Chapter 42

1084 Words
“Hah?” Aku menoleh ke belakang. Seorang laki- laki dengan kulit kecoklatan memelukku dari belakang. “Hei hei jangan begitu dong kamu nyapanya. Dia kaget tuh,”ujar Kara. Aku terdiam kaku di tempat. Laki- laki ini memelukku dengan erat, membuatku tak bisa untuk melepaskan pelukannya. “Tapi aku kangen banget dengan adik aku,”balas laki- laki itu. Kara mendengus. “Kangen apaan. Kalian aja belum pernah ketemu. Kayak yang udah lama gak ketemu aja kamu lagaknya,”timpal Kara. “Ya kan kangen atuh tapi. Kan walaupun gak pernah ketemu tapi namanya kakak adik, tetap aku kangenlah. Kan ada ikatan batin.” Aku terperangah saat laki- laki itu memelukku lebih erat. Siapa dia? Kenapa baru datang langsung peluk? Memangnya aku pernah ketemu dia sebelumnya? “Hei hei. Itu anaknya kaget banget sampai gak terkutik di tempat gitu loh,”gumam Kara sambil menunjukku yang terkaku di dalam pelukan laki- laki asing ini. Laki- laki itu sedikit mengendurkan pelukan dan menatap wajahku lamat- lamat. Aku membalas tatapannya dengan mata melotot. “Ih galak amat. Jangan di pelototin dong,”ujarnya. “Ini dimana?” Ah. Seketika aku merasa b**o dengan pertanyaan yang keluar dari mulutku. Seharusnya itu bukan ‘ini dimana?’, tapi ‘siapa dia?’ Argh, kayaknya otakku sudah mulai lemot. Terlalu sulit untuk menjelaskan semua yang terjadi begitu cepat. Seperti saat Kara datang menjemput dan di ajak pergi ke sebuah rumah megah, lalu di peluk oleh seorang laki- laki asing berbadan besar dengan kulit kecoklatan mengkilap. Meski dia wangi, kuakui. Wangi parfumnya sangat semerbak, tapi tetap saja dia creepy. Aku memperhatikan sekeliling. Rumah ini sangat besar dan megah. Rasanya tidak mungkin pria ini tinggal sendirian di rumah sebesar ini terkecuali ... “Ini dimana? Siapa kamu?” Aku menunjuk laki- laki berkulit coklat itu. Belum juga dia menjawab pertanyaan, aku keburu menyela. “Siapa kamu? Penculik ya? Aku kdi sekap ya dalam rumah megah ini?” Aku mundur beberapa langkah, tapi laki- laki itu malah semakin mendekat. Aku memeluk diriku. “Heh heh apaan, jangan dekat- dekat! Jangan ganggu aku hei! Jangan jadiin aku pemuas nafsu, jangan jual aku!” Aku menoleh ke Kara yang tertegun di dekat laki- laki itu. “Kamu Kar!” Aku menunjuk Kara tepat di depan matanya. “Kamu komplotan dia kan? Atau kamu malah bossnya? Ya Tuhan Kar. Tega banget kamu lakuin itu ke aku. Iya aku tau kamu gak suka aku, kamu benci aku. Kita selalu berantem dari pertama ketemu. Tapi ini jahat Kar!” Aku menangis meraung- raung. Kara gelagapan melihatku yang menangis kencang. “Hah heh anu ... Bukan gitu ... Enggak. Kami bukan komplotan pencuri, atau penculik. Apalah itu namanya. Bukan pokoknya,”ujar Kara. “Terus apa?! Kamu bawa aku kabur dari rumah sakit terus bawa aku ke rumah entah siapa ini. Bukannya itu yang biasa di lakuin sama penculik hah?! Darimana kamu tahu kalau aku ada di rumah sakit?!” Aku membentak Kara habis- habisan. “Nggak. Bukan gitu, tapi ...” Kara memajukan langkahnya, berusaha mendekatiku. Aku mundur beberapa langkah dan mengambil ancang- ancang. “Ini kalau kamu maju aku pukul ini ya! Aku tinju nih!” Aku melayangkan tinju ke sembarang arah, tapi Kara bisa dengan mudah menghindarinya. “Cukup!” Kara berhasil mengapai tanganku dan memegangnya dengan erat. “Tenang Althea. Tenang. Ya, tenang ya? Tarik napas ... Dalam hitungan 3 .. 2... 1...” Kara menjentikkan jari tangannya. “... 1... Tidur ..” **** Aku mengerjapkan mata perlahan. Sejak kapan aku tertidur? Hal terakhir yang aku ingat ... Aku lagi berhadapan dengan Kara. Aku nangis meraung- raung karena merasa di culik ke tempat antah berantah tapi bagus, lalu tertidur. Tunggu, aku tertidur? Wah, tidak beres ini. Kara hipnotis aku? Berarti aku memang benar di culik oleh mereka? Aku memperhatikan sekeliling. Gelap. Tidak ada cahaya apapun. “Ini.. Dimana? Aku... Aku gak buta kan?” Tidak. Aku tidak buta. Tidak semudah itu kan untuk membutakan mata orang lain. Pasti sedang mati listrik dan aku di kurung dalam suatu ruangan. Pasti. Biasanya seperti itu kan yang di lakukan oleh penculik di film- film dan berita? Berbagai macam pikiran buruk mulai terbesit di otakku. Apa aku akan di jual keluar negeri? Apa aku akan terjebak dalam lingkaran perdagangan manusia? Atau apa? Kenapa mereka menculikku? Apa mereka akan minta uang ganti rugi pada papa? Setelah itu apa? Apa mereka akan membunuhku, lalu memutilasi badanku jadi beberapa bagian, dan mengapungkan sisanya ke sungai? Tidak, aku tidak mau mati seperti itu. Mengenaskan sekali. Aku masih mau hidup, meski sering kali kesal dengan kehidupanku sekarang. “Oh, sudah sadar?” Terdengar sebuah suara yang agak asing. Pasti suara laki- laki itu. Tiba- tiba, lampu menyala dengan terang dan aku terperangah. Ternyata kami ada di ruang makan, dengan meja makan yang penuh dengan berbagai macam hidangan sampai meja ini penuh. Aroma makanan yang masih hangat semerbak memenuhi ruangan. Aku menelan ludah. Sepertinya enak. “Yuk makan dulu yuk. Lapar gak?” Laki- laki itu mengambil mangkuk dan menuangkan cream soup ke dalamnya, lalu menyodorkan padaku. “Ini. Makanlah. Aku yang masak, di jamin enak deh.” Ia menyodorkan sendok kepadaku, tapi aku tidak menerimanya. Aku masih duduk termangu di tempat sambil memperhatikan lamat- lamat mangkuk di depanku. Tidak, ini memang sangat wangi dan menggiurkan, tapi jangan kamu makan Althea. Jangan. Pasti ada apa- apanya di dalam sini. Tidak mungkin ini aman. Pasti dia ada mencampurkan sesuatu ke dalamnya. Seperti obat tidur, atau mungkin racun? Mungkin juga obat pencahar. Jadi aku harus bolak- balik ke kamar mandi dan tidak bisa kabur dari sini. “Kenapa gak mau di makan? Ini enak kok,”tanya laki- laki itu. Aku menatapnya dengan tatapan sinis. Ia geleng- geleng kepala melihatnya. “Makan aja. Aman kok. Gak apa. Coba aja cicip sedikit,”ujar laki- laki itu. Aku mengernyitkan alis dan menatapnya dengan tatapan tidak percaya. Tapi wangi makanan ini benar- benar menggugah selera. Aku kembali menelan ludah, berusaha menahan air liur yang nyaris keluar. Aku menarik napas dalam dan mengambil sendok. Aku menyendokkan sedikit cream soup itu dan memakannya. Aku terperangah. Ini enak. Sangat enak. Rasanya gurih, tapi ada sedikit manis. Jadi tidak membosankan. Lebih lagi, ada potongan roti juga di dalamnya. Enak! Bohong kalau aku tidak lapar. Aku memakan cream soup itu dengan lahap. Sepertinya ini aman, toh tidak ada yang terjadi saat aku memakannya. Oke baiklah. Dia tidak bohong. Aku memakan cream soup itu hingga habis. Aku duduk selonjoran di kursi. Laki- laki itu memelukku dari belakang. “Duh, pinternya adek abang.” ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD