Chapter 14

2782 Words
Kami tiba di sebuah rumah. Rumah itu besar, terdiri dari 3 lantai dengan atapnya yang berbentuk kubah. Nuansa cat berwarna putih gading semakin memperlihatkan kemewahan rumah itu. Nenek melepaskan seat belt dan mengambil dompet di dashboard. “Tunggu di sini sebentar ya,”ujar nenek. Nenek mengeluarkan smartphone dan menaruh smartphone di telinganya. “Iya, halo.. Iya nak, ini ibu udah di luar. Oh, iya iya saya ke sana..”Ujar nenek pada seseorang di ujung sana. Nenek membuka pintu mobil dan keluar dari sana. “Agak aneh ya rasanya Teh, kalo beli obat tapi gak di apotek gini,”ujar Sheila. Aku mangut-mangut setuju. “Kayak, apa ya .. Kayak transaksi mencurigakan gitu ..”gumamku. “Jangan-jangan ...” Sheila menatapku dengan mata melotot. “Jangan-jangan ... Bener ini transaksi mencurigakan?”Terka Sheila. Aku menampol kepala Sheila. Sheila meringis kesakitan sambil memegang kepalanya. “Ngadi-ngadi!”ujarku kesal. “Ih. Becanda doang kali Teh!”gerutu Sheila. Aku jadi teringat dengan perkataan Kara tadi, soal rahasia papa yang tidak di ketahui keluargaku. Atau jangan-jangan, itu rahasia keluarga yang diriku tidak tahu? Ada yang mereka sembunyikan dariku? Mungkin ini rahasia nenek? Aku jadi curiga jangan-jangan nenek melakukan transaksi mencurigakan dengan orang yang dia bilang member dari sebuah label obat dan vitamin. Transaksi macam apa? Apa mungkin ... Aku menampar kedua pipiku. Althea, kamu jangan mikir yang engga-engga deh. Jangan suudzon dulu sama nenek! Gumamku dalam hati. Bisa-bisanya aku berpikir kalau nenek melakukan transaksi obat terlarang dengan orang itu. Seperti transaksi n*****a. Aku geleng- geleng kepala. Tidak, tidak mungkin. Jelas ini tidak mungkin. Mana mungkin nenek yang supel, ramah, dan selalu sayang dengan anak dan cucunya ini melakukan transaksi haram seperti itu? Mana mungkin, buat menggunakan smartphone saja kadang nenek meminta tolong padaku. Jelas tidak mungkin kan orang tua yang lumayan gaptek seperti nenek melakukan hal seperti itu? “Kenapa Teh?”Tanya Sheila bingung. Aku mengeleng pelan. “Gak apa kok Shei, cuma .... Keinget sesuatu yang agak cringe,”jawabku bohong. “Aneh aneh aja kamu Teh,”komentar Sheila. Pintu mobil terbuka. Nenek masuk dengan kantung bungkusan berwarna putih di tangannya. “Gak lama kan ya?”Tanya nenek. Kami mengeleng. “Engga kok nek,”jawab Sheila. Nenek menaruh bungkusan putih di sebelahnya. Penasaran, aku membuka bungkusan putih itu. Ada 4 botol di dalam sana, 2 di antaranya botol kaca buram. Aku membaca label yang ada di sana, beserta komposisinya. Ah, sepertinya tidak ada yang mencurigakan. Walaupun aku tidak mengerti bahan kimia apa saja yang ada di dalam sana, tapi sepertinya ini sama dengan komposisi di obat- obatan yang lain. Aku berusaha mengintip isi botol kaca yang buram. Satu botol berisikan tablet-tablet berwarna pink. Sedangkan yang satunya lagi, berisikan serbuk yang sepertinya berwarna putih. Entahlah, aku tidak yakin. Botolnya terlalu buram, jadi susah untuk di intip. “Kenapa si Teh?”Tanya nenek. Aku kaget dan langsung menaruh kembali semua botol ke dalam kantongan. “Gak apa nek, cuma kepo aja ini apa aja obatnya hehehe,”jawabku. “Oalah. Kamu mau minum itu obatnya?”Tanya nenek. “Lah memang boleh nek?”Tanyaku balik. Nenek mengeluarkan 2 botol berwarna putih, memperhatikan label yang ada di botol. “Nah ini, ini vitamin. Untuk semua usia. Kamu bisa minum ini, kamu juga Shei,”jawab nenek. Nenek memberikan salah satu botol kepadaku. Aku memperhatikan label yang ada. Tertulis di sana Honey Royal Jelly. “Itu tinggal minum aja, kapan aja sih gak ada spesifiknya. Kalian minum aja sekarang. Itu tinggal isap aja vitaminnya, di telan pakai air juga bisa,”jelas nenek. “Apa ga pahit nek?”Tanya Sheila. “Engga, biasanya sih obat hisap gitu rasanya manis. Kalau gak salah itu juga komposisinya dari madu,”jawab nenek. “Buka aja Teh, kalian minum sekarang,”perintah nenek. Aku membuka botol tersebut. Isinya tablet berukuran bulat, berwarna putih dengan bintik-bintik kuning. Tablet ini lumayan besar ukurannya. Aku mengambilnya 2 butir dan memberikan satu butir pada Sheila. “Gede banget. Kalo ini di telan dengan air sih bakalan keselek kalo gak pinter minumnya,”ujar Sheila. Nenek tertawa kecil mendengarnya. Aku menghisap tablet itu. “Manis,”gumamku. Aku kira vitamin ini akan terasa asam seperti tablet vitamin C yang biasa mama berikan. Ternyata rasanya manis dengan ada sedikit rasa asam. Rasanya segar seperti buah jeruk. “Iya, kayak makan buah jeruk,”ujar Sheila. Aku mengangguk. “Iya, seger. Asam manis gitu kan,”balasku. Sheila mangut- mangut. “Nenek ada beli 2 botol tadi, kamu ambil aja satu botol Teh. Bagi dua sama Sheila. Kalian itu masih muda, harus makan makanan yang bergizi, minum vitamin kayak sekarang biar badannya sehat,”ceramah nenek. “Kalau martabak manis itu makanan bergizi gak nek?”Tanya Sheila. “Bergizi, untuk menambah produksi endorphin. Kan bahagia toh kalau makan martabak manis,”jawab nenek. “Manis mana senyum Sheila atau martabak manis buatan nenek?”Tanya Sheila. Sheila menyinggungkan senyum manisnya dengan terpaksa. “Manis senyum Sheila kok,”jawab nenek. Nenek mengelus dagu Sheila halus. “Tapi manisan senyum nenek lagi dong,”lanjut nenek sambil menyinggungkan senyum lebar, menampakkan gigi nenek yang mulai ompong. **** Kami tiba di rumah. Seperti biasa, rumah selalu sepi. Rumahku selalu begitu memang. Sepi dan sunyi, juga hampa. Seperti tak ada orang di sana. “Kalian ganti baju dulu ya, baru kita makan martabak bareng,”perintah nenek. “Baik nek,”jawab kami berbarengan. Kami naik ke kamarku. Sesampai di sana, kami menaruh tas di sudut ruangan dan mengganti baju dengan kaos rumah. Setelah itu kami turun ke bawah. Nenek sudah menunggu kami di dapur dengan meja yang sudah penuh dengan 2 piring martabak telur dan sepiring martabak manis. “Lah banyak banget nek,”ujarku. Aku menarik salah satu kursi dan duduk di sana. Sheila duduk di sebelahku. Tampaknya air liur Sheila sudah tidak tahan untuk menetes, melihat martabak manis yang tampak sangat nikmat. Cairan mentega dari martabak manis sedikit keluar dari tempatnya. Apalagi topping keju dan coklat meises yang berlimpah, apa tidak bikin iler Sheila semakin tergoda. “Maaf ya Shei nenek gak buat banyak, buru-buru tadi nenek buat itu martabaknya,”ujar nenek. “Gak apa nek. Makasih banyak nek!” Nenek memberikan piring kecil pada Sheila beserta garpu dan pisau. Sheila mengambil sepotong martabak manis dan memakannya. Baru satu suap, tapi Sheila sudah bersenandung riang. Yah, Sheila selalu seperti itu saat memakan makanan manis. Nenek juga menaruh piring kecil beserta sendok garpu di depanku. Aku mengambil sepotong martabak telur. Tak lupa aku siram kuah cuka asam. Aku memotongnya menjadi bagian kecil dan memakannya. Enak! Telur dan cincangan daging menyatu dengan sempurna. Daging cincangnya juga tidak pelit, di tambah dengan kuah cuka asam, ini enaknya paripurna. Agaknya akan semakin paripurna dengan acar tanpa bawang. Acar yang isinya hanya potongan wortel dan cabai rawit. “Makan yang banyak!”pinta nenek. “Oh ya Teh. Ini acarnya.” Nenek memberikan mangkuk kecil berisikan acar. Aku mengambil sesendok acar dan memakannya bersamaan dengan martabak manis yang sudah di kuahi dengan cuka asam. “Memang paling enak martabak buatan nenek!”ujarku kegirangan. “Enak Teh? Aku coba ya,”Tanya Sheila. Sheila mengambil potongan kecil di piringku dan memakannya. Baru satu gigit, Sheila sudah mendesah kepedasan. “Hah.. Hoh... Pedes ...” Sheila melambai- lambaikan tangannya di depan mulutnya. “Heh? Kamu makan yang di piringku ya? Itu ada cabe rawitnya di acar!” Aku memberitahu. “Kenapa gak bilang?!”Gerutu Sheila. Nenek memberikan segelas air pada Sheila. “Ini nak Sheila minum dulu,”pinta nenek. Sheila langsung meminum air tersebut dengan sekali teguk. Sheila terbatuk- batuk karena minum dengan terburu- buru. Nenek menepuk- nepuk punggung Sheila pelan.             “Pelan- pelan atuh minumnya,”pinta nenek lagi. Sheila mengangguk pelan sambil tetap terbatuk.             “Kamu kenapa gak kasih tau kalau ada cabenya sih Teh,”gerutu Sheila.             “Lah kamu sih main serobot ambil aja,”balasku. “Kapok kan, kepedesan kan. Izin dulu makanya,”lanjutku.             “Udah udah udah, habisin aja makanan kalian sampai habis,”perintah nenek. Kami kembali makan dengan khidmat. Aku melirik martabak manis di piring Sheila. Kenapa martabak manis itu tampak sangat menggoda? Padahal biasanya aku tidak terlalu tertarik dengan makanan manis.             “Shei, bagi ya,”ujarku. Tanpa menunggu jawaban Sheila, aku langsung mengambil potongan besar martabak manis dari piring Sheila. Aku memakannya segigit saja. Ternyata martabak manis ini enak sekali. Menteganya terasa, tercampur sempurna menyelimuti adonan martabak yang manis dengan s**u kental manis dan gula, serta topping keju parut dan coklat meises yang berlimpah. Semuanya menyatu memberikan rasa yang enak di mulut. Kamu tidak bisa makan martabak ini dengan rapi karena toppingnya yang berlimpah bahkan nyaris  meluber.             “Eh Teh, mau tumpah tuh!” Sheila mengingatkan. Aku yang sedang asyik mengunyah tidak sadar kalau martabak manis yang di tanganku ini toppingnya meluber jatuh. Buru- buru aku menangkupnya dengan tanganku sebelum jatuh menyentuh lantai.             “Berantakan banget kamu makannya Teh!” Sheila tertawa kecil sambil menunjukkan wajahku.             “Hei, lihat sendiri wajahmu tak kalah cemong,”jawabku. Sheila berhenti tertawa dan mengeluarkan cermin kecil yang selalu ia kantongi. Ia mengelap mulutnya yang cemong dengan tangan.             “Eh, jangan pakai tangan!”ujar nenek. Nenek mengambil tissue dan mengelap mulut Sheila dan aku.             “Makasih nek,”ujar Sheila. Aku kembali memakan sisa martabak manis dalam sekali suap. Kubuka mulutku selebar mungkin. Sheila yang melihatnya hanya bisa geleng- geleng kepala.             “Gak ada anggun- anggunya sekali memang anak ini,”ujarnya.             “Wah ibu masak apa nih?”Tanya mama dari mengintip dari pintu dapur. Mama tampak rapi dengan tatanan rambut yang tampak di blow dan make up di wajahnya.             “Sini Wil,”panggil nenek. Mama masuk ke dapur dengan baju seragam kantornya. Mama menarik kursi di sebelahku dan duduk di sana. “Kamu udah selesai rapatnya?”Tanya nenek.             “Sudah bu,”jawab mama. “Wah kayaknya enak nih martabaknya!”ujar mama.             “Kamu mau martabak yang mana?”Tanya nenek.             “Yang ini.” Mama menarik sepiring martabak telur ke depannya.             “Ya sudah, ibu ambilin nasi ya,”ujar nenek. Mama mengangguk. Nenek menaruh sepiring nasi hangat ke depan mama, lengkap dengan sendok dan garpu.             “Makasih bu,”ujar mama. Mama mengambil sepotong martabak telur dan menaruhnya di piring berisi nasi.             “Oh ya, kurang ini nak.” Nenek menaruh sebotol saus sambal ke depan mama. Mama menuang saus sambal itu ke dekat martabak telur. Mama memotong sedikit martabak telur dan mencocolnya dengan saus, lalu menaruhnya di atas nasi dan memakannya berbarengan.             “Kok gitu makannya ma? Emang enak pakai saus begitu? Pakai nasi pula,”Tanyaku heran.             “Pake nasi biar kenyang Teh,”jawab mama. “Enak kok di cocol pakek saus sambal gini, kamu coba deh,”pinta mama. Mama menuangkan saos sambal ke piring kecilku yang berisikan potongan martabak telur. Mama memotong martabak itu dan mencocolnya dengan saus, lalu memberikannya padaku. “Nih, coba. Enak kok,”pinta mama.             Aku memakan martabak telur itu. Hum, memang sih lumayan enak. Tapi tetap lebih enak pakai cuka asam, lebih afdol dengan rasanya yang asam pedas.             “Lumayan,”gumamku. Aku mencoba mencocolnya kembali dengan saus sambal dan menuangkan cuko di atasnya. Ini hanya ide konyol, yang kuharap rasanya lebih enak. Aku memakannya dan mengernyitkan alis. Oke, ini memang lumayan. Tapi agaknya rasa saus sambal ini kurang cocok dengan cuka asam. Aku meneguk segelas air di sampingku untuk menetralisir rasa yang ada.             “Kalian berdua udah makan nasi belum?”Tanya mama. Aku dan Sheila mengeleng bersamaan dan nyengir lebar.             “Kalian ini, kenapa gak makan nasi dulu? Udah udah sana ambil nasi!”Perintah mama. Aku dan Sheila bangkit dari duduk.             “Loh kalian mau ngapain?”Tanya nenek.             “Mau makan nasi nek,”jawabku.             “Kalian belum kenyang makan martabak sebanyak itu?”Tanya nenek sambil menunjuk piring di meja dapur. Martabak manis sudah tersisa setengah, begitu pula dengan satu piring martabak telur.             “Udah kenyang sih nek sebenarnya,”jawabku pelan.             “Udah kalau udah kenyang gak usah di paksa makan nasi,”ujar nenek. “Lagipula nenek belum masak lauk untuk makan pakai nasi,”lanjut nenek pelan.             “Loh? Ibu gak ada masak lauk untuk makan siang?”Tanya ibu.             “Ah, tadinya habis masak martabak ini ibu masaknya, tapi entah kenapa ibu keburu capek duluan. Ini punggung ibu pegal banget, jarang- jarang begini,”jawab nenek sambil menepuk pelan pundaknya.             “Haduh ibu. Ibuk kecapean itu. Ibu udah minum belum suplemen yang mas Dion kasih?”Tanya mama.             “Suplemennya habis, tadi baru ibu ambil lagi ke rumahnya. Sekalian jemput mereka dari sekolah,”jawab nenek. Mama menatapku dengan tatapan bertanya.             “Nggak ma, Teh gak minta jemput kok,”ujarku memberitahu. Mama menaikkan alisnya. Aku kembali mengangguk dan menunjukkan tanda peace. “Bener deh gak bohong,”lanjutku. Mama menghela napas.             “Ya sudah, ibu istirahat aja. Biar buat lauk makan nanti Wilda yang buat,”tawar mama.             “Loh gak apa nak, ibu udah enakan kok. Udah gak capek lagi,”ujar nenek menolaknya.             “Gak, gak. Ibu istirahat aja. Ibu udah minum belum suplemennya? Ibu minum ya,”pinta mama. “Nanti mas Dion khawatir bu kalau ibu kenapa- kenapa,”lanjut mama.             “Ya sudah,”ujar nenek. “Ibu minta tolong ya Wil?”pinta nenek. Mama mengangguk.             “Serahkan saja pada Wilda!” Mama menepuk dadanya pelan. Nenek tersenyum simpul.             “Ya sudah, ibu mau lanjut nonton sinetron kemarin. Belum kelar. Makasih loh Wil,”ujar nenek. Nenek melepas celemek dan pergi keluar dapur.             “Kalian bantuin mama bisa?”Tanya mama.             “Loh aku juga ma?”Tanyaku sambil menunjuk diri.             “Justru harusnya kamu yang bantu mama, kan kamu anak mama!”Jawab mama.             “Mama yakin?”Tanyaku lagi. “Mama yakin aku gak bikin kacau?”Tanyaku berusaha meyakinkan mama. Sebenarnya aku malas sih untuk bantu masak, kalau itu bukan nenek yang melakukannya.             “Yakin! Udah ayo sini kamu bantu mama!”Pinta mama. Mama menarikku bangkit dari duduk. “Maaf ya nak Sheila, boleh tante minta bantuannya?”Tanya mama. Sheila mengangguk.             “Boleh tante,”jawab Sheila.             “Oke kalau gitu. Teh, kamu kupas bawang ya. Kamu Sheila, Sheila bisa kupas udang gak?”Tanya mama. Sheila mengangguk.             “Bagus bagus. Kamu ambil udangnya di freezer ya. Kamu Teh, ambil bawangnya di bakul ya. Segenggam bawang putih, segenggam bawang merah,”perintah mama. Sheila pergi ke kulkas dan mengambil udang di freezer. Aku pergi ke bakul yang ada di dekat lemari untuk mengambil bawang sesuai instruksi mama, lalu kembali ke meja dapur dan mengupasnya satu persatu. Aku mengupas bawang dengan tangan. Aku takut menggunakan pisau, takut nanti malah tersayat.             Sheila pergi ke westafel dan mengupas kulit udang dengan telaten. Mama mengambil bumbu- bumbu lain di kulkas. Mama mengupas kentang dan merebusnya. Tak perlu waktu lama untuk Sheila mengupas kulit udang.             “Ini tante udah siap kulit udangnya,”ujar Sheila sambil memberikan mangkuk berisikan udang yang sudah di lepas kulitnya.             “Wah makasih banyak ya nak Sheila,”ujar mama dan mengambil mangkuk itu dari Sheila.             “Teh, udah belum bawangnya itu?”Tanya mama.             “Belum ma,”jawabku.             “BELUM?!” ***             Malam sudah tiba. Kami sekeluarga sudah berkumpul di meja makan untuk menyantap makan malam yang tadi mama masak, tanpa ada kubantu sedikit pun. Mama keburu kesal karena aku yang terlalu lama mengupas bawang dan akhirnya  menyuruhku untuk menemani nenek saja. Sheila yang membantu mama hingga selesai. Tapi sayang Sheila tidak bisa ikut makan malam bersama, karena bundanya ternyata pulang lebih cepat dari rencana. Mama pun membagikan sedikit lauk kami kepada Sheila.             Malam ini semua lengkap. Papa juga hadir di meja makan. Biasanya papa pulang larut, tapi semenjak nenek datang, papa berusaha pulang lebih cepat. Melihat papa, aku jadi teringat dengan perkataan Kara di sekolah tadi. Aku masih bertanya- tanya, apa yang papa sembunyikan dariku, dari keluarga juga. Papa yang merasa di perhatikan pun merasa risih.             “Kenapa Teh?”Tanya papa. Aku tersadar dari lamunan dan mengeleng pelan.             “Ah, gak apa kok pa,”jawabku. Aku mengalihkan pikiran dengan menuangkan lauk ke dalam piring.             “Tau gak pa, ini tadi mama masaknya bareng Sheila. Sheila yang bantuin mama sampai selesai,”cerita mama.             “Loh si Teh gak ada bantuin?”Tanya papa. Mama mendengus.             “Gak mama kasih. Lama nanti. Masa Teh kupas bawang pakai tangan? Kapan selesainya coba?”Gerutu mama.             “Hah? Ya ampun Teh, kok kamu gitu sih? Kenapa kamu gak bisa kayak Sheila? Makanya kamu belajar masak dong nak, jangan cuma makan aja,”ujar papa.             Ah, here we go again … ***    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD