Chapter 33

1317 Words
Mama kembali tak lama setelah pak Toto pulang. Mama merebahkan badannya di sofa ruang tamu. Mama menghela napas panjang. “Loh Wil darimana?” tanya nenek. Nenek duduk di sebelah mama. Mama bangkit dan duduk manis di sebelah nenek. “Dari rumah bu Sarida mak. Antar keperluan tadi,” jawab mama. Nenek mangut- mangut mengerti. “Jadi gimana keluarga bu Sarida ma?” tanyaku. Aku nimbrung dan duduk di karpet. Mama menghela napas panjang. “Tadi bang Arka udah di bawa ke rumah sakit lagi. Katanya kambuh lagi, setelah semalam di izinkan pulang. Petugas kesehatan datang pakai APD lengkap tadi,” cerita mama. “Waktu mama samperin, bu Sarida nangis. Katanya gaada yang peduli dengan keluarganya, bahkan kerabatnya sekali pun. Semua tetangga juga pada nyalahin keluarganya” lanjut mama. Mama menundukkan kepalanya. “Aku sedih. Ini hampir sama seperti kejadian yang dulu,” ujar mama. “Malah lebih parah agaknya, masyarakat langsung hectic banget rasanya,” timpal nenek. “Ya karena pernah kejadian sebelumnya begitu kali nek. Jadi orang jadi lebih aware, takut kan ke ulang kisah lama. Makanya mereka bersikap begitu,” sanggahku. “Ya kurang lebih begitu sih menurutku.” “Masuk akal juga sih” gumam nenek. Mama manggut- manggut setuju. “Yah di masa seperti ini. Harusnya kita itu saling membantu sesama. Juga saling berbagi ga sih. Lagipula ini masih awal, semoga saja tidak terjadi endemik ataupun pandemi ya,” ujar mama penuh harap. “Semoga orang seperti mama dan pak Toto semakin banyak di dunia ini,” gumamku. Mama mengangguk. “Iya. Aammiiin. Oh ya, tadi pak Toto ke rumah ya? Ngapain beliau ke rumah?” tanya mama. “Itu, tadi kasih masker sekotak, sama handsanitizer dan desinfektan,” jawabku. “Hah? Masker sekotak?!” tanya mama kaget. Aku dan nenek mengangguk. “Mana mana coba yang di kasih pak Toto. Mama mau liat,” pinta mama. Aku pergi ke bawah tangga dan membuka pintu gudang mini di sana. Isinya tentu saja berbagai macam barang- barang kebutuhan rumah tangga. Aku mengambil sekotak masker, 2 botol handsanitizer mini dan satu botol desinfektan ukuran sedang. Aku menutup kembali pintu gudang dan menaruh semuanya di meja ruang tamu. Mama menatap itu semua dengan takjub. Mama mengambil sekotak masker dan membukanya. Isinya penuh dengan masker medis berwarna biru. Mama geleng- geleng kepala. “Ya ampun pak Toto ini. Baiknya kebangetan deh, suka heran,” ujar mama. Mama mengeluarkan satu masker dari sana. Tiap masker yang ada di dalam kotak di bungkus lagi oleh plastik bening. “Tapi kok bisa ya pak Toto dapat masker segini banyak, di bagiin pula,” tanya mama heran. “Kekuatan orang dalam sih ma,” jawabku. Mama mengernyitkan alisnya. “Maksud kamu?” tanya mama bingung. “Ya maksudku, pak Toto bilang dia beli semua masker yang di bagiin itu dari apotek kerabatnya. Kekuatan orang dalam toh?” tanyaku lagi. Mama mengangguk dan geleng- geleng kepala. “Pak Toto jadi penimbun...” gumam mama. “Tapi penimbun yang baik karena mau membagikannya ke orang lain. Tapi kasian juga sih, bakal banyak yang gak kebagian masker karena keburu di borong habis,” lanjut mama. “Syukur kalo memang mau di bagi- bagi gratis. Seringnya kan mereka beli banyak lalu jual lebih mahal dari harga biasanya. Jadi orang- orang harus merogoh kocek lebih,” cerita mama. “Kayak dulu awal pandemi ya,” timpal nenek. Mama mengangguk. “Baik banget deh pak Toto. Mama kasih apa ya buat balas ini semua...” gumam mama. Mama menggaruk dagunya yang tak gatal. “Oh ya Wil bahan makanan sudah habis. Nenek jadi gak bisa masak,” sanggah nenek. “Hm, lagi situasi gini Wilda mager keluar sih,” ujar mama. “Wilda beli online aja ya ma? List aja yang perlu di beli apa, biar nanti kurirnya yang belikan,” pinta mama. Nenek mengangguk dan mengeluarkan smartphone. Nenek mencatat apa saja yang perlu di beli di notepad dalam smartphone. Nenek menghitung satu- persatu list yang di tulis. “Nah, sudah mama kirim ya ke Quirk kamu,” ujar nenek. Mama membuka mr. Communicator. Mama memperhatikan list yang nenek berikan dan mengangguk. “Ya sudah bentar Wilda telpon jasa kurir dulu,” ujar mama. Mama menaruh mr. Communicator di telinga. “Halo, jasa belanja.in ya?” Aku mengambil botol desinfektan. Botol ini berbentuk spray. Tinggal kita semprotkan dan keluar deh isinya. Iseng, aku menyemprotkannya pada meja. “Semprotin aja gak apa. Karena setiap sudut ruangan ini ada kumannya meski terlihat bersih,” ujar nenek. Aku kembali menyiraminya lebih banyak. Mama kembali ke ruang tamu tak lama kemudian. “Eh ya ampun Teh! Jangan di habisin sayang! Mubazir. Nanti kita pakai, sekalian kita bersih- bersih rumah,” ujar mama. Aku berhenti menyemprotkan desinfektan dan menaruhnya kembali ke atas meja. “Ma, mama bisa ga buat kwetiau goreng?” tanya mama pada nenek. “Ya bisa aja sih. Tapi memangnya di sini ada kwetiau?” tanya nenek balik. “Kayaknya ada ma. Tadi aku minta tolong kurir untuk cariin kwetiau, katanya sih ada di minimarket ujung kota sana,” jawab mama. “Ya baguslah. Kamu kenapa kok tiba- tiba pengen buat kwetiau?” tanya nenek. “Buat kasih ke pak Toto ma. Dulu istrinya pernah cerita kalau pak Toto ngidam banget dengan kwetiau goreng sampai sakit karena kepikiran kwetiau goreng terus,” cerita mama. Aku dan nenek tertawa kecil. “Ya ampun pak Toto kayak anak- anak aja,” ujar nenek. “Ya sudah kita buat itu. Nanti kamu antar ya ke rumah pak Toto Teh,” pinta nenek. Aku mengangguk. “Mama mau siapin alat- alat buat masak dulu deh.” Mama bangkit dari duduknya. Nenek menyusul mama. “Nenek juga. Mau rajang bawang dulu,” ujar nenek. “Kamu mau ngapain Teh?” tanya nenek. “Aku ... Balik ke kamar aja deh nek,” jawabku. Aku bangkit dari duduk dan menyusuri tangga menuju kamar. **** Aku melempar badanku ke atas kasur yang empuk. Aku menatap langit- langit kamar yang remang karena hanya lampu tumblr yang menjadi sumber cahaya. Aku menutup rapat gorden kamar sehingga hanya sedikit cahaya matahari yang masuk. Mr. Communicator berdering kencang. Aku mengambil mr. Communicator di atas meja dengan tanganku. Terlalu malas untuk bangkit. Oh, Sheila yang menelpon ternyata. “Ya, hallo Shei..!” salamku ramah. “Teh kamu ini kebiasaan deh. Lampu kamar remang- remang gitu. Hidupin! Gak bagus tau buat mata remang- remang begitu!” pinta Sheila bawel. “Iya deh iya,” jawabku. “Hey room, turn on the lamp,” perintahku. Lampu kamar langsung menyala tak lama kemudian. Tentu saja, kamarku sudah menetapkan sistem komputer otomatis pada lampunya saja. Karena aku terlalu malas sih untuk bolak- balik matikan lampu di sakelar. “Nah gitu dong. Kan enak liatnya kalo terang begini,” ujar Sheila. “So, ada apa?” tanyaku. “Kan bener kan kataku hidup lampu bentar lagi tadi?” tanya Sheila girang. Aku mengangguk. “Iya deh bener deh,” jawabku. “Eh tapi kamu udah nonton berita belum? Serem banget ya kalau sampai endemik begitu. Baru aja kita happy rayain bebas virus Mahkota, eh malah ada kasus mau muncul virus baru,” gerutu Sheila. Aku mengangguk setuju. “Parah banget sih Shei. Tau gak sih, semuanya pada tutup tau. Terus mama nyari masker di apotek juga pada kehabisan, sekalinya ada tinggal dikit,” ceritaku. “Eh iya nih masker! Bunda juga lagi cari masker tadi, tapi belum ketemu juga. Langka banget ya jadinya. Dahal dulu mah orang ga peduli,” ujar Sheila. Aku mangut- mangut. “Kamu mau masker Shei? Ini aku ada sekotak nih, di kasih pak Toto,” ujarku memberitahu. “Ya ampun di kasihnya sekotak? Pak Toto baik banget!” puji Sheila. “Ini gak apa nih aku minta Teh?” tanya Sheila ragu. “Ya gak apa sih. Kan di situasi kayak gini kita harus saling berbagi toh. Biar hidup makin tenang,” ujarku. “Bener juga kamu Teh.” ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD