Chapter 15

2114 Words
Papa masih terus berbicara, membandingkanku dengan Sheila. Aku tidak memperdulikannya. Sudah bebal. Pokoknya semua yang papa bilang masuk telinga kiri keluar telinga kanan aja deh. Aku hanya mangut- mangut sambil melanjutkan makan. “Kapan sih kamu bisa kayak Sheila, baik budi sedikit?”Tanya papa. Nah kan. Selalu begitu endingnya. “Kapan-kapan,”jawabku malas. “Jangan begitu Dion,”sanggah nenek. “Teh udah jadi anak yang baik, kamu aja yang gak sadar. Jangan bandingin sama temennya sendiri,”lanjut nenek menceramahi papa. “Tapi mak, Althea ini..” Belum juga papa selesai bicara, nenek sudah menyanggahnya. “Doain anakmu yang baik- baik saja, daripada kamu bicara begitu,”sanggah nenek. “Althea anak baik, harusnya kamu bersyukur punya Althea,”lanjut nenek. Nenek mengelus pelan rambutku. Nenek memang terbaik! Aku memeluk nenek. Memang nenek yang paling mengerti cucunya. “Sayang nenek!”Ujarku. Nenek membalas pelukanku dengan erat. “Sudah sudah, yuk habisin makannya,”pinta nenek. Aku mengangguk. Aku melepaskan pelukan dan lanjut makan. Aku melirik papa yang juga sedang makan. Aku masih kepikiran dengan perkataan Kara. Serius. Bikin kepikiran banget. Papa rahasiain apa sih? Apa papa punya harta simpanan yang banyak? Ah, itu mungkin saja sih. Gaji papa juga sebenarnya lebih dari cukup untuk menghidupiku dan mama. Apalagi papa sedikit terbantu dengan mama yang juga bekerja. Sepertinya itu tidak bisa di bilang rahasia, karena itu memang yah nyatanya begitu. Aku yakin sih diam- diam papa sudah siapkan warisan untuk kami semua. Oke harta simpanan di skip. Bukan hal yang patut di curigain. Hem, apa jangan-jangan, papa punya wanita lain? Aku mendengus. Ah, tidak tidak. Tidak mungkin. Mana mungkin papa selingkuh, sedangkan papa dan mama selalu romantis dan adem anyem. Aku sering melihat papa mencium kening mama sebelum berangkat kerja. Mereka masih sering berpelukan di depanku. Kadang kalau mereka sudah dalam mode romantis suka lupa keadaan sekitar. Lupa kalau anaknya yang masih di bawah umur ini ada di sekitar mereka. Ini hampir tidak mungkin, tapi bisa saja ini jadi mungkin. Mungkin saja, papa sengaja akting romantis gitu di depan mama biar dia gak ketahuan selingkuh? Biar mama gak curiga. Bisa saja, alasan papa sering pulang larut saat ini sebenarnya untuk menemui wanita simpanan? Aku menggeleng- gelengkan kepalaku. Ya ampun Althea, kamu kebanyakan nonton drama kayaknya. “Mak, itu multivitamin mamak udah habis ya? Kalau udah biar besok Dion ambil lagi.” Papa menawarkan bantuan. “Oh, itu tadi udah mamak ambil sendiri tadi siang. Mama ketemuan sama orangnya,”jawab nenek. Papa yang sedang membelah daging terhenti sesaat. “Loh? Kok mamak ambil sendiri? Memang mamak tau?”Tanya papa. Nenek menggeleng. “Tadinya sih ya, mamak gak tau. Tapi mamak cek di bungkusnya, kok ada nomor kontak gitu. Ya udah mamak hubungi aja. Katanya iya dia yang jual obatnya. Jadi mamak bilang kalo obat mamak habis, kata dia ambil aja ke rumah buat yang baru. Yaudah mamak datangi aja sesuai alamat dia kasih,”jelas nenek. “Mamak ini. Sembarangan aja. Mana nomornya, masih ada? Mana bungkus obatnya? Mamak ini lah, nanti mamak di tipu pulak,”omel papa. “Ih tapi bener kok, katanya dia kenal kamu,”ujar nenek. “Ya, yang kenal Dion kan banyak mak. Mana obatnya, nanti salah salah pulak,”omel papa lagi. “Ih kamu ini! Bentar mamak ambil.” Nenek bangkit dari duduk dan menuju ke dapur. Di dapur ada satu lemari yang berisikan obat-obat generik dan vitamin. Nenek kembali ke meja makan dengan membawa kantung bungkusan obat yang tadi. Nenek mengeluarkan semua botol obat yang ada di dalamnya. Papa memperhatikan satu persatu label di botol obat dengan teliti. “Bener sih ini obatnya, kayaknya. Mana coba mak nomornya orang itu,”perintah papa. “Ih di bilangin juga kenal kamu!”Ujar nenek kesal. Nenek memberikan smartphone nya pada papa. Papa memperhatikan smartphone nenek dan mangut- mangut. “Oh ya bener ini si Agung,”ujar papa. Papa mengembalikan kembali smartphone kepada nenek. “Di bilangin juga apa!”Ujar nenek kesal. Nenek mengambil kembali smartphone nya. “Oh ya tadi uang mamak gak cukup, jadi tadi mamak bilang sama dia sisanya kamu bayar. Gak apa kan?”Tanya nenek. “Gak apa mak, gampang itu,”jawab papa. “Mamak jangan lupa ya minum vitaminnya. Mamak udah ada minum belum vitaminnya?”Tanya papa lagi. “Udah tadi mamak minum, siap makan siang tadi. Oh mamak juga bagiin vitaminnya ke si Teh,”jawab nenek sambil melirikku. Papa melirikku dengan mata melotot. “Mamak bagiin ke Teh?”Tanya papa lagi. Nenek mengangguk. Papa menatapku. “Kamu minum Teh obatnya?!”Tanya papa padaku. Aku mengangguk pelan. “Kenapa kamu minum?!”Tanya papa sedikit membentak. Semua tersentak kaget. Kenapa papa tampak kesal? Memangnya salah ya aku minum vitamin itu? “Eng ... I... Iya ...”Jawabku sedikit terbata. Aku mengernyitkan alis. Kenapa papa bertingkah seperti ini? “Lah kenapa memangnya? Kan itu vitamin biasa toh, untuk semua umur juga. Makanya mamak bagiin ke Teh, ke Sheila juga,”Tanya nenek heran. “Lah mamak bagiin ke Sheila juga?”Tanya papa kaget. Nenek mengangguk. Nenek mengernyitkan alis heran. “Memangnya kenapa sih pa? Aku gak boleh minum vitamin itu? Itu vitamin apa obat khusus gitu untuk orangtua?”Tanyaku penasaran. “Gak Teh, kamu minum vitamin kok. Nenek cek dulu sebelum bagiin ke kamu,”jawab nenek. “Bukan gak boleh sih, tapi ...” Papa terhenti sebentar. Papa mengacak- acak rambutnya. “Tapi itu obat mahal ... Makanya ... Papa kasih ke nenek aja ...”Lanjut papa agak terbata. Nenek tertawa kecil mendengarnya. “Ya ampun, cuma karena itu doang?”Tanya nenek. Papa mengangguk pelan. Tawa nenek semakin kencang. “Heh, banyakan lagi gajimu daripada harga obat sama vitamin ini,”ujar nenek sambil mengambil satu botol obat. “Gak apalah kan bagiin, toh duitmu juga banyak,”lanjut nenek. “Tapi mak, Dion kan belinya khusus buat mamak aja,”ujar papa. “Ya udah sih, kan buat mamak, jadi hak mamak juga toh. Berkahlah mamak bagiin ke siapa aja,”ujar nenek. “Ini kan vitamin. Bikin sehat. Biar sekeluarga sehat semua. Gak apa toh. Kamu juga beliin dong buat Teh, biar dia sehat terus badannya,”usul nenek. Papa melirikku. “Kamu mau papa belikan vitamin kayak nenek?” Papa menawarkan. Aku menggeleng pelan. “Gak deh pa, makasih,”tolakku halus. “Nanti uang papa habis. Kan vitaminnya mahal.” **** Makan malam sudah selesai. Semua kembali melakukan aktifitas masing- masing. Mama membantu nenek membereskan sisa makan malam. Papa kembali ke kamarnya, sedangkan aku pergi ke bengkel robot. Mencoba memperbaiki robot alaram yang tempo hari malah bikin kacau. Aku terbuai dalam kesibukan memperbaiki robot sialan ini. Tapi kegiatanku terhenti saat mengingat lagi perkataan Kara tadi. Aku masih sangat penasaran dengan rahasia papa, dan aku masih tidak memiliki petunjuk apa yang papa rahasiakan. Aku memejamkan mataku, berusaha mengingat- ingat apakah papa pernah bertingkah mencurigakan. Tapi tetap aku tidak punya petunjuk selain papa yang sering pulang larut dan pergi pagi buta untuk kerja. Itu pun kurasa tidak pantaa untuk kucurigai. Lumrah bukan, kalau seorang pekerja kantoran pergi pagi pulang larut seperti itu. Apalagi seperti papa yang sudah memiliki jabatan. Mungkin saja ada banyak hal yang perlu di urus di kantor. Aku melirik ke ruangan di sebelah. Di sebelah ada ruang kerja papa, sekaligus bengkel robot milik papa. Sama sepertiku, papa juga sering membuat robot- robot kecil yang mudah di buat. Yah cocoklah dengan papa yang seorang programmer. Malah sebenarnya, papa yang duluan mengenalkanku pada dunia robot dari kecil. Papa yang mulai mengajariku cara membuat dan menjalankannya sejak aku SD. Dulu aku sering masuk ke bengkel papa. Tapi sejak aku berhasil membuat robot pemanas air pertamaku, papa membuatkan bengkel khusus untukku. Katanya biar makin banyak robot yang aku buat dan karena letaknya di sebelah bengkel papa, biar mudah tanya ke papa kalau ada kendala. Tapo nyatanya sejak naik jabatan, papa jadi sangat jarang ke bengkelnya. Apa mungkin ada hal yang di sembunyikan papa di bengkelnya. Aku memperhatikan sekitar. Oke aman. Sepertinya memang tidak ada orang. Aku mengambil kunci T elektronik dan keluar dari bengkel. Aku penasaran. Akhirnya aku pergi ke bengkel papa. Seperti bengkelku, bengkel papa juga menggunakan kunci elektronik dimana memerlukan password atau ID untuk membukanya. Aku mencoba memasukkan password yang kutahu. Mungkin saja password- nya tidak berubah. Ternyata tidak bisa. Sepertinya papa sudah merubahnya. Tapi kapan? “Sandi salah. Silahkan masukkan sensor mata anda,”ujar suara robot di kunci pintu bengkel. Waw, papa malah sudah mengaktifkan sensor mata. Aku gelagapan. Duh, kalau sensor mata mah, dia mana bisa. Sudah jelas identitasnya sangat berbeda. Tapi aku tak kehabisan akal. Aku mencari foto papa di mr. Communicator, lalu mengaktifkan mode hologram. Aku dekatkan ke sensor kunci pintu. Menit demi menit, tak ada reaksi. Ah, sepertinya gagal. Mana mungkin robot komputer ini bisa sensor mata yang ada di foto hologram. “Sensor berhasil. Identitas di kenal. Pintu terbuka,”ujar suara komputer robot itu. Aku tersentak kaget tak percaya. Apa? Berhasil? Pintu bengkel mengeluarkan bunyi pip. Aku mencoba menarik pintu itu. Ternyata kuncinya berhasil terbuka. Ya ampun pa, sepertinya papa terlalu ceroboh sampai komputer robotnya bisa salah mengakses identitas. “Papa b**o, harusnya papa lebih hati hati,”gumamku. Pelan- pelan aku membuka pintu dan masuk ke dalam sana. “Selamat datang Tuan Dion.” Suara komputer kembali menyapaku. Semua lampu hidup otomatis, menerangi bengkel yang tadinya gelap gulita. Bengkel papa tampak rapi, tidak seperti bengkelku yang berantakan sana sini dengan barang perkakas dan kertas- kertas yang bertebaran. Aku mendekati meja produksi. Meja itu tampak kosong, tidak ada satu apapun di sana. Bersih seperti tak tersentuh. Aku membuka laci yang ada di meja produksi. Hanya ada beberapa kertas yang di penuhi dengan sketsa- sketsa kasar rancangan robot. Beberapa rancangan ini sudah pernah kulihat sebelumnya. Ini rancangan robot papa yang lama, kebanyakannya begitu. Beberapa papa beli tanda silang, tanda proyek itu gagal. Beberapa papa beri tanda centang, tanda proyek itu berhasil. Ada 2 kertas yang papa berikan tanda centang dan angka 100 di atasnya. Aku memperhatikan lamat- lamat kedua kertas itu. Ah, aku ingat. Ini kertas berisi rancangan proyek papa yang sukses besar, bahkan berhasil menang dalam perlombaan beberapa tahun lalu. Aku kembali memperhatikan lembar demi lembar kertas yang ada di sana. Papa memiliki kebiasaan menulis tanggal di setiap kertas rancangannya. Aku memperhatikan tanggal tersebut. Tak ada tanggal baru. Tanggal yang paling baru adalah 3 Februari 2038, hari dimana pertama kali aku memiliki bengkel sendiri. Papa memberikan tanda silang di kertas itu, tanda proyek itu gagal. Terdengar suara langkah kaki di luar sana. Buru-buru aku mengumpulkan kembali kertas- kertas yang berserakan. Aku menyusunnya kembali hingga rapi dan pelan- pelan memasukkannya kembali ke laci meja. “Teh .. Althea ...” Terdengar suara orang memanggil dari luar. Suara nenek! Aku menutup laci dan buru- buru keluar dari bengkel papa dan segera masuk ke bengkelku. Aku kembali ke meja produksi dan pura- pura sibuk memperbaiki robot. Padahal aku hanya memperhatikan robot lamat- lamat. “Teh .. Althea ... Kamu di dalam?”Tanya nenek di luar sana. “Iya nek, masuk aja,”jawabku. Aku mematikan mode password dan mengaktifkan pintu buka otomatis. Nenek masuk ke dalam. “Masih lama Teh? Udah malem ini, lanjut besok aja. Kamu besok sekolah toh,”ujar nenek. Aku melirik jam. Benar juga, sudah jam 11 malam. Sejak nenek datang, nenek selalu melarangku untuk tidur di atas jam 10 malam. “Oh iya, aku lanjut besok nek.” Aku bangkit dari duduk. Aku merapikan sedikit meja yang berantakan. “Yuk nek, kita balik,”ajakku. Aku dan nenek pun kembali ke dalam rumah bersama. **** Untuk ke sekian kalinya, aku tiba di sekolah mepet dengan waktu masuk. Ini sudah biasa. Kemarin mah kebetulan aja karena Sheila menginap di rumah. Kelas sudah ramai saat aku tiba. Aku menuju bangku yang ada di belakang. “Kukira kamu telat tadi Teh,”ujar Sheila. “Yah, hampir sih sebenarnya,”jawabku santai. Aku menaruh tas dan duduk di bangku. “Kamu ini. Apa gak bisa bangun lebih cepat, pergi lebih cepat gitu?”Tanya Sheila. Aku mendecak dan menggeleng pelan. “Ckck, tentu tidak. Mana bisa aku melewatkan jam tidurku yang berharga,”jawabku. Sheila geleng- geleng kepala. “Memang ya kamu Teh ...”Gumamnya. Aku melirik Kara yang duduk di belakangku. Dia tampak sibuk membaca bukunya. Merasa di perhatikan, dia menoleh padaku. “Apa lihat- lihat?”Tanyanya ketus. Aku langsung mengalihkan pandangan. “Ih, siapa juga yang lihat- lihat situ. Ge er amat!”Jawabku mengelak. Kara menghela napas dan geleng- geleng kepala. “Ah ya, kau tahu. Ayahmu itu tingkahnya busuk sekali, kau tahu,”bisik Kara. Hah, apa? ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD