. Sepi. Seperti tak ada orang. Oh ya, nenek kemana ya tadi? Aku bangkit dari duduk dan melihat sekeliling. Nenek dimana ya? Kenapa hening banget daritadi? Aku pergi ke dapur. Kosong. Tak ada orang di sana. Aku pergi ke kamar mama dan papa. Sama, kosong juga. Aku pergi ke kamar tamu yang ada di belakang. Kosong. Aku mencoba mengingat. Nenek biasanya sih kalau gak di dapur, ya di kamar aja sih. Aku mencoba cari ke tiap sudut rumah dan akhirnya menemukan nenek duduk termangu di kursi taman belakang. Aku menghampiri nenek dan duduk di sebelahnya. “Nenek di cariin kemana- mana, taunya di sini,”ujarku. Nenek tersentak kaget melihat kehadiranku. “Oh ya ampun kamu rupanya Teh. Bikin nenek kaget saja,” ujar nenek sambil mengelus dadanya. “Ada apa nyariin nenek?” tanya nenek. “Hehehe gaapa sih nek. Sepi banget di dalem soalnya,” jawabku. Nenek menghela nafas. “Nenek sedih Teh,” gumam nenek. “Suasana kayak gini sama seperti pandemi 20 tahun lalu. Tidak, seperti 21 tahun lalu. Tepat tahun 2020, saat pertama kali pandemi,” lanjut nenek. Nenek menundukkan kepalanya. “Kenapa bisa kejadian lagi seperti ini ...” gumam nenek. Aku memandang nenek. Sepertinya kejadian 20 tahun lalu menjadi trauma terdalam untuk banyak orang. “Kamu tahu Teh, mungkin mamamu yang paling takut dengan keadaan sekarang. Dia adalah korban dari pandemi 20 tahun lalu,” ujar nenek. Aku mengernyitkan alis. “Maksud nenek apa?” tanyaku bingung. “Dulu keluarga mamamu itu sebagian besar garda terdepan. Mereka orang kesehatan yang merawat para pasien virus Mahkota waktu itu,” jawab nenek. “Setahun, mereka tidak pulang ke rumah. Rela merawat pasien sebegitu banyak, meninggalkan keluarga di rumah. Hingga akhirnya mereka bertemu dengan ajal. Terlalu banyak pasien yang harus mereka rawat, susah untuk tidak terpapar virus. Akhirnya di awal tahun 2021, mereka meninggal. Ya, kedua orangtua mamamu, kakek nenek yang kamu belum ketemu,” jelas nenek panjang lebar. Aku terbelak kaget. Pantas saja aku tidak pernah melihat kakek dan nenek dari mama. “Papa dan mamamu sudah saling kenal saat itu. Saat papa cerita soal mama ke nenek, nenek sedih. Mama masih sekolah saat itu. Masih di pertengahan kuliah. Mamamu juga kuliah kesehatan. Tapi karena kejadian itu, mamamu tidak melanjutkan studinya. Tak ada yang membantu biaya untuk melanjutkan studi,” cerita nenek. Aku terdiam. “Sayang memang, apalagi mamamu itu pintar. Tapi ya sudahlah, sudah berlalu. Syukur mamamu anaknya kuat, mamamu banting tulang cari kerja sana sini untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Hingga akhirnya bisa kerja seperti sekarang,” lanjut nenek. Aku mengangguk. “Aku baru tahu soal itu nek ...” ujarku. Nenek mengupas pelan rambutku. “Sekarang sudah tau kan? Ya sudah. Jadi kalau mamamu sangat hectic di saat seperti ini, lebih bawel dari biasanya nenek harap kamu bisa maklum. Mamamu hanya tak ingin merasakan kehilangan lagi,” ujar nenek. Aku mengangguk. “Tapi mama baik, di saat begini mama masih mau berbagi dengan orang lain. Gak ikutan gabung dengan massa protes tadi,” ujarku. “Saat seperti ini, cara mamamu paling benar. Tidak usah mengamuk seperti mereka tadi di depan rumah orang. Sudahlah, sudah takdir Tuhan ini. Kita hanya bisa berdoa dan saling membantu satu sama lain saja. Tapi susah sekali manusia ini melakukannya,” gerutu nenek. “Jadi mamamu ini ke mana? Gak di rumah?” tanya nenek. “Ke rumah bu Sarida tadi katanya. Mau kasih obat-obatan dan makanan gitu deh nek,” jawabku. Terdengar suara bel berdering pelan di depan sana. “Loh itu bukannya bunyi bel ya?” tanya nenek. Lagi, terdengar suara bel, kali ini lebih kencang. “Ah iya nenek betul,” jawabku. Aku bangkit dari duduk. “Biar Teh aja yang buka pintu,” ujarku. Aku masuk ke dalam. Suara bel semakin terdengar nyaring. “Iya sebentar,” gumamku. Aku membuka pintu tanpa mengecek dari kamera siapa yang ada di depan pintu. Seorang pria paruh baya berdiri di depan. Kepalanya botak di bagian atas, dengan badan tinggi dan perut buncit. Beliau menyunggingkan senyum padaku. Ah, beliau pak Toto, tetangga sebelah. Salah satu orang yang di tuakan oleh penduduk komplek karena wibawanya. Beliau pensiunan TNI yang sering ikut membantu dalam kegiatan sosial di komplek. Penyongsong di adakannya gotong royong setiap dua bulan sekali. “Selamat pagi nak Althea,” salam pak Toto. “Ya pak, selamat pagi juga,” balasku. “Ada mama di rumah nak?” tanya pak Toto. “Oh, mama tadi ke rumah bu Sarida. Antar sesuatu gitu. Sebentar lagi balik sih. Ada apa ya pak?” tanyaku balik. “Mamamu ngapain ke sana? Protes juga di depan rumah bu Sarida?” tanya pak Toto curiga. Aku mengeleng. “Ah enggak pak. Mama malah bagiin obat- obatan di rumah dan sedikit makanan ke rumah bu Sarida,” jawabku menjelaskan. Pak Toto mangut- mangut. “Oh begitu. Bagus. Harusnya penduduk komplek meniru mamamu, bukan melakukan aksi protes tidak penting di depan rumah. Bukannya menyelesaikan masalah, malah makin runyam,” ujar pak Toto. “Kau harus mencontoh mamamu.” Pak Toto menepuk pelan pundakku. Aku mengangguk. “Jadi kamu sekarang di rumah dengan siapa? Papamu mana?” tanya pak Toto. “Papa kerja pak, dari pagi tadi berangkat. Teh tinggal berdua dengan nenek di rumah,” jawabku. “Oh ada nenekmu ya. Coba panggilkan nenekmu,” pinta pak Toto. Aku mengangguk dan memanggil nenek. “Nek, nenek... Ada pak Toto nyariin nenek!” panggilku. Nenek datang dari pintu halaman belakang dengan langkah tergopoh- gopoh. “Ada apa Teh?” tanya nenek. “Anu ... Di cariin pak Toto nek ...” jawabku sambil menunjuk pak Toto yang berdiri di depanku. “Oh Toto tetangga sebelah ya? Masuk To masuk. Kok malah berdiri di depan pintu pula,” ajak nenek. “Gak usah bu. Saya cuma sebentar aja kok. Saya mau kasih ini.” Pak Toto mengambil sebuah kotak dari kantung bungkusan dan memberikannya padaku. “Apa ini pak?” tanya nenek penasaran. “Ini masker bu. Sekotak masker. Kerabat saya ada yang punya apotek. Karena situasi tadi pagi, saya sengaja beli banyak biar bisa bagikan ke penghuni komplek sini,” jelas pak Toto. “Ini masih banyak, mau saya bagikan ke rumah lain. Oh ya ini ada juga handsanitizer dan desinfektan,”ujar pak Broto. Beliau merogoh kantung bungkusan dan mengeluarkan 2 botol kecil handsanitizer dan satu botol panjang desinfektan. Beliau memberikannya padaku. “Ya ampun pak Toto. Makasih banyak pak. Tadi kami nyari masker dimana- mana gak ada, sekalinya ada cuma sisa sedikit,” nenek bercerita. “Sepertinya itu kerjaan penimbun. Duh, kenapa ya kembali ada lagi orang seperti itu..” gerutu pak Toto. “Ah ya tapi sebenarnya saya juga hampir seperti penimbun sih. Tapi saya membagikannya,” lanjut pak Toto. Beliau tertawa kecil. Duh, sadar juga beliau gumamku dalam hati. Jadi kalau penimbun seperti pak Toto tidak apa harusnya ya. “Ya sudah kalau begitu. Saya mau lanjut berkeliling lagi. Titip salam saja untuk bu Wilda dan pak Dion. Mari bu,” pamit pak Toto. “Oh iya pak Toto. Makasih banyak ya pak. Semoga lancar rezekinya,” nenek mendoakan. “Amiiin. Doakan saja bu, semoga banyak yang saling membantu kayak gini.” ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD