Chapter 44

1195 Words
           “Hal lain tentang papa?” tanyaku bingung. Rendra mengangguk. “Kenapa dengan papa memangnya?” tanyaku lagi.             “Kamu masih belum mengerti ya?” tanya Kara. Aku mengeleng. Kara menepuk jidatnya. “Menurutmu, ayahmu itu seperti apa orangnya begitu tahu kisah Rendra?” tanya Kara. Aku terdiam sesaat.             “Entahlah. Beliau papaku, jadi aku masih menganggapnya dia punya sisi baik. Seengaknya, begitu. Apa papa ada tanggung jawab dengan biaya hidupmu?” tanyaku pad Rendra. Rendra hanya tersenyum tipis.             “Sayangnya, kami tidak tahu kabar ayah sebelum akhirnya kami ke kota ini. Ayah juga gak pernah menghubungi kami, jadi yah .. ayah gak pernah biayai kami …” jawab Rendra. Dia mengelus pelan rambutku. “Tapi seenggaknya aku senang, ayah sepertinya bahagia dengan keluarga barunya. Aku juga senang karena akhirnya bisa punya adik, walau dari ibu yang berbeda,” gumam Rendra. Aku menunduk. Ternyata, Rendra mengalami hal yang pahit karena ayah.             “Maafkan papa Ren …” gumamku. Rendra mengelus pelan rambutku.             “Ah sudahlah, itu sudah masa lalu kok,” ujar Rendra.             “Sekarang sih kalian harus kerjasama, biar hal lain yang ayah kalian lakukan itu tidak merepotkan banyak orang,” timpal Kara.             “Ah iya. Itu, hal lain apa maksud kalian?” tanyaku bingung. Rendra menghela napas.             “Dik, mungkin kau akan sedikit terkejut dengan kabar ini. Ini bukan kabar baik. Ayah … ayah kita, adalah dalang dari semua yang terjadi,” jawab Rendra.             “Dalang dari apa? Apa maksudnya?” tanyaku bingung.             “Ayah penyebab kenapa kita harus pakai masker lagi sekarang ini, kenapa libur malah berlanjut dan kenapa kota kembali menjadi kota mati,” jawab Rendra. Aku mengernyitkan alis.             “Ah iya, aku heran kenapa semuanya serba di tutup hari ini. Kenapa jadi kayak balik ke masa pandemi 20 tahun lalu ya, padahal kan udah gak ada lagi virus itu …” tanyaku bingung. Kara menepuk jidatnya.             “Ya ampun anak ini. Rugi aja lu menang olimpiade ini itu, tapi hal kayak begini aja lu enggak ngeh!” gerutu Kara. “Kamu masih belum ngeh juga? Kita ini lagi terjebak pandemi tau! Bakalan ada pandemi lagi, kayak 20 tahun lalu!” jelas Kara. Aku terkesiap kaget.             “Jadi maksud kamu …” Aku tidak menyelesaikan perkataanku. Rendra mengangguk.             “Iya, kita kembali hidup bersama virus,” jelas Rendra. ***             Kami pindah dari kamar itu. Kami masuk ke pintu rahasia yang ada di kamar. Pintu itu ternyata terhubung langsung ke sebuah perpustakaan mini. Kami duduk di dalam perpustakaan itu. Rendra menyuguhkan segelas sirup dingin kepadaku.             “Minum dulu yuk,” pinta Rendra. Masih setengah bengong, aku mengambil gelas itu dan meminumnya hingga tersisa setengah gelas. Aku menundukkan kepalaku.             “Gimana … kok bisa … pandemi lagi …” gumamku. Tidak pernah terbayangkan olehku hal ini akan aku rasakan di kemudian hari. Aku mengira semuanya akan baik- baik saja. “Dan lagi … apa maksudnya itu karena papa dalangnya …” gumamku lagi. Semua ini begitu tiba- tiba dan membuatku bingung. Rendra menghela napas.             “Sudahlah. Tak apa. Semuanya akan baik- baik saja. Kamu sedikit santai saja dulu,” ujar Rendra. Aku menatap Rendra lamat- lamat. Hening sesaat. Keheningan itu terpecah oleh suara perutku yang terdengar nyaring. Aku memegang perutku. Sialan, bikin malu saja. Rendra tersenyum kecil. Kulihat Kara di sana sedang menahan tawanya.             “Kamu lapar ya? Belum makan?” tanya Rendra. Aku nyengir dan mengangguk pelan. “Ya sudah, ayo kita makan dulu. Kebetulan aku tadi baru siap masak,” ajak Rendra. Ia bangkit dari duduknya. “Yuk kita turun ke dapur.”             Aku mengangguk dan mengikuti Rendra. Kara menyusul kami di belakang. Aku mengira kami akan keluar dari ruangan ini dan pergi ke dapur dengan menggunakan tangga. Ternyata tidak. Rendra mengambil sebuah buku dari rak dan saat itu rak buku terbelah menjadi dua. Ada sebuah pintu tersembunyi di balik rak itu. Pintu itu terkunci otomatis, dan hanya bisa di buka menggunakan sidik jari Rendra. Aku mengira di balik pintu ini ada ruangan lagi, ternyata pintu itu adalah sebuah lift.             “Ayo masuk,” ajak Rendra. Aku masuk ke dalam lift di susul oleh Kara. Rendra menekan sebuah tombol yang bergambar panci. Pintu lift tertutup dan lift jalan. Hanya dalam beberapa detik, pintu lift terbuka dan kami tiba di dapur. Meja makan dengan empat kursi yang pertama kali terlihat saat pintu lift terbuka.             “Ayo, kita sudah sampai,” ujar Rendra. Kami keluar dari lift. Betapa kagetnya aku saat lift tertutup dan perlahan dinding menutupi pintu lift tersebut.             “Kau tahu, semua yang ada di rumah ini Rendra yang buat. Dia yang mengaktifkan sistem lift, dia juga yang mendekorasi rumah tua ini sehingga terlihat bagus di dalamnya,” Kara menjelaskan. Aku terpana, jujur saja. “Kau tahu. Lift di rumah ini semuanya menuju ke semua ruangan di rumah ini, meski berada di lantai yang sama. Semuanya juga hanya bisa beroperasi hanya menggunakan sidik jarinya dan semuanya akan langsung tertutup dan tersembunyi otomaris jika semuanya sudah keluar lift,” jelas Kara. Lagi, aku terpana.             “Sepertinya rumah ini anti maling ya,” ujarku. Kara mengangguk.             “Memang itulah fungsinya Teh. Itu semua aku lakukan agar rumah ini gak jadi sarang penyamun,” timpal Rendra. “Yah seperti yang kamu lihat, bagian luar rumah ini tampak kumuh kan. Bisa saja nanti ada penyamun yang menjadikan ini markas,” lanjut Rendra.             “Kenapa bagian luar rumah juga gak kamu perbagus? Jadi nampak kan kalau rumah ini ada pemiliknya?” tanyaku.             “Gak perlu. Begini juga udah bagus,” jawab Rendra.             “Tapi katamu bagian luar rumah tampak kumuh? Harusnya kan kamu bagusin gitu biar para penjahat itu gak tertarik menjadikan tempat ini markas,” tanyaku lagi. Rendra menghela napasnya.             “Ah sudahlah. Nanti saja kita bahas lagi soal rumah ini. Kamu lapar kan?” tanya Rendra. Aku tidak menjawabnya. Bunyi perutku untuk yang menjawabnya. Rendra tertawa kecil..             “Perut memang gak bisa bohong ya. Ya udah, yuk kita makan,” ajak Rendra. Ia membuka lemari dan mengeluarkan sebuah piring besar berisikan ayam bakar beserta lalapan di atasnya. Ia juga mengeluarkan sambal ayam bakar. Ia menaruh semua itu di atas meja makan. Lalu ia pergi ke kompor dan menyalakannya untuk memanaskan panci yang ada di atasnya. Aku mengintip. Panci itu berisikan sup sayur segar. Ia kembali ke lemari dan mengeluarkan sepiring besar tempe medoan dan tahu bacem dari sana.             “Makan yang banyak, ayo makan. Masih ada lagi kok,” ajak Rendra. “Nasinya ambil aja sendiri ya semau kalian,” lanjutnya. Aku segera mengambil piring dan menyendokkan nasi hingga piring penuh. Tak lupa aku mengambil sepotong ayam bakar, dua potong tempe medoan dan sepotong tahu bacem. Aku mengambil mangkuk lain untuk mengisikan kuah sop sayur. Aku memakan semuanya dengan lahap. Kara yang melihatku hanya bisa geleng- geleng kepala.             “Ya ampun, ini anak kayak gak makan 3 hari,” gumam Kara. Aku mendengus kesal dan tetap melanjutkan makan. Rendra menyikut Kara.             “Jangan gitu Kar. Udah kamu makan juga gih, laper kan. Masih banyak kok,” ajak Rendra. Kara hanya mangut- mangut.             “Nambah lagi Teh kalau kurang. Masih banyak kok, tenang aja. Oh iya ini minumnya. Pelan- pelan ya makannya jangan sampai keselek,” ujar Rendra memperingatkan. Aku mengangguk sambil terus mengunyah. ****  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD