Chapter 17

2057 Words
            Akhirnya bel tanda pulang sekolah berdering. Semua anak bersiap mengemas tasnya dengan semangat, kecuali aku. Mungkin Kara juga begitu. Aku menghela napas. BU Gani belum mengakhiri kelas hari ini. Semua anak menatap bu Gani dengan tatapan memohon. Aku pun begitu. Hanya saja, mungkin permintaanku agak berbeda dnegan mereka. Aku memohon agar bu Gani lebih lama saja mengajarnya, taka pa. BIar mang Jajang keburu capek duluan menunggu kami dan memilih untuk pulang lebih dulu. Kan, mang Jajang sering begitu. Apalagi kalau besoknya libur. Seperti hari ini. Besok libur, jadi mang Jajang pasti memilih untuk pulang lebih dulu. Tapi tidak dengan bu Gani. Beliau malah memilih untuk mengajar lebih lama, katanya biar materi di sekolah masih lengket saat di bawa pulang ke rumah untuk berlibur nanti.             “Ya, kalau begitu sekian pelajaran hari ini. Sebelum pulang alangkah baiknya kalian salin materi ini lebih dulu,”pinta bu Gani. Semua tidak memperdulikan. Mereka hendak bangkit dari duduk. “Yang tidak menyalin materi ini jangan salahkan ibu kalau nilai ulangannya nol ya,”ancam bu Gani. Sontak semua kembali duduk rapi dan membuka tablet. Semua menyalin materi ke tablet.             Pintu kelas di ketuk dan di buka oleh seseorang. Pak Arya berdiri di depan pintu sambil membawa kayu bambu tipisnya itu.             “Maaf bu Gani, ini sudah jam pulang,”ujar pak Arya memberitahu. Bu Gani mengangguk.             “Iya pak, saya tahu. Saya sudah selesai mengajar kok, hanya tinggal anak- anak saja menyalin materi saya,”jawab bu Gani.             “Maaf sekali lagi bu Gani, boleh saya minta izin untuk permisikan Dakara dan Althea lebih dulu? Saya ada perlu dengan mereka,”pinta pak Arya. Bu Gani mangut- mangut.             “Oh ya pak silakan pak,”jawab bu Gani mengizinkan. “Siapa tadi ya yang pak Arya cari? Oh iya, Althea …” Bu Gani memanggil. Aku menghela napas panjang dan mengangkat tanganku.             “Iya, saya buk,”jawabku.             “Kamu boleh keluar duluan, tapi temui pak Arya dulu. Sama siapa tadi …”gumam bu Gani. Mencoba mengingat- ingat siapa tadi nama yang di sebutkan oleh pak Arya.             “Dakara bu,”bisik pak Arya.             “Oh ya, Dakara. Mana yang namanya Dakara?”Tanya bu Gani. Kara mengangkat tangannya.             “Saya bu,”jawab Kara. Bu Gani mangut- mangut.             “Nah kalian berdua, boleh keluar duluan,”ujar bu Gani. Kami mengangguk dan berkemas, lalu memakai tas.             “Shei, nanti tungguin aku ya,”bisikku pada Sheila. Sheila mengangguk dan mengacungkan jempolnya. Aku dan Kara pergi ke depan kelas. Kami salim bu Gani sebellum keluar kelas.             “Kamu kok wajahnya asing ya? Kayak baru saya liat gitu,”tanya bu Gani sambil memperhatikan Kara lamat- lamat.             “Anu, saya anak baru bu,”jawab Kara. Bu Gani mangut- mangut.             “Ooh  begitu. Nama kamu siapa tadi?”Tanya bu Gani lagi.             “Bayani Janari Dakara buk. Biasa di panggil Kara,”jawab Kara memperkenalkan dirinya.             “Hem, begitu. Kamu ini, masih anak baru tapi udah di panggil pak Arya aja. Masih baru kok udah buat masalah sih nak,”gumam bu Gani. Bu Gani geleng- geleng kepala. “Ini lagi kamu Althea. Udah langganan telat, sekarang mau jadi langganan BK lagi?”Tanya bu Gani. Aku hanya tersenyum kecil. Sudah biasa dengan mulut bu Gani yang memang kadang agak nyinyir.             “Kami pamit ya buk,”pamitku sambil sedikit membungkukkan badan.             “Iya iya. Tolong ya pak ini anak- anaknya di bimbing,”ujar bu Gani. Pak Arya mengangguk.             “Tenang saja bu Gani. Mereka akan saya urus jadi anak baik lagi,”jawab pak Arya yakin. “Pamit buk, permisi.” ***             Kami tiba di halaman belakang sekolah. Sudah ada mang Jajang menunggu di sana. Mang Jajang yang sedang duduk adem di bawah pohon langsung duduk berdiri saat kami menghampiri.             “Mang Jajang!”Panggil pak Arya.             “Oh, pak Arya,”jawab mang Jajang. Mang Jajang melirik kami yang mengekori pak Arya dari belakang.             “Oh itu pak anak- anaknya?”Tanya mang Jajang. Ia sedikit menggeserkan kepalanya untuk melihat kami.             “Oalah, ada langganan kena hukuman ini,”ujar mang Jajang sambil menatapku. Aku mengernyitkan mataku.             “Iya mang ini anak- anaknya. Ini yang langganan ini udah kenal lah ya kan mang …”jawab pak Arya sambil menepuk punggungku.             “Kenal mah, udah biasa ini. Terus ini siapa pak? Wajahnya asing, orang baru ya?”Tanya mang Jajang sambil menunjuk ke arah Kara.             “Iya, anak baru masuk semingguan agaknya. Namanya Arya,”jawab pak Arya memperkenalkan Kara. Mang Jajang sedikit menunduk dan memperhatikan Arya lamat- lamat. Dia mengelus- elus dagunya, lalu mangut- mangut.             “Ganteng ya nak Kara ini,”gumam mang Jajang. “Sayang, masih anak baru udah kena hukuman di BK. Apes atau memang bandel nih?”Tanya mang Jajang.             “Antara bandel dan apes, gak tahu juga kita mang. Lagi apesnya aja mungkin,”jawab pak Arya. “Nitip mang, bebas dah di suruh apa aja. Sesuai yang saya bilang ke mamang. Saya tinggalin dulu ya mang,”lanjut pak Arya. Pak Arya sedikit mendorong kami ke arah mang Jajang. Pak Arya meninggalkan kami berdua dengan mang Jajang. Pak Arya melambaikan tangannya.             “Mang nanti jangan lupa laporan ke saya ya!”Ujar pak Arya dari kejauhan. Mang Jajang mengacungkan jempolnya.             “Beres pak!”             Pak Arya menjauh hingga menghilang dari pandangan kami. Mang Jajang berdehem pelan.             “Kalian, ikuti saya.” ***             Sialan. Aku benci pekerjaan ini! gerutuku dalam hati. Aku melirik mang Jajang yang asik mencari tempat adem di bawah pohon sambil meminum sebotol es teh manis di tengah cuaca terik.             “Eh kenapa kamu berhenti Teh? Lanjut lanjut. Mau mamang laporin pak Arya, biar hukumannya di perpanjang?”Ancam mang Jajang. Aku mendecak kesal. Cih, dasar mang Jajang! Dengan berat hati aku menyikat kembali mobil tua yang sudah sangat kotor itu. Saking kotornya mobil ini sudah tertutupi dengan lumpur berwarna coklat yang sudah mengeras. Aku bahkan tidak yakin mobil ini masih bisa di pakai. Mobil ini sepertinya sudah terlalu lama di terlantarkan hingga kotor begini. Agaknya selesai di ajak touring makanya bisa sekotor ini. Kalau aku lihat, mungkin mobil ini keluaran tahun 2021, a.k.a 20 tahun lalu. Sangat jarang orang memiliki mobil seperti ini, dan mungkin mobil ini tidak terdaftar dalam pajak karena usia untuk membeli mobil paling lama 20 tahun jika tidak salah.             “Lu ngapain sih gosok- gosok gitu aja? Kagak bersih tau!”Protes Kara. Aku menatap Kara tajam. Aku menggosoknya semakin kencang.             “Heh Teh! Jangan gitu, lecet nanti!”Ujar mang Jajang memberitahu. Aku kembali berdecak kesal. Kara mendengus dengan tatapan mengejeknya.             “Udah gih mending kamu tarik selangnya aja. Kara yang sikat mobilnya kamu tinggal siram aja,”perintah mang Jajang. Aku mencampakkan spons ke dalam ember hingga busa sabun muncrat keluar mengenai rokku. Aku menuju keran di ujung halaman dengan langkah kesal. Aku kembali sambil membawa selang yang sudah mengalir air ke dalamnya. Aku langsung mengarahkan air itu ke arah kaca depan mobil yang sudah di sabunin oleh Kara. Sepertinya aliran airnya terlalu kencang hingga air itu juga menciprat Kara. Kara tersentak kaget saat air menyirami dirinya. Bajunya habis basah. Kara berdecak kesal.             “Apaan sih lu!”Ujar Kara sebal. Ia mengambil air sabun dan mencipratkannya padaku. Aku mengelak dengan sedikit mundur ke belakang.             “Gak kena! Wek!” Aku menyulurkan lidahku, mengejek Kara. Kara yang tampak semakin kesal malah melemparkan isi ember ke arahku. Aku kembali mengelak lagi dan apesnya …             “Teh, gimana…” Belum lagi Sheila menyelesaikan perkataannya, ia langsung terdiam karena terkena siraman air sabun. Sheila berteriak kaget. Teriakannya berhasil membangunkan mang Jajang yang tadinya asik tidur di bawah pohon.             “Eh ada apa ini?!”Tanya mang Jajang menghampiri kami. Mang Jajang melongo kaget melihat Kara dan Sheila yang basah kuyup. Sisa busa sabun bertebaran dimana- mana. Mang Jajang mendecakkan pinggangnya dan geleng- geleng kepala.             “Ulah siapa ini?!”Tanya mang Jajang ketus. Aku dan Kara saling tunjuk. KKami saling menatap dengan sinis.             “Kamu duluan!”Ujar Kara.             “Heh! Enak aja! Aku mana tahu kalau kamu ada di situ!” Aku membela diri.             “Kan, memang tandanya kamu itu duluan!” Kara mengelak pembelaanku.             “Apa?! Kamu duluan kan yang balas siram air sabun!” Aku kembali membela diri. Aku mendekati Kara, tapi keburu di hadang oleh badan besar mang Jajang.             “Heh, apa- apaan ini kalian berdua! Udah jelas ini salah kalian berdua! Kalian mau mamang laporkan ke pak Arya hah?!”Ancam mang Jajang. Kami berdua terdiam dan saling melirik dengan tatapan tajam. Mang Jajang menghela napas.             “Sheila ya? Baju kamu basah kuyup gitu, mending kamu ganti baju aja dulu. Daripada nanti masuk angin,”pinta mang Jajang lembut. Sheila mengeleng pelan.             “Gak apa mang, nanti juga kering kok. Lagian saya gak bawa baju ganti,”jawab Sheila.             “Loh? Nanti kamu masuk angin loh,”ujar mang Jajang. Sekali lagi, Sheila mengeleng.             “Hehehe engga mang, gak apa kok. Kayaknya mending aku pulang sekarang aja, sekalian aja ganti baju di rumah. Gak jauh kok,”tolak Sheila.             “Ini mamang ada handuk, kamu mau pakai dulu? Seengaknya biar kering sedikit sih.” Mang Jajang memberikan handuk putih bersih kepada Sheila. Waw, biasanya juga handuk yang mamang gantung di leher itu udah butek banget. Sekali lagi Sheila mengeleng.             “Gak apa mang, nanti kering juga kok di jalan,”ujar Sheila.             “Gak apa, kamu pakai aja dulu. Daripada nanti kamu kedinginan.” Mang Jajang menyelimutkan handuk ke badan Sheila. Sheila hendak melepasnya, tapi mang Jajang menahan handuk itu dengan tenaganya. Akhirnya Sheila pun menerima handuk itu.             “Makasih mang, besok aku balikin,”ujar Sheila.             “Santai saja, sudah sana kamu pulang. Ganti baju, nanti sakit,”perintah mang Jajang. Sheila mengangguk.             “Sori Teh, aku pulang duluan ya. Bye bye semuanya,”pamit Sheila, meninggalkanku sendirian dengan Kara dan mang Jajang.             Yah, Shei.. ****             Aku tiba di rumah saat hari menjelang senja. Tentu saja aku kembali ke rumah dengan baju yang sudah basah lengket bermandikan keringat. Untungnya mang Jajang tidak melaporkan kejadian ribut tadi kepada pak Arya. Tapi sebagai gantinya, kami harus membersihkan mobil yang kotor tadi dan motor butut mang Jajang yang sama kotornya. Entah bagaimana motor itu bisa sekotor itu, lebih heran lagi motor itu bahkan masih bisa berfungsi dengan baik. Meski penampilannya butut tapi mesinnya tidak butut ternyata. Katanya itu motor kesayangan mang Jajang, pemberian almarhumah ibunya saat ia hendak merantau semasa muda dulu.             “Aku pulang,”ujarku sambil membuka pintu. Nenek yang sedang duduk di sofa ruang tamu yang langsung menghadap ke pintu bangkit dari duduknya.             “Ya ampun Teh, kenapa lama banget pulangnya?”Tanya nenek menghampiriku. Aku tidak menjawabnya. Aku melepas sepatu dan menaruh kembali ke dalam rak.             “Kamu baru pulang? Kok lama banget? Tadi mama ketemu bundanya Sheila, katanya Sheila udah sampai rumah duluan. Kamu darimana aja nak?”Tanya mama khawatir. Aku tidak menjawabnya. Aku masuk ke dalam menghiraukan pertanyaan mama dan nenek.             “Papa pulang,”ujar papa. Aku menoleh ke arah pintu. Papa sedang melepaskan sepatu dan menggantinya dengan sandal rumah.             “Wah papa pulangnya lebih cepat dari kemarin ya,”ujar mama. Mama mengambil tas papa.             “Iya ma, kan udah mau dekat nyepian mahkota,”jawab papa. Papa melnoleh padaku yang sedang berjalan ke arah tangga.             “Althea!”Panggil papa. Aku berhenti dan menoleh. Papa menatapku tajam.             “Papa dapat laporan dari pak Arya, katanya kamu dapat hukuman karena berantem dengan temanmu yang anak baru,”ujar papa. Aku mendelikkan mata. Ah, memang selalu seperti itu guru di sekolah. Karena merasa sudah kenal dengan papa, maka semua tingkahku di sekolah akan di laporkan langsung ke papa.             “Benar itu Teh?”Tanya mama penuh selidik. Aku berdecak kesal.             “Kalo iya kenapa memangnya?”Tanyaku balik. Mama dan papa tersentak kaget.             “Kamu tidak sopan Althea! Kenapa kamu lakuin itu ke temenmu? Hei Althea! Althea Miranda Putri! Dengar kalau papa lagi bicara!” Aku tidak memperdulikan panggilan papa. Aku langsung naik ke tangga. “Papa putuskan semua koneksi mr.communicator kamu ya!”Ancam papa. Aku berhenti sesaat dan menoleh ke arah papa.             “Silakan! Aku berantem juga bukan salahku kok, dia duluan yang nyari masalah. Aku lakuin itu buat papa tau!”Jawabku ketus. Aku kembali melanjutkan langkah. Papa tidak mengerti. Papa tidak tahu apa masalahnya. Aku belain papa tahu! ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD