Chapter 41

1077 Words
          Kara menarik tanganku dan membawa kami menyusuri lorong rumah sakit. Aku menepis tangannya. Apa- apaan dia? Dia mau mengajakku kemana? Kara tersentak kaget karena tingkahku.             “Kenapa kamu tepis tanganku?” tanya Kara bingung.             “Harusnya aku yang nanya! Kamu mau bawa aku kemana? Mau culik aku ya?” tanyaku curiga. Kara tertawa kecil.             “Ngapain aku culik orang gede kayak kamu? Mending culik anak kecil!” jawabnya.             “Berarti kamu pernah culik anak orang ya?” tanyaku lagi penuh curiga.             “Ya gak gitu anjir maksudnya,” jawab Kara kesal. “Udahlah ikut gue aja ayo! Janji deh gak gue culik!” Kara kembali menarik tanganku. Aku menepisnya.                        “Gak! Anjir gila lu. Masa gue tinggalin nenek dan mama di sini!” Aku menolak.             “Jadi lu mau di sini? Malah bahaya kalau elu terus di sini!” ujar Kara.             “Maksud lu apa?” tanyaku bingung.             Kara tak menjawabnya. Ia hanya menunjuk ke belakangku. Aku menoleh dan kulihat seseorang yang tadinya jalan sempoyongan jatuh pingsan. Beberapa perawat datang menghampiri dan mengangkutnya ke atas tandu darurat.             “Nanti lu bakal jadi yang selanjutnya di bawa pakai tandu itu,” jawab Kara. Aku melongo sesaat. Aku baru menyadari, sedari tadi banyak orang pingsan berseliweran di sekitar rumah sakit. Kara menarik tanganku.             “Ayo. Keluar. Kamu harus selamat, demi nenek dan mamamu.” ****             Kami tiba di parkiran rumah sakit. Sudah ramai kendaraan yang terparkir di sana. Beberapa orang keluar dari dalam kendaraannya dengan wajah yang cemas. Terdengar derap langkah terburu- buru banyak orang dari sana. Kara mengambil kunci mobilnya dan mobilnya pun datang tak lama kemudian. Aku melongo melihat mobil yang datang. Oh nggak, ini mobil Xenon XII keluaran tahun lalu. Ini masih baru banget dan harganya juga masih mahal. Apalagi fitur yang di berikan oleh mobil ini, udah keren banget deh asli.             “Ayo masuk!” ajak Kara. Pintu mobil terbuka dengan otomatis. Aku segera sadar dan masuk ke dalam mobil. Bagian dalam mobil semakin membuatku melongo. Bersih. Sangat bersih dan wangi. Semuanya berwarna emas, menambah kesan mewah. Kara masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi kemudi.             “Pasang seat belt,” perintah Kara. Seat belt langsung terpasang otomatis. Kara membuka maps dan menekan salah satu titik yang ada di maps. Mobil pun melaju secara otomatis sesuai dengan titik yang di tuju. Aku sibuk memperhatikan sekeliling mobil. Ya ampun, ini benar- benar mobil impian yang sudah lama papa ceritakan kepadaku.             “Kenapa begitu amat nengoknya?” tanya Kara. Aku langsung tersadar dan duduk manis. Aku mengeleng pelan.             “Gak kok, biasa aja kok,” jawabku. Kara tersenyum tipis.             “Kalau memang kagum sih bilang aja,” ujar Kara. Aku mendengus sebal dan memalingkan wajah. Ah Kara sialan!             “Kamu kaget ya aku bisa bawa mobil begini?” tanyanya. Aku mengernyitkan alis. Oh jadi ini maksud dia aku kagum dengannya?             “Ah, gak kaget sih. Biasa aja.” jawabku. “Cuma andelin autopilot gini mah, anak bayi juga bisa,” lanjutku. Kara menatapku tajam. Ia menarik napas panjang dan mematikan autopilot. Sebuah kemudi keluar menggantikan dashboard di depannya.             “Autopilot off,” ujar suara robot mobil.             Kara memegang kemudi mobil dan melajukan mobil perlahan. Ya, mulanya begitu. Tapi lama kelamaan Kara semakin mempercepat dan terus mempercepat. Mobil dengan lihainya melewati jalanan yang sepi. Aku meringkuk di ujung kursi sambil memegang penyangga di pintu mobil. Sialan, hebat juga anak ini bawanya. Kara menatapku dengan tatapan mengejek. Hah, dia kira aku takut ya? Dia tidak tahu sih, kalau aku biasa membawa mobil papa kebut- kebutan lebih dari ini. Yah untung saja sih tidak pernah tertabrak atau lecet, bisa- bisa di ketahuan papa dan akan di ceramahin habis- habisan.             Akhirnya mobil berhenti di salah satu gedung tua yang tampak sepi. Kara membuka pintu otomatis dan keluar dari mobil.             “Keluar. Kita udah sampai,” ujar Kara. Seal belt terlepas secara otomatis. Aku keluar dari mobil. Kara sudah berdiri gagah di depanku. Ia membusungkan dadanya.             “Gimana? Bisa kan gue bawa mobil tanpa auto pilot?” tanya Kara bangga. Aku mendengus.             “Tapi masih kalah sama gue sih. Sok- sokan mau balap, nyatanya lebih kenceng gue bawa,” jawabku. Kara langsung menurunkan kedua tangannya dari pinggang dan cemberut.             “Terserah deh. Iya deh yang lebih hebat,” ujarnya. Aku tertawa kecil mendengarnya.             “Ya ampun ngambek. Iya deh iya. Kamu hebat,” ujarku. Kara mendengus dan memalingkan badannya.             “Udah ah, diem. Ayo ikut gue!” ajaknya. Ia menarik tanganku.             “Kita mau ke mana? Masuk ke dalam? Ini apa gak apa biarin mobilnya di sini?” tanyaku lagi.             “Gak apa. Ayo kita masuk, udah di tungguin.” ****             Kami masuk ke dalam bangunan tua itu. Cat bangunan itu sudah sangat kusam. Pintu berdecit nyaring saat pintu di buka. Gelap. Nyaris tidak ada cahaya di sana. Kara mengeluarkan sebuah senter kecil dan menyalakannya. Ia menyinari dinding di sebelahnya dan meraba- raba mencari sesuatu. Setelah ia menemukan sakelar, ia menyalakannya dan menyala semua lampu yang ada di dalam. Aku melongo melihat ruangan itu.             Benar- benar tidak sesuai dengan ekspetasiku. Aku mengira bagian dalam gedung ini akan tampak seperti gedung yang terbengkalai dengan banyak debu dan sarang laba- laba, tapi ternyata tidak. Malah tidak ada debu sama sekali, semuanya masih sangat bagus dan rapi. Ruangan ini bergaya vintage yang khas dengan warna ungu dan abu- abu silver yang menghiasinya.             “Ayo, kita udah di tunggu,” ajak Kara.             “Siapa sih yang nunggu kita?” tanyaku bingung.             “Lihat saja nanti.” Jawab Kara.             Kara menarik tanganku dan mengajakku menaiki anak tangga, lalu berbelok ke kanan. Sesampai di lantai dua, kami masuk ke dalam sebuah kamar ke dua di antara lima kamar yang ada. Ada seseorang di dalam sana, sedang duduk di sebuah sofa yang menghadap ke arah jendela.             “Hei, aku udah balik!” ujar Kara memberitahu.             “Lama banget sih,” gerutu orang itu. Hem, dari suaranya yang agak nge bass, sepertinya orang itu laki- laki.             “Sori, soalnya orang yang kamu suruh ajak ini susah banget di ajak kemari,” Kara menjelaskan sambil menunjukku. Orang itu bangkit dari duduknya.             “Hah, kamu berhasil bawa dia?” tanyanya seperti tak percaya.             “Iya. Ini dia lagi di sampingku,” jawab Kara.             Orang itu membalikkan badannya. Benar, ia laki- laki berambut gondrong ikal. Kulitnya yang kecoklatan tampak sangat eksotis dan cocok dengan wajahnya yang tegas dan alisnya yang tebal serta hidungnya yang mancung. Ia menghampiri kami dan langsung memelukku. Aku tersentak kaget.             “Akhirnya kau datang juga, adikku,” ****  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD