Chapter 43

1383 Words
Aku tersentak kaget saat orang itu memelukku. Refleks aku langsung mendorongnya hingga ia terjatuh. Aku mendekap diriku erat- erat dan mundur teratur. Orang itu meringis kesakitan. “Ya ampun, bar- bar sekali,” gerutu orang itu. “Sudah kubilang kan dari awal. Dia bukan cewek yang lembut,” timpal Kara. Aku menatap mereka tajam. “Ya gila aja lu! Siapa elu hah, baru ketemu udah main peluk aja? Mau ganggu gue lu ya?!” bentakku. Mereka mangut- mangut. “Ah ya, benar juga. Aku belum memperkenalkan diri,” ujar orang itu. Ia bangkit dan sedikit merapikan pakaiannya. Ia menghampiriku dan mengulurkan jabatan tangan. “Perkenalkan, aku Narendra Basudewa, panggil aku Rendra.” Ia memperkenalkan diri. Aku membalas jabatan tangannya. “Aku Althea, iya panggil aja Teh atau Thea juga bisa.” Aku balik memperkenalkan diri. Pria itu tersenyum tipis. “Salam kenal Teh, aku abangmu, Rendra” ujar pria itu. Aku melongo. Hah? *** “Becanda nih pasti,” ujarku. “Becanda kalian kan?” Aku menatap Kara dan orang yang bernama Rendra dan mengaku abangku. Mereka menjawab pertanyaanku dengan tatapannya. Kara menghela napas. “Yah agaknya kita yang b**o ya. Kok kenalin diri pake cara begini,” gumam Kara. “Lah kan dimana- mana kan kayak gitu kenalan sama orang kan? Jadi pakai cara gimana lagi?” tanya Rendra bingung. “Bukan begitu b**o! Lu liat itu anak tadi reaksinya gimana. Kaget. Terbego sendiri. Sekarang dia mengira kita bercanda, karena kayak gitu kita kenalannya!” gerutu Kara sambil menunjukku yang terdiam menatap mereka dengan tatapan tak mengerti. “Hem, agaknya kamu bener Kar ..” gumam Rendra. “Ya memang bener b**o! Udah lu jelasin deh sama ini anak,” ujar Kara sambil menunjukku. Rendra mengambil kursi dan duduk di depanku. Ia menghela napas panjang. “Jadi gini Teh, aku ini abangmu,” ujar Rendra. Aku mengernyitkam alis. “Abang apaan sih? Lu lebih tua ya dari gue? Iya yaudah gue panggil abang ya. Bang Rendra. Gitu kan maksudnya?” tanyaku. Rendra tertawa kecil dan geleng- geleng kepala. “Bukan begitu maksudnya adikku sayang,” jawab Rendra. “Aku. Abangmu. Saudara kandungmu,” jelas Rendra. Hening sesaat. Tak ada suara. Aku menatap Rendra dari atas hingga bawah. “Ngaco lu!” ujarku. Aku melipat kedua tangan di d**a. “Gue anak tunggal. Kagak punya abang adik. Ngaku ngaku pulak,” lanjutku. Haduh, hal gila apalagi sih sebenarnya yang terjadi? “Gak. Teh. Dia serius. Dia abangmu,” timpal Kara. “Kar. Gue udah bilang. Gue. Anak. Tunggal. Kagak punya abang,” jelasku. Aku menekan setiap kata untuk mempertegas jawaban. Rendra menghela napas. “Kita kandung. Kita satu ayah,” gumam Rendra. Ia merogoh kantung celananya dan mengeluarkan selembar foto. Ia memberikannya padaku. Ada seorang anak kecil di foto itu dan ... Aku melotot kaget. Ada ayah di sana, sedang menggendong seorang balita laki- laki yang tertawa lebar. “Itu aku. Waktu kecil, dengan ayah,” lanjut Rendra. Aku kembali menatap foto itu dari dekat. Kulihat foto itu lamat- lamat, memastikan kalau saja aku salah lihat. Tapi tidak. Itu benar ayah. “Ini .... Ini ayah ...” gumamku terbata. Aku menatap Rendra. “Tapi gimana bisa ...” “Bisa. Kenyataan begitu. Aku dan kamu, kita dari ayah yang sama,” ujar Rendra. “Tapi dari ibu yang berbeda.” “Kau ... Bisa jelaskan gimana ini bisa terjadi?” tanyaku. Rendra mengangguk. “Kau harus dengarkan baik- baik. Mungkin menurutmu ini sulit di percaya, tapi itulah yang terjadi.” **** 23 tahun yang lalu. Dua tahun sebelum pandemi virus Mahkota melanda dunia. Saat itu dunia tampak damai. Tidak perlu keluar mengenakan masker. Saat itu juga, papa yang baru saja menyelesaikan studinya mencoba melamar kerja sana sini. Akhirnya setelah di tolak kesekian kalinya, papa di terima kerja di sebuah perusahaan swasta. Saat itu papa masih single, belum menikah dan baru saja merasakan hidup perantauan. Papa pergi ke kantornya untuk memasuki dunia kerja pertama kalinya, dan di sanalah ia bertemu dengan seorang wanita. Namanya Ratih. Wanita itu senior yang masuk beberapa bulan lebih dulu darinya. Meski begitu, usia Ratih lebih muda darinya. Hari- hari dunia kerja papa jalani. Sering kali, Ratih yang membantunya bekerja. Ratih yang mengajarkan banyak hal terkait pekerjaan papa. Sejak itu, mereka semakin dekat dan akhirnya, setelah papa mendekati Ratih selama beberapa bulan, mereka pun pacaran. Mereka pacaran diam- diam. Seisi kantor tidak boleh tahu, karena ada larangan bahwa tidak boleh menjalin cinta di kantor. Jika ketahuan, maka salah satunya harus rela keluar. Beberapa bulan setelah mereka resmi berpacaran, pandemi pun datang. Memaksa mereka untuk kerja di rumah. Waktu Ratih dan papa untuk saling bertemu pun berkurang. Mereka hanya bisa saling bertemu lewat video call, demi menjaga jarak agar terhindar dari virus. Tapi pandemi sering kali membawa kabar buruk. Karena pandemi, banyak karyawan yang di paksa berhenti, salah satunya Ratih. Ratih jelas sakit hati. Tapi papa menghiburnya. Papa bilang, papa akan bantu Ratih sebisa mungkin. Papa akan bantu Ratih mendapatkan pekerjaan baru lagi. Papa juga bilang, setelah pandemi ini berlalu, papa berjanji akan menikahi Ratih. Papa membantu Ratih mencari pekerjaan di sana- sini. Akhirnya setelah beberapa bulan mereka sama- sama berjuang mencari pekerjaan, Ratih menemukan pekerjaan baru di sebuah perusahaan swasta yang baru terbentuk. Ratih senang bukan main. Ia berjanji pada papa akan bekerja dengan giat dan membantu papa menabung untuk pernikahan mereka. Hari- hari mereka lalui dengan sibuk bekerja. Untuk memenuhi tabungan pernikahannya, papa pun rela mengambil pekerjaan sampingan di luar pekerjaan utamanya. Hingga akhirnya terkumpullah tabungan yang lebih dari perkiraan papa. Tabungan ini cukup untuk mengadakan pesta pernikahan sederhana dan biaya rumah tangga nantinya selama beberapa saat. Akhirnya, pandemi berlalu. Virus Mahkota menghilang. Papa dan Ratih dapat bertemu kembali. Setelah sekian lama, mereka bisa bertemu. Mereka berpelukan cukup erat, melepas semua rindu yang ada. Tabungan sudah ada. Sudah lebih dari cukup. Hanya tinggal meminta restu. Karena Ratih tidak mempunyai orangtua lagi, papa mendatangi wali Ratih, yaitu om dan tantenya untuk meminta restu. Begitu pula Ratih, meminta restu pada nenek, orangtua papa. Tapi sayangnya, tidak ada pihak wali dan kedua orangtua yang memberikan restu. Mereka tidak setuju karena masing- masing memiliki kekurangan yang tak bisa mereka maklumi dan mereka menilai semua itu terlalu cepat dan tak terduga. Namun cinta Ratih dan papa benar adanya. Rasa cinta itu semakin besar dari hari ke hari. Mereka berusaha meyakinkan kedua belah pihak, tapi tetap saja mereka tidak setuju. Kesal karena tidak setuju akan hubungan mereka, akhirnya mereka memutuskan untuk kawin lari ke kota lain dan menjalankan hidup berdua saja di sana. Mereka hanya menikah di KUA dan mengundang beberapa teman sebagai saksi. Setelah itu, mereka tinggal di rumah yang ada di pinggiran kota sebelah. Mereka hidup dengan damai dan penuh cinta setiap harinya. Hingga akhirnya setahun kemudian, mereka melahirkan seorang anak laki- laki. Anak itu adalah Rendra. Tadinya mereka mengira hari- hari yang damai itu akan terus berlanjut. Tapi mereka salah. Ternyata om dan tante Ratih terus mencari keponakannya. Mereka meminta bantuan preman untuk itu. Setelah pencarian panjang, akhirnya mereka menemukan Ratih. Om dan tante Ratih datang menemuinya. Semua kacau. Om Ratih marah besar pada papa karena menduga papa menghamili Ratih di luar nikah. Om dan tante Ratih pun membawa Ratih beserta anaknya pergi bersama mereka, meninggalkan papa seorang diri di kota sebrang. Ratih menunggu kehadiran papa untuk menjemput dirinya dan anaknya. Hari demi hari, bulan demi bulan, tak ada kabar. Ratih masih sabar menunggu. Bulan berganti tahun, dan penantian Ratih baru ada kabarnya setelah 10 tahun menunggu. Ratih terguncang mendengar kabar papa yang sudah menikah lagi dan memiliki anak, yaitu aku. Karena patah hati yang amat sangat, Ratih jatuh sakit. “Jadi gimana kabar bu Ratih sekarang?” tanyaku. Rendra menatapku dalam dan menarik napasnya. “Bunda udah gak ada sejak setahun lalu,” jawab Rendra. Aku terkesiap kaget. “Maafkan aku, aku ... Gak tahu ...” gumamku. “Gak apa. Udah gak apa kok,” jawab Rendra. “Maaf ... Maaf bundamu jadi sakit karenaku,” ujarku. “Ya ampun tak apa. Bukan salahmu. Sudah takdirnya mungkin,” jawab Rendra. “Jadi ... Kamu memanggilku kemari untuk mengenalkanku padanya?” tanyaku pada Kara. “Gak, gak hanya itu. Aku suruh Kara bawa kamu kemari bukan karena itu. Ada hal lain,” jawab Rendra. “Hal lain apa?” tanyaku. “Hal lain, tentang papamu. Tentang ayah kita.” ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD